--------------------------------------Pagi, Di rumah Nuril--------------------------------------
Nuril sedang menerima panggilan telfon dari client-nya. Raut wajah Nuril terlihat menahan kesal. Client yang menggunakan jasanya kali ini, agak bawel dan banyak permintaan, bahkan saat ini menuntut Nuril untuk me-revisi hasil kerjaannya. Di meja makannya yang kosong, tempat dimana ia biasa bekerja, ada laptopnya menyala dan di layarnya ada design untuk sebuah event club mobil. Sang ketua club lah client yang saat ini sedang menflon Nuril.
"Enggak bisa gitu Kang, kalo Akang request kayak gitu harganya beda.. Ditambah lagi waktunya udah mepet..
Ya Akang aja mintanya banyak dan waktunya sedikit, saya juga udah kasih harga buat temen, tapi enggak segampang itu Kang ngerjainnya! Ini saya belum tidur dari semalem, Kang!"
Nuril melihat jam dinding, menghitung dalam hati.
"Enggak pokoknya enggak sanggup Kang, sok aja, mau syukur, kalo enggak mau ya enggak saya lanjutin. Silakan cari orang yang bisa ngerjain semuanya dari awal. Enggak akan ada yang bisa kok! Saya emang butuh job ini tapi enggak seenaknya begitu!" Nuril emosi, menutup telfon.
"B*ngs*t!" sentak Nuril, menendang kursinya sampai terbalik.
Nuril mengeluh sendirian, menatap kursi yang tergeletak di lantai
"Apa gue masih bisa sidang tahun ini?"
.
.
-------------------------------------Pagi, Di rumah Adren------------------------------------
Adren terbangun di kasurnya. Jam delapan pagi saat itu. Handphone Adren bergetar, membuatnya terbangun. Ia menggeliat, mengumpulkan kesadaran. Garis-garis cahaya menyorot ke salah satu sisi kamar, dimana debu-debu halus menyebrang melayang-layang. Dan getar handphonenya masih menderu, menunggu jawabannya. Tangan Adren pun merayap mencomot handphone di sebelah pinggangnya.
"Halo Mon?" jawab Adren pada Mona yang menelfon, dengan suara khas orang baru bangun tidur.
"Dre.. Ke kampus enggak?"
"Hmm.. Pengen sin tapi takut ditagih ide." sahut Adren dengan suara berat.
"Yaudah ke kampus aja! Nanti gue sama Ernest bantuin cari ide! Jam sembilan ya! Di kantin!"
"Ehem.."
Adren menutup telfon. Ia mencumbu bantalnya lagi beberapa detik, lalu bangun dari kasurnya.
Adren turun ke bawah, pelan-pelan, berusaha tidak bersuara. Ketika sampai, ia mendapati rumah masih sepi, tidak berubah sejak semalam. Dengan mata yang masih sembab dan diantara gemericik air dispenser yang sedang memenuhi gelasnya ia melihat sekeliling.
Tanpa terlalu pusing mempertanyakan kemana Sang Bapak yang tidak pulang-pulang, Adren kembali naik ke atas sambil menenggak minumnya, sampai sudah habis ketika ia sampai di kamar. Setelah itu ia men-charge handphone-nya, lalu mandi, dan siap-siap ke kampus, seperti seharusnya mahasiswa normal lainnya. Adren mencoba mewajarkan keadaan yang tidak biasanya, sambil bertanya dalam hati,
"Sejak kapan rumah se-damai ini?"
-------------------------Mundur ke 2 Hari yang Lalu, di Kantor Hikmat---------------------
Hikmat, berada di lantai 2, di dalam sebuah ruangan di sebuah ruko yang ia sewa sebagai kantor broker-nya. Di bawah ada Surya dan Kusni, dua orang broker yang juga bekerja untuknya.
Hikmat tampak lesu, merasakan kegalauan, bak anak remaja yang sedang patah hati karena ditinggal kekasihnya. Ya, Merry sudah beberapa hari meninggalkannya tanpa kabar, yang mana cukup membuatnya tidak bergairah, merasa sendu dan tidak bisa tidur. Kantung mata Hikmat pun membesar kanan dan kiri, emosinya jadi tidak stabil, dan kelelahan.
"Aku ingin bersama orang yang jujur!" Kalimat Merry itu terngiang-ngiang di telinganya, menghantui dirinya. Wanita yang ia kasihi menganggapnya penipu dan tidak mempercayainya lagi.
Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dari luar. Itu adalah Surya, salah satu broker yang bekerja dengannya.
"Bos.. Ini, tetangga kenalan saya, dia sudah sampai di bawah!" kata Surya.
"Suruh kemari aja langsung!" jawab Hikmat.
"Pak.. Silakan masuk! Sok mangga!" kata Surya pada tamunya di luar.
Hikmat berdiri, bersiap menyambut orang itu. Lalu seorang Bapak-bapak umur 58 tahun masuk ruangan. Ia mengenakan baju batik panjang dan kopiah, rambutnya sudah agak memutih, terlihat dari jambangnya. Bapak itu biasa dipanggil Pak Asep, pemilik tanah yang akan dijadikan partner bisnis oleh Hikmat.
"Assalamu'alaikum.." kata Pak Asep.
"Wa'alaikumsalam Pak.." jawab Hikmat ramah.
"Ini Pak Asep, pemilik tanah yang tempo hari saya kasih tau itu lho Bos!" kata Surya sambil merangkul lengan Pak Asep dengan halus. Pak Asep terlihat sungkan, dengan segala kedusunannya. Ketika berjabat tangan dengan Hikmat, Pak Asep membungkukkan badannya lebih rendah meski ia lebih tua, sebab ia orang yang sopan dan rendah hati.
"Mangga, calik Pak!" Kata Hikmat mempersilakan Pak Asep duduk. Ada dua kursi di depan meja Hikmat, Pak Asep menduduki salah satunya dan Surya duduk di sebelahnya.
Pak Asep memiliki tanah seluas 4 are di kaki gunung Gede Pangrango, di dekat sebuah objek wisata air terjun di Sukabumi. Tempat itu Hikmat sasar untuk membangun sebuah penginapan dan hotel untuk para pelancong dan turis yang berwisata. Tempatnya teduh, sejuk, hijau, sebagaimana sebuah tempat di kaki gunung. Untuk itulah Pak Asep datang ke kantor Hikmat, untuk membicarakan kerja sama. Awalnya karena Hikmat menemukan seorang investor dari Jakarta, yang berminat untuk membuka tempat wisata baru di daerah Sukabumi. Tanpa berlama-lama, Surya yang juga adalah warga pribumi menyebut nama Pak Asep, tetangganya yang kebetulan memiliki tanah di tempat yang sesuai dengan kriteria keinginan Hikmat. Beberapa minggu yang lalu, Surya datang ke rumah Pak Asep untuk menawarkan kerja sama jangka panjang, namun Pak Asep mesti memikirkannya terlebih dahulu, dan disinilah ia sekarang, ingin menukar tanahnya dengan mimpi yang Hikmat dan kawan-kawannya tawarkan. Namun, Pak Asep datang dengan serba ketidak tahuan soal hukum dan pertanahan. Ia hanya datang menggadaikan hartanya, berharap bertemu orang-orang baik yang dapat ia percaya dan membantu perekonomiannya tanpa harus menjual tanah peninggalan orangtuanya.
"Jadi.. Pak Asep udah dijelaskan soal kerjasamanya kan sama Kang Surya?"
"Oh iya sudah Pak." jawab Pak Asep, lugu.