“Gua jadi penasaran deh. Kan Windy udah meninggal. Penyebabnya apa ya? Aneh banget rasanya kok jadi tiba-tiba ada hantu gitu di dunia ini. Padahal kan seinget gua dulu, katanya kalo orang yang udah meninggal, semuanya bakal langsung menghadap pengadilan Allah. Kok Windy ngga?”
“Lo nanya gua? Gua aja baru sadar kalo Windy itu bukan manusia karena lo. Kalo lo nggak mergokin gua waktu itu, kayaknya gua masih nganggep kalo Windy itu makhluk yang sama kayak kita deh.”
Tristan menggelengkan kepalanya. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya bisa berbicara dengan hantu. Jika Kevin tidak menyadarkan Tristan bahwa Kevin tidak bisa melihat Windy, bisa-bisa Tristan akan terus menganggap Windy adalah manusia biasa. Jadinya, bisa saja orang lain yang melihat Tristan akan menganggap Tristan tidak normal karena berbicara sendiri.
Kevin yang sedang berjalan bersama Tristan tiba-tiba menjadi teringat sesuatu. “Tristan, gua mau nanya deh. Kan lo selama ini ngobrol sama Windy, berarti lo gak sadar ya kalo dia itu bukan manusia. Berarti selama ini kan lo dianggap agak kurang normal karena orang ngelihat lo ngobrol sendirian. Apa lo gak ngerasa risih gitu?”
Tristan terdiam memikirkan perkataan Kevin. Ia baru sadar mengenai satu hal. Bener juga ya, kalo kayak gitu, misalkan gua ajak Windy pergi-pergi, pasti orang-orang bakal ngerasa aneh, pikirnya.
“Hmm, iya juga ya. Bisa dianggap gila dong gua kalo gua ngobrol kayak gitu langsung. Gimana ya, lo ada ide nggak?” balas Tristan. Ia mendadak menjadi tidak ada ide untuk menyelsaikan masalahnya ini.
“Yah, sekarang mah gak ada. Gua kan baru kepikiran tentang itu soalnya.”
Mereka berdua kemudian sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tristan berpikir sambil mengamati sekeliling untuk mencari ide. Tristan melebarkan senyumannya saat ia melihat seseorang yang sedang berlari sore di jalan depan kampusnya. Orang itu terlihat sesekali memegang earphone bluetooth yang terpasang di telinganya.
“Gua dapet ide,” seru Tristan sambil menjentikkan jarinya. Senang karena tiba-tiba ia mendapatkan pencerahan untuk mengatasi satu masalahnya ini.
“Apaan tuh?”
“Lo ada waktu gak sabtu ini?”
Kevin terdiam. Sejenak, ia mengingat-ingat kembali mengenai kesibukannya. “Sabtu ini? Harusnya free sih. Kalo ada tugas juga ya nanti aja dikerjainnya. Kenapa emang?”
“Gua tau kok lo pasti free. Jadi, lo mau bantuin gua gak?”
“Apaan tuh?”
Tristan hanya tersenyum. Sementara itu, Kevin masih belum bisa menangkap apa maksud Tristan untuk meminta bantuannya. Sesaat, Kevin membelalakan matanya. Feeling-nya menjadi sedikit buruk. “Lo gak ngerencanain yang aneh-aneh kan?” tanya Kevin memastikan.
“Aneh-aneh gimana? Emangnya gua pernah aneh-aneh?”
“Pernah. Kayak yang waktu itu.”
*****
Beberapa bulan yang lalu….
“Kevin, lo mau bantuin gua gak? Buat urusan KMK kok ini.”
Kevin yang sedang mengerjakan tugasnya di perpustakaan kemudian menoleh ke arah Tristan yang sedang sibuk dengan laptopnya.
“Apaan tuh?” tanya Kevin penasaran.
“Jadi gini. Bulan depan kan fakultas kita bakalan ngadain misa bulanan. Biasanya ada souvenir kan yang dikasih tiap habis misa. Nah, gua kepikiran buat ngasih umat yang hadir itu rosario. Menurut lo gimana?”
“Rosario? Boleh-boleh aja tuh. Staff atau pengurus inti lo setuju gak?”
“Gua belom kasih tau sih. Ini masih rencana doang soalnya. Gua rencana mau ngasih 200 rosario, tapi bikinan sendiri.”
Boleh tuh---sebentar. Bikinan sendiri? Gak salah lo? Beli yang udah jadi kan banyak di toko rohani.”
“Tapi, rosario buatan pribadi kan unik. Biar mereka bisa dapet kenang-kenangan yang gak biasa gitu."
“Udah gila ya lo? Buat dua ratus rosario? Gua kalo jadi staff lo sih langsung nolak ya. Mending beli yang udah jadi. Walaupun gak unik, kan yang penting fungsinya bisa buat berdoa. Gimana sih lo.”
“Ini tuh namanya kreatif.”
“Tuhan tidak mau menerima hamba-Nya yang doyan menyusahkan diri, Tristanku sayangku.”
“Tapi kan….”
“Gak ada tapi-tapi. Gua gak mau bantuin kalo kayak gitu. Kalo mau nyusahin diri ya gak gini juga dong.”
Menyadari bahwa Kevin tidak mau membantunya, Tristan memikirkan ulang kembali rencananya itu. Padahal, menurut Tristan, jika rosarionya dibuat sendiri, tentu hasilnya bisa lebih baik. Namun, karena Tristan juga tidak yakin anggota staff dan kepengurusan lainnya mau membantu dirinya, Tristan akhirnya menyetujui untuk tidak jadi membuat rosario sendiri dan kemudian memutuskan untuk membeli rosario yang sudah jadi saja.
*****
“Terakhir lo minta tolong ke gua dengan nada suara kayak gini, lo ngerencanain mau buat 200 rosario dengan tangan sendiri. Kurang aneh apalagi coba,” cerocos Kevin masih kesal saat mengingat kejadian anehnya beberapa bulan lalu.