Arjawinangun, 1998
Beberapa toko milik orang-orang pribumi tak sedikit yang gulung tikar, tak terkecuali semua pedagang kaki lima di sepanjang emperan toko-toko yang menakjubkan itu untuk mengadu nasibnya. Tentu saja penyebabnya adalah kekejaman Zaman Reformasi yang sebagian masyarakat pribumi mengatakan hal tersebut adalah zaman edan. Bukan hancur diporak-porandakan massa sebagaimana yang terjadi di Ibu Kota seperti yang terdenger di beberapa surat kabar dan radio lokal, melainkan karena krismon yang menggiring warga Arjawinangun dan sekitarnya terjungkal dalam hal perdagangan.
Meskipun di Ibu Kota terjadi kekerasan yang mengerikan, namun tidak demikian terjadi di pasar Arjawinangun itu. Di Arjawinangun, warganya damai-damai saja seolah mereka tak mengenal permasalahan yang sedang terjadi pada bangsanya. Bagi mereka, hidup yang tak lebih dari memegang cangkul di sawah dan jala di sungai tidak pantas mengambil suara jika hanya berujung mencelakakan dirinya sendiri. Hidup dengan kedua alat itu saja sudah bersyukur daripada harus ikut menjarah toko yang dirinya sendiri tahu betul bagaimana sulitnya menghidupi keluarga.
Beberapa beranggapan, target penjarahan memang bukanlah toko-toko pribumi. Melainkan Toko Oo1, Oo, Cina etnis Tinghoalah yang akan dijarah. Sehingga dengan begitu mereka tidak merasa bersalah dengan menjarah toko milik pribumi yang dalam hal ini adalah saudaranya. Namun, lagi-lagi tidak demikianlah cara pandang masyarakat Arjawinangun melihat peristiwa tersebut. Meskipun banyak tetangga yang telah merantau di Jakarta pulang ke kampung halaman dengan membawa banyak barang jarahan hasil di kota.