1
Emma
“Emma?”
“Eh, iya, ada apa?” tanyaku tersentak dari lamunanku.
“Aku bilang, kamu jadi mau pesan apa?” tanya Johan yang duduk di depanku.
Aku menunduk menatap kembali buku menu sebelum menyebutkan pesananku kepada pelayan yang berdiri dengan sabar di sebelah kananku.
“Lasagna satu dan ice lemon tea satu, terima kasih,” ucapku. Pelayan tersebut menulis pesananku dan mengulang pesanan kami sebelum melangkah pergi, meninggalkan aku dengan perasaan bersalah dan Johan yang terlihat sedikit jengkel. Aku sangat paham dengan rasa jengkel yang dia rasakan. Terlalu sering aku tidak disini saat bersamanya. Fisikku disini tapi pikiran dan hatiku di tempat lain.
“Maaf, untuk sesaat aku larut memikirkan hal lain,” dengan menyesal aku meminta maaf kepada Johan.
“Apakah kamu sedang ada masalah? Ada yang bisa aku bantu?” tanya Johan dengan ekspresi khawatir dan penuh perhatian. Aku menggelengkan kepalaku perlahan sebagai jawaban. Mana bisa aku menjelaskan bahwa aku sedang memikirkan orang lain di saat dia duduk di depanku?
Perlahan aku memperhatikan Johan yang duduk di depanku. Wajahnya termasuk tampan dengan hidung mancung dan kulit sawo matang. Senyumnya manis, dengan lesung pipi di pipi kanannya. Rambut hitam dan sedikit ikal dan yang terpenting dia peduli terhadap aku. Tapi kenapa aku tidak merasakan apapun padanya?
Tiba-tiba Johan mengangkat kepalanya dan menangkap basah aku yang sedang memperhatikan dirinya. Kulitku terasa menghangat dan Johan tersenyum lebar.
“Kenapa? Kok wajahmu memerah?” tanyanya dengan tertawa ringan. Suara tawanya renyah dan menular. Aku menutup kegugupanku dengan ikut tertawa sambil menggeleng ringan.
“Bagaimana pertandingan basket kemarin?” tanyaku, berusaha untuk mengalihkan topik.
Johan mulai bercerita panjang dan lebar mengenai pertandingannya kemarin. Aku berusaha untuk tetap memperhatikan ceritanya dan sesekali memberi respon berupa anggukan dan “oh begitu,” atau “lalu bagaimana?” di saat-saat yang tepat.
Sepanjang makan kami mengobrol banyak hal. Bersama Johan memang selalu seperti ini, kami bisa berbicara mengenai ribuan topik dan semua obrolan kami teras mudah, tanpa perlu berusaha terlalu keras. Jika ditanya apakah aku menikmati menghabiskan waktu dengannya, jawabanku adalah iya. Sudah tiga bulan ini kami dekat dan sering pergi bersama, tapi di hatiku aku tahu aku tidak merasakan apapun untuknya. Perasaan bersalah melilit perutku setiap pikiran itu terlintas di benakku. Tapi bagaimana? Aku menikmati waktu bersamanya. Aku menikmati dikagumi olehnya dan rasa disukai olehnya.
Tanpa terasa tiba-tiba mobil Johan sudah terparkir di seberang rumahku. Johan mematikan lampu depan mobil dan melepas sabuk pengamannya. Aku ikut melepas sabuk pengaman sambil mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih untuk makan malam hari ini dan sudah mengantarku pulang,” ucapku dengan senyum tulus di bibirku. Tanganku hendak membuka pintu saat Johan tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Mataku terbelalak dan jantungku berdetak lebih keras. Oh, tidak tidak tidak, pikirku. Saat-saat yang aku hindari dan aku takutkan akhirnya tiba.
“Emma,” buka Johan perlahan. Aku dapat melihat dia sedikit gugup karena suaranya agak bergetar. “Sejak hari pertama aku melihatmu di antara para mahasiswa baru, aku tahu, aku ingin mengenal kamu lebih dalam. Ini akan terdengar gombal, tapi aku tahu sejak hari itu, bahwa aku akan jatuh hati kepadamu. Tiga bulan ini aku sangat bahagia karena akhirnya kamu mau menerima ajakanku untuk jalan berdua. Setelah mengenal kamu lebih dalam, aku semakin yakin dengan perasaanku, Emma.”
Johan menatap mataku dengan penuh harap. Aku menelan ludah dengan terlalu keras. Aku ingin menarik tanganku tetapi tidak ingin menyakiti hatinya. Perutku melilit dan suara di dalam kepalaku saling berteriak satu sama lain. Aku bisa membayangkan aku versi kecil di dalam kepalaku saling berlarian seperti salah satu episode dari Spongebob Squarepants.
“Emma, bolehkah aku menjadi pacarmu?” pertanyaan tersebut keluar dari mulut Johan akhirnya setelah keheningan yang terasa terlalu panjang. Aku hanya bisa menatap Johan. Tidak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan. Tidak, aku tidak mencintaimu seperti yang kamu rasakan kepadaku. Itu kalimat yang ada di kepalaku.
“Bolehkah aku meminta waktu sebelum menjawabmu?” sebuah kebohongan meluncur keluar dari mulutku. Aku tahu jawabannya tetapi aku tidak tega mengeluarkan kalimat jawaban tersebut. Jawabanku membuat Johan tertegun sesaat dan dia memberikanku anggukan.
“Tentu, silakan ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan,” ucap Johan yang aku jawab dengan anggukan kecil. Aku memberi salam selamat malam kepadanya sebelum turun dari mobil. Aku masuk pagar dan melambai ke arah Johan yang membuka kaca jendela mobilnya. Aku melangkah masuk ke rumah dan mendengar suara mobil Johan pergi menjauh. Aku menengok, menatap jalan kosong tempat mobil Johan tadi terparkir. Aku menghela napas berat sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.
***
Good night, Emma. Mengenai pertanyaanku tadi, tidak perlu terburu-buru ya dan no pressure. Kamu bisa menjawabnya saat kamu sudah siap :)
Aku membaca pesan dari Johan sambil mengeringkan rambutku dengan handuk. Aku mengunci kembali ponselku dan melangkah untuk berbaring di atas kasur. Johan baik, tampan, perhatian, mendengarkan semua ceritaku dan mengingat detail-detail kecil yang aku ucapkan. Tapi kenapa? Kenapa aku tidak bisa merasakan apapun kepadanya? Kenapa aku tidak mencintai dia? Semua sepertinya akan lebih mudah jika perasaanku ini berbalas kepadanya saja. Kenapa?
Aku hampir terlelap saat ponselku tiba-tiba bergetar terus-terusan, tanda telepon masuk. Aku beranjak bangun dan melihat nama Nathaniel muncul di layarku. Telepon video yang masuk. Aku segera mencabut charger dan mengangkat teleponnya. Layar ponselku langsung dipenuhi wajah sumringah Nathaniel di ruangan gelap dengan lampu kuning seperti di dalam mobil. Mau tidak mau aku langsung tersenyum seperti yang selalu terjadi jika aku melihat wajahnya.
“Apa?” tanyaku ketus.
“Kok galak? Bukannya halo atau apa,” jawab Nathaniel, masih dengan wajah cerianya.
“Aku baru mau tidur, ini sudah malam,” ucapku. Bohong. Kenyataannya aku rela diganggu jam berapapun oleh dia. Tidak ada waktu yang terlalu larut untuk aku mau mengobrol dengannya. Jam berapapun dia menelponku, aku pasti siap mengangkat dan menemaninya mengobrol.