Your Answer is Me

William Oktavius
Chapter #8

Lost in the Reality

Tristan sedari tadi hanya mondar-mandir saja di pinggir danau kampus. Tristan masih bingung, cara apalagi yang bisa digunakan untuk membantu Windy mendapatkan ingatannya kembali.

“Duh, pake cara apalagi ya? Windy cuma bisa ngingat sampai kaprodi di zaman dia doang. Mau cari file skripsi Windy, anaknya aja belom kelar skripsian udah keburu meninggal. Nyari data mahasiswa, tahun segitu emangnya udah ada catatannya? Windy kan angkatan tua, sekitaran tahun 1998 - 2003 berarti. Yakali ada. Kalo mau nanya orang, masa nanya ke Prof. Hendra sih? Nanti dia mikir yang aneh-aneh lagi ke kita. Ini kan udah terlalu jauh jarak angkatannya,” gerutu Tristan sedikit gemas dengan apa yang sudah terjadi. Awalnya Tristan mengira semuanya bisa berjalan lancar. Namun, di luar dugaannya, ternyata membantu menggali kembali ingatan seorang hantu itu cukup sulit.

“Pura-pura bertanya aja. Kayak mau nyari info buat tante lo atau apa gitu?” usul Kevin. Kevin merasa kasihan karena melihat sahabatnya itu sudah seperti orang stres yang tidak bisa diam. Untuk itu, Kevin mencoba memberikan satu saran kepada Tristan untuk dicoba.

“Kalo dibalikin kayak, ‘kenapa gak nanya sendiri aja ke orangnya langsung?’, gimana?” sanggah Tristan, merasa bahwa usulan Kevin sedikit berbahaya.

“Bilang aja kalo kepengen ngasih surprise gitu, jadi harus bertanya lewat orang lain.”

“Ah, alasannya kurang meyakinkan. Takut ah gua.”

*****

“Windy? Angkatan sekitar tahun 1998 - 2003? Aduh, maaf ya. Bapak udah gak ingat. Sekarang saja sudah angkatan 2020 kan yang masuk, jadi sudah terlalu banyak mahasiswa yang saya ajar.”

Ujung-ujungnya minta gua buat nemenin nanya langsung, padahal tadi udah nolak, gerutu Kevin di dalam hatinya. Sementara itu, Prof. Hendra meminta maaf kepada Tristan dan Kevin karena tidak bisa mengingat lagi salah satu mahasiswanya itu karena sudah terlalu lama jarak antara tahun Windy mulai berkuliah dengan tahun ini.

“Kalo kamu butuh informasi mengenai Windy, mungkin kamu bisa mencari terlebih dahulu karya yang pernah dibuat oleh Windy, seperti skripsi atau karya ilmiah. Namun, karena dia angkatan tua seperti yang kamu katakan, sepertinya agak sulit. Tapi, kalo kalian tetap mau mencoba, tidak apa-apa,” ucap Prof. Hendra mencoba memberikan saran kepada dua mahasiswanya itu.

“Oh begitu. Baik, Prof. Terima kasih untuk sarannya. Terima kasih juga sudah berkenan menerima kedatangan kami, Prof,” pamit Tristan undur diri, merasa cukup dengan tanya-jawab bersama dosennya itu. Setelah menarik Kevin dan memintanya juga berpamitan, kedua anak itu kemudian pergi keluar dari ruangan Prof. Hendra.

“Kok lo gak nanya lebih lanjut lagi sih? Kayak data apalagi gitu,” protes Kevin sesampainya mereka di luar ruangan Prof. Hendra. Kevin merasa mereka masih sangat kurang dalam bertanya mengenai data Windy selama berkuliah.

“Ih. Windy kan udah meninggal. Makin aneh kalo gua tanyain lagi. Tadi nanyain info Windy aja udah aneh, terus bapaknya nyaranin buat cari literatur yang pernah dibuat Windy. Kalo tadi gua ada bilang anaknya belom kelar skripsi karena udah keburu meninggal kan lebih aneh lagi. Tar disangka gua ada apa-apa lagi, ngebet banget nyari info orang yang udah meninggal puluhan tahun lalu,” sanggah Tristan karena merasa mereka sudah cukup aneh jika bertanya kepada orang lain secara berlebihan.

“Tapi tetep aja kalo nanya-nya kayak tadi, itu gak membantu,” jawab Kevin masih merasa tidak puas.

“Yauda, iya. Terus sekarang bagusnya gimana?”

*****

“Loh, kalian lagi. Ada apa lagi ya?”

“Eh…itu…anu….” Tristan sedikit tergagap karena bingung untuk mencari alasan yang logis agar Prof. Hendra tidak berpikir yang aneh-aneh terhadap dirinya. Sayangnya, karena ini juga membuat Tristan terlihat kikuk di depan dosennya itu.

Lihat selengkapnya