YOUNG HUSBAND

Ratsel
Chapter #4

Bagian Empat

Tiga tahun kemudian ....

"Selamat ulang tahun putri cantikku," bisik Al di telinga Maleeqa yang tampak sangat lucu dengan gaun biru tua membalut tubuhnya.

Tiga tahun sudah usia gadis kecil itu. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria, lucu, pintar, dan sulit ditebak seperti ibunya.

"Ayah, apa kadoku?" Polos Maleeqa menatap sang ayah. "Ibu memberiku ini," ucapnya seraya menunjukkan kalung berbentuk bunga matahari di lehernya.

"Tenang, Leeqa, kado yang ayah berikan pasti berbeda."

"Oh, no, Al ...." Jean berjalan mendekati keduanya. "Aku tidak akan membiarkan kamu membuka kado itu," ujarnya.

"Kenapa?"

"Itu bukan untuk anak perempuan, Al."

"Benarkah?" Al berjalan ke kamar dan kembali dengan membawa kotak berwarna cokelat berukuran besar dan tampak berat.

"Wah, besar ... buka, Ayah, buka!" Maleeqa melompat dengan wajah bersinar.

"Al ...."

"Je, diam di sana."

Jean menghela napas panjang dan menggeleng pasrah.

Sementara itu, Al dan Maleeqa dengan terburu-buru membuka kado yang sudah dibeli sejak sebulan yang lalu itu.

"Kamu siap?" tanya Al ketika semua pembungkus telah dibuka.

"Siap!"

Perlahan Al membuka pita yang mengikat benda itu, kemudian keempat sisi yang menutupinya jatuh ke lantai.

"Waaah ... Ayah!" Maleeqa melompat girang, gadis kecil itu berlari memeluk sang ayah. "Terima kasih," ucapnya lirih.

"Kamu suka?"

Maleeqa mengangguk cepat. Sebuah sepeda motor kecil berwarna hitam ada di hadapannya.

"Oh Tuhan ...." Jean memukul keningnya pelan. Ia selalu kalah oleh Al untuk urusan mendapatkan perhatian Maleeqa. Mereka berdua terlalu dekat dan sulit dipisahkan. Memiliki selera yang sama anehnya.

"Boleh aku naik?" tanya Maleeqa polos.

"Tidak."

"Ayah ...."

"Itu baru boleh kamu pakai setelah usiamu lima tahun."

Jean tertawa lepas mendengar ucapan pemuda itu. "Untuk apa kamu beli sekarang kalau tidak boleh dipakai?" tanyanya dengan tawa yang masih pecah.

"Ini kado berlaku sampai usianya lima tahun. Jadi, aku tidak perlu memberinya kado selama dua tahun ke depan."

Tawa Jean kembali pecah. Ia tidak pernah tahu suaminya memiliki pola pikir seperti itu.

"Ayah ...." Maleeqa kembali merengek.

"Usiamu masih tiga tahun. Jadi, selama satu tahun kamu hanya boleh memandangi, nanti saat usiamu empat tahun, kamu hanya boleh memegang dan duduk di atasnya. Lalu, setelah lima tahun, barulah kamu boleh menggunakannya di halaman. Jadi, Ayah tidak punya utang kado selama dua tahun untukmu."

"Apa yang ada di pikirannya, Tuhan?" Jean duduk bersandar di sofa. Menatap bergantian suami dan anaknya yang masih bersitegang. Ia sendiri sudah lemas karena tertawa. Untuk pertama kalinya ia melihat Maleeqa kesal berada di dekat sang ayah.

"Ayah curang!" Maleeqa melangkah mendekati Jean dengan wajah memerah. "Bu ...."

"Maaf, Sayang, Ibu tidak bisa ikut campur urusan anak-anak seperti kalian." Jean kembali tertawa menyadari sikap Al yang lebih konyol dari biasanya.

"Aku juga tidak mau bicara dengan Ayah sampai usiaku lima tahun."

Tawa Jean pecah semakin kencang. "Kena kamu!" serunya dengan wajah merah karena tertawa. "Wajahku menegang," ucapnya.

"Oh, no."

"Oh, yes." Jean menimpali.

"Leeqa ...."

Maleeqa menggeleng cepat.

Usia bocah itu memang masih tiga tahun. Namun, dibesarkan oleh lelaki seperti Al membuatnya tumbuh sedikit menyebalkan, dengan kecerdasan yang didapat dari sang ibu, ia selalu bisa membuat Al kehabisan gaya.

Al menghela napas berat. Ia duduk di sisi Jean dengan kedua tangan melipat di dada. "Aku tidak menyangka dia bisa berpikir begitu," ucapnya kepada Jean.

"Dia sama tidak terduganya sepertimu."

"Ayah, Ibu ...." Maleeqa berbalik dengan wajah pucat. Darah mengalir dari hidungnya.

Lihat selengkapnya