Your Answer is Me

William Oktavius
Chapter #3

Unpredictable Meeting

Universitas Harapan, 2021.

”Tristan!”

Saat Tristan sedang berjalan melewati lapangan, sebuah petir menyambar. Beruntung, petir tersebut hanya memunculkan cahaya-nya saja dan tidak menyambar diri Tristan. Namun, karena jarak antara Tristan dan petir itu cukup dekat, Tristan menjadi syok dan akhirnya pingsan di tengah lapangan. Sementara itu, Kevin yang melihat Tristan dari sisi samping gedung hanya bisa berteriak lemas saat melihat sebuah petir tiba. Tetapi, karena petir itu tidak menyambar Tristan, Kevin masih bisa menarik napas lega.

Sayangnya, karena melihat Tristan yang pingsan di tengah lapangan, Kevin menjadi sedikit panik. Tentunya ini bukan hal yang baik karena hujan deras masih terus berlangsung dan petir masih sesekali menyambar. Karena itu, setelah mengumpulkan keberaniannya, Kevin akhirnya berlari untuk menyelamatkan Tristan yang masih tergeletak di tengah lapangan.

Kevin terlihat sedikit kewalahan saat membawa Tristan dan beberapa barang bawaan sendirian. Hujan masih terus turun. Namun, Kevin memilih untuk pulang saja. Sudah kebetulan basah, jadi lebih baik basah saja sekalian. Kevin lalu membawa Tristan ke arah gedung samping lapangan, setelah itu, Kevin baru memutuskan bagaimana caranya untuk membawa Tristan dengan baik.

*****

“Ini gua di mana?”

Tristan sedikit mengeluh karena merasa kepalanya sedikit sakit. Ia seperti tidak ingat apa yang terjadi sehingga dirinya bisa terbaring seperti saat ini. Sementara itu, Kevin yang berada di samping kasur Tristan menghembuskan napasnya lega karena sahabatnya itu tidak kenapa-kenapa. “Syukurlah, akhirnya lo sadar juga,” ucapnya dengan lega.

“Tristan, lo masih ingat kan gua siapa? Lo masih tau kan diri lo itu siapa? Coba tebak, nama gua siapa?” cerocos Kevin kembali, mencoba memastikan Tristan tidak hilang ingatan akibat insiden petir yang tiba-tiba muncul itu.

“Gua Tristan Geraldi, mahasiswa kimia Universitas Harapan. Lo itu Kevin Juliano, temen deket gua dari kecil.”

“Puji Tuhan.”

Kevin kembali mengucapkan syukur karena Tristan tidak mengalami cedera yang parah. Hanya sedikit shock saja karena sambaran petir yang cukup besar berada di depan mata. “Lo masih ingat kan kenapa lo bisa sampai kayak gini?” tanya Kevin lagi, mencoba mengingatkan Tristan mengenai kejadian semalam yang terjadi padanya.

“Sampai kayak gini? Emangnya gua kenapa dah? Gua gak bisa ingat apa yang terjadi,” sahut Tristan sambil memegang kepalanya yang sedikit berputar. Terasa agak berat kepalanya sehingga Tristan merasa sedikit pusing.

“Jadi, lo itu pingsan. Kan gua udah ingetin, petirnya lagi seram. Tapi lo ngeyel, terus main terabas aja itu hujannya. Pas sampai lapangan rektorat, tiba-tiba petir nongol gak jauh dari diri lo. Gua masih di samping gedung, gak berani terabas hujan. Eh, lo tau-tau pingsan. Kan bahaya ya kalo gua biarin lo gitu aja di lapangan. Sebagai sahabat terbaik lo, gua gak tega ngeliatin seorang Tristan tergeletak di lapangan tanpa ada yang nolongin. Akhirnya gua seret lo ke samping gedung dulu sambil tunggu hujannya agak reda. Abis itu, gua anterin ke kos deh pake taksi,” jelas Kevin karena Tristan masih belum dapat mengingat dengan jelas apa yang terjadi pada dirinya. Sementara itu, Tristan hanya melongo saat mendengar penjelasan Kevin.

