you were never mine

Erika Angelina
Chapter #3

2

2

Emma



“Aku mau jadi pacarmu,” kalimat tersebut terucap dari bibirku.

Mata Johan sedikit terbelalak. Seketika kemudian senyum mengembang di bibirnya dan matanya berbinar. Dia mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Rasa bersalah melilit perutku. Aku tahu aku tidak mencintai Johan, tapi jika aku beri kesempatan dan waktu, mungkin rasa itu akan tumbuh? Aku kenal orang-orang di sekitarku yang seperti itu, salah satunya kakakku. Meskipun hubungannya berawal tanpa ada rasa cinta, tapi hingga hari ini kakakku dan suaminya merupakan salah satu pasangan yang paling diidamkan orang-orang. Mereka sudah menikah selama tiga tahun dan hubungannya sangat harmonis.

“Kamu sudah membuat aku jadi orang paling bahagia hari ini!” seru Johan, sedikit terlalu keras.

“Shh! Awas terdengar orang-orang nanti!” seruku sambil menarik tangan kanannya.

“Biar saja semua orang di taman ini dengar! Akhirnya Emma jadi pacarku!” teriak Johan dengan lebih keras. Orang-orang di sekitar kami menolehkan kepala dan melihat ke arah kami.

“Shhhh!” aku berusaha untuk membuat dia diam. Tapi mau tidak mau aku ikut tertawa melihat aksi cheesy yang mengingatkan aku dengan film-film rom-com.

Aku lanjut menghabiskan sore dan malamku dengan Johan berjalan di taman sambil bercerita banyak satu sama lain. Tawaku berkali-kali pecah karena gurauannya yang receh. Sepanjang kami berjalan, dia menggenggam erat tanganku.

Kemudian Johan mengajakku untuk makan malam di sebuah restoran yang bersejarah untuk aku dan dia. Awalnya aku tidak menyadari sampai Johan yang mengingatkanku.

“Ingat ini restoran apa?” tanya Johan kepadaku. Aku terdiam dan menatap nama restoran di depanku ini. Aku panik, restoran apa ya? Memangnya aku pernah kesini?Our first date,” ucap Johan kemudian. Aku mengucapkan oh panjang dengan perasaan bersalah. Meskipun aku tidak ingat detail itu tetapi kelihatannya mood Johan tidak terpengaruh. Ia tetap tersenyum lebar.

Kami duduk di salah satu meja dekat jendela dan memesan makanan. Tidak henti-hentinya Johan menatapku dengan senyum di mulutnya.

“Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?” tanyaku.

“Tidak. Aku senang saja menatap wajah cantikmu,” jawabnya. Aku tertawa mendengar gombalannya tetapi mau tidak mau aku dapat merasakan bahwa wajahku menghangat.

“Kenapa kamu akhirnya menjawab mau, Emma?” tanya Johan kepadaku.

“Mau apa?”

“Jadi pacarku.”

“Oh…” aku terdiam dan berpikir keras. Aku harus jawab apa? Belum sempat aku memberikan jawaban, pelayan datang membawa pesanan kami. Hanya sedetik setelah pelayan meninggalkan meja kami, Johan mengutarakan pertanyaannya lagi.

Lihat selengkapnya