“Sudahlah, Tristan. Aku tidak apa. Tidak perlu memaksakan lagi, aku rasa memang sudah tidak ada jalan lain.”
Tristan sedikit terkejut mendengar Windy akhirnya memilih untuk menyerah dan tidak mau melanjutkan pencarian mengenai jati dirinya. Padahal, jika dirasa perlu, Tristan masih akan dengan sangat senang hati untuk membantu Windy. Bahkan, Tristan akan berusaha terus hingga nanti Windy bisa tahu kembali siapa dirinya yang sesungguhnya.
“Apakah kamu yakin, Windy? Aku masih siap dan bersedia untuk menolong kamu kok. Tenang saja,” jawab Tristan mencoba meyakinkan Windy kembali bahwa Tristan akan selalu mendukungnya.
Windy berpaling ke arah lain, menatap laboratorium yang seingatnya pernah ia masuki dulu. Windy perlahan kembali mencoba mengingat semampu yang ia bisa. Namun, baru beberapa saat mencoba, Windy memilih untuk menyerah. Kepalanya terasa sakit, sedangkan ingatan yang diharapkan belum juga muncul.
“Tidak apa, Tristan. Sepertinya memang aku sudah tidak bisa mengingat kembali siapa diriku dan bagaimana aku bisa meninggal. Terima kasih karena kamu sudah mau membantu sampai saat ini, Tristan,” ujar Windy menyudahi percobaannya untuk mengingat masa lalunya itu.
“Tapi, bagaimana dengan kamu ke depannya?”
“Tidak apa. Biarlah seperti ini saja. Aku sudah mulai mencoba untuk menerima keadaan ini.”
“Jika kamu nantinya tidak bisa kembali menuju tempat yang seharusnya?”
Windy hanya menatap lurus saja. Terlihat raut wajah sedih di sana. Namun, beberapa saat kemudian, Windy menoleh ke arah Tristan. “Tidak apa. Yang penting aku sudah bisa menerima keadaan aku untuk saat ini, itu lebih penting. Urusan nanti aku bisa bergabung ke kerajaan surga atau tidak, itu biarlah menjadi bonus saja.”
Tristan tertegun mendengar ketegaran dari Windy. Meskipun begitu, Tristan menjadi sedikit merasa bersalah juga karena telah memaksa Windy untuk datang ke laboratorium, padahal sebelumnya Windy sudah menolak permintaannya. Karena dirinya yang sedikit memaksa juga, kini Windy akhirnya memilih untuk menyerah.
“Maaf.”
Windy sedikit terkejut saat mendengar kata maaf keluar dari mulut Tristan. “Untuk apa kamu minta maaf, Tristan?”
Tristan hanya menundukkan wajahnya, takut untuk menatap Windy yang masih bersedih karena dirinya. “Karena aku terus menerus memaksa kamu untuk datang ke laboratorium, kamu kembali merasakan sakit. Karena itu, kamu memilih untuk menyerah. Dan itu semua karena aku,” ucap Tristan mengakui perbuatannya sedikit buruk pada Windy.
“Aku masih tidak mengerti mengapa kamu bisa sampai setakut itu. Namun, setelah melihat reaksi kamu tadi, aku merasa sudah begitu kejam kepada kamu karena telah memaksa kamu untuk masuk ke laboratorium. Sekali lagi, maafkan aku,” lanjut Tristan merasa menyesal. Ia masih tidak tega saat mengingat Windy yang menangis karena laboratorium penelitian.
“Kamu sebenarnya tidak perlu meminta maaf, Tristan. Kamu sudah mau membantu aku, tapi memang akunya saja yang belum siap. Tapi, aku janji, jika nanti aku sudah siap, cara ini bisa