“Gua…pingsan?” ulang Tristan sedikit tidak percaya. Meskipun begitu, Tristan tetap tidak bisa mengingat kembali apakah yang diceritakan Kevin benar terjadi atau tidak. Namun, walaupun berusaha keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi, Tristan tetap tidak bisa mengulangi ingatannya itu. Yang terjadi malah kepala Tristan semakin sakit jika dirinya memaksa untuk berpikir. Jadilah Tristan hanya mengaduh kesakitan sambil memegangi kepalanya itu.

“Udah, gak usah dipaksa buat inget dulu. Lo bisa makin sakit kepala nanti,” saran Kevin saat melihat Tristan kembali memegang kepalanya. Tristan memilih untuk menuruti saran Kevin. Terlalu sakit kepalanya jika terus dipaksa untuk berpikir.

“Kebetulan karena hari ini tuh sabtu, jadinya kita gak ada kelas. Gua udah beliin lo makanan, gua taro di meja lo. Kalo lapar, makan aja langsung. Gua gak mintain obat dokter karena kita gak ke dokter kemarin, tapi kalo misalkan lo mau cek ke dokter, ya gak apa sih,” ucap Kevin sambil menunjuk meja Tristan yang sudah terdapat beberapa makanan. Sambil mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya, Tristan mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya. Namun, karena kepalanya masih sedikit sakit, Tristan menjadi sedikit tidak seimbang dalam berjalan. Jadinya, Kevin menolong Tristan kembali untuk mengambil beberapa barang.

“Dibilangin gak usah maksain diri dulu. Tidur aja lagi kalo misalkan masih pusing,” sambar Kevin sambil membenarkan posisi Tristan di atas kasurnya. Sekali lagi, Tristan mengucapkan terima kasih kepada sahabatnya itu karena sudah menolong dan membantunya.

Setelah memastikan Tristan sudah bisa mengambil barang-barangnya sendiri, tentunya setelah Kevin memutuskan untuk menaruh makanan dan minuman Tristan di tempat yang bisa dijangkau oleh Tristan, Kevin memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Berhubung kamar mereka bersebelahan, Kevin meminta Tristan untuk menghubungi dirinya saja jika butuh bantuan. Lagipula, Kevin juga sedang tidak ada kegiatan di hari sabtu ini, jadinya Kevin bisa menolong Tristan jika cowok satu itu sedang membutuhkan bantuan dirinya.

*****

“Akhirnya my lovely Tristan udah sembuh lagi.”

Tristan hanya memutar bola matanya kesal karena mendengar ucapan Kevin yang sedikit berlebihan. Kalo saja dirinya tidak ditolong oleh Kevin, Tristan sudah sangat tidak sabar ingin memukul kepala anak laki-laki itu. Jadinya Tristan hanya bisa memelototi sahabatnya itu.

“Kenapa lo malah nunjukin muka garang lo itu ke gua sih? Jangan lupa, gini-gini, gua yang nyelamatin lo kemarin loh. Harus ingat itu,” sahut Kevin mengingatkan Tristan kembali atas jasa-nya dalam menyelamatkan hidup Tristan. Mendengar ucapan Kevin, Tristan hanya bisa menggelembungkan pipinya saja. Tidak berniat untuk mendebat sahabatnya itu.

“Yauda ayo pergi cepetan. Ada kelas pagi ini,” tandas Tristan mengakhiri obrolan tidak baiknya di senin pagi ini. Mood-nya harus tetap baik karena hari senin adalah penentu berlangsungnya kegiatan seminggu ke depan. Jika di hari senin saja auranya sudah suram, hari-hari selanjutnya bisa saja ikutan suram.

*****

“Lo balik duluan kih, gua masih mau duduk dulu di taman. Suntuk kepala gua abis dengerin ocehan Prof. Yanti tadi. Jadi gua mau menikmati udara segar dulu,” ucap Tristan sehabis mengikuti perkuliahan hari ini. Meskipun mereka berdua sudah menginjak semester tujuh, namun jadwal perkuliahan mereka masih cukup padat, terutama di hari senin.

Lihat selengkapnya