YOUNG HUSBAND

Ratsel
Chapter #3

Bagian Empat

"Dia Maleeqa. Putri kecil yang kubesarkan sepenuh hati seperti anak sendiri ...."

"Lu pikir anak gue kecap?" Jean memukul kuat punggung Al menggunakan boneka beruang.

"Je, gue mau masukin Leeqa les biola," ucap Al penuh semangat.

"Itu bocah baru lahir lima hari yang lalu udah mau lu masukin les biola? Nggak sekalian aja lu suruh les masak?"

"Nggak bakalan gue bolehin masak," ujar Al seraya mengusap lembut pipi Leeqa yang tengah terlelap.

"Kenapa?" tanya Jean. Ia pikir, Al akan menjadikan putrinya sebagai koki, melihat minat masak Al yang sedikit melewati batas wajar.

"Gue nggak mau dia bau dapur setiap hari."

Jean menggeleng malas, kemudian menyandarkan kepala di bantal yang mengganjal tubuh belakangnya.

"Ayah ... ayo bilang, A--yah ...."

Lagi-lagi Jean hanya bisa menggeleng melihat tingkah pemuda itu. Sejak kelahiran Maleeqa, Al tidak pergi ke mana pun selain bekerja. Bahkan ia tidak tenang berada di dapur, berulang kali menghubungi Jean untuk menanyakan kabar bayinya.

Sebuah keajaiban, ketika semua perangkat game milik Al tidak tersentuh sekali pun sejak kehadiran bayi itu.

Al benar-benar menghabiskan waktunya untuk Maleeqa. Terjaga setiap kali bayi itu menangis, mengganti pakaian, memandikan, bahkan membantu Jean untuk menyusui dan memompa ASI yang melimpah.

Al merasakan pelangi jatuh di rumah mereka. Penuh warna dan keceriaan meskipun mereka melewati segalanya hanya berdua. Tidak satu pun dari anggota keluarga mereka yang datang berkunjung. Bahkan tidak menghubungi lewat telepon.

Al berduka atas sikap orang tuanya. Namun, ia tidak ingin Jean melihat itu. Ia memendam kerinduan yang teramat besar kepada sang ibu. Ingin bercerita bagaimana bahagianya memiliki seorang putri. Akan tetapi, kenyataan bahwa ia telah dilupakan membuat dadanya terasa nyeri. Semanis apa pun kisah hidup yang ia jalani, tidak seorang pun dari keluarganya yang tertarik.

"Je, gimana kalau kita cari panggilan yang berbeda? Ayah dan Bunda terlalu biasa."

"Gue punya ide!" seru Jean seraya mengangkat satu jarinya ke udara.

"Apaan?"

"Gimana kalau Leeqa panggil lu Bunda, terus panggil gue Ayah?"

Kedua mata Al menyipit geram. "Becanda lu nggak lucu, Belimbing Wuluh!"

Jean terkekeh, merasa puas telah membuat pemuda itu kesal. Diam-diam ia menyimpan kekaguman yang luar biasa terhadap pemuda itu. Tulus selalu memancar cerah di wajahnya.

Tidak dimungkiri, Jean merasa dirinya teramat beruntung. Ketika satu tangan pergi, muncul tangan lain untuk menggenggamnya. Meski hatinya tidak kunjung memberi celah untuk Al dapat masuk ke dalamnya.

"Leeqa ... panggil A--yah ...."

Bruttt ...!

Bunyi kuat terdengar keluar dari tubuh bawah bayi merah itu.

"Ya ampun, bau ...!" Al menutup hidung rapat setelah aroma tak sedap menguar seiring dengan angin yang keluar dari perut Maleeqa.

"Buang air kali, tuh. Coba cek, Al."

"Ogah, gue nggak mau bersihin ...."

"Kalau gue bisa, bakalan gue bersihin sendiri. Kepala gue masih sakit, lu tega nyuruh gue gerak-gerak?"

Al mengembuskan napas pasrah. "Ya udah, gimana ini bersihinnya?" tanyanya ragu. Ia memang banyak mengurus Maleeqa selama ini, tapi belum sekali pun turun tangan untuk melakukan bagian yang satu itu.

"Ambil tisu basah yang khusus bersihin area itu. Ambil krim pelembab yang di botol biru, terus siapin popoknya jangan lupa."

Tanpa bicara, Al mengambil semua yang Jean ucapkan. "Terus?" tanyanya lagi.

"Buka popoknya dulu," ucap Jean. Ia mulai merasa lelah menahan tawa melihat Al meringis menahan napas, tidak siap dengan kejutan yang akan dilihatnya di balik popok bayi itu.

"Cokelat, Je, banyak banget. Lembek!" seru Al seraya bergidik geli. Ia berdiri dan sedikit menjauh.

"Jangan kelamaan, ntar masuk angin." Jean mengingatkan.

Al memutar kepala dan kembali berlutut di tepi ranjang. "Ini bersihinnya gimana, ya Allah? Kenapa banyak banget? Kan nggak makan nasi?"

Setetes bening mengalir lembut di kedua pipi Jean. Melihat apa yang Al lakukan terhadap Maleeqa benar-benar membuat kalbu Jean tersentuh. Pemuda itu belum berhasil menambahkan rasa pada hatinya yang hambar, tapi telah berhasil melahirkan kekaguman di dalam sana.

Tidak ada yang bisa menyelami seberapa dalam luka yang ditinggalkan Faiz di hati Jean. Tidak sekali pun ia berhenti merasa telah kehilangan warna sejak apa yang terjadi malam itu.

Lihat selengkapnya