Arjawinangun, 1996
Pukul tujuh malam telah terlewat beberapa menit. Di kamarnya, ia tak bisa duduk tenang melihat jam dinding yang tergantung menagih janji. Wajahnya masih saja terbayang menggairahkan hasratnya yang ingin lekas berjumpa. Janji bertemu dengan gadis pribumi itu masih terngiang di kepalanya dua pekan lalu. Ia tak mau dipandang sebagai lelaki pembohong seperti kebanyakan lelaki di daerahnya. Baginya, itulah mengapa sebabnya lelaki pribumi seusianya selalu payah dalam hal percintaan.
Selepas dupa di ruang tamunya padam, ia mulai bergerak menuju kamar ayahnya yang hampir tanpa cahaya itu. Di tempatnya, ia merasa harus menjelikan mata persis seperti mata elang untuk melihat mangsanya. Jika tidak, salah-salah segala yang menyebabkan bunyi bisa membangunkan ayahnya yang telah terbaring di kamar.
Pakaiannya telah siap sebagaimana lazimnya pemuda masa kini dan jaketnya masih ia letakkan di ruang tamu untuk memudahkan pergerakannya melangkah. Di kantong belakang celananya, terselip tisu Gatsby yang sengaja belum ia gunakan sebelum memasuki kamar ayahnya. Perlahan, setelah menyibakkan tirai bermotif bambu itu, ia mulai melangkah berusaha melihat lebih jelas seperti elang melihat sasarannya. Ia menahan diri sejenak setelah memasuki tirai beberapa langkah untuk menyesuaikan pupil matanya agar dapat melihat di kegelapan–meskipun masih remang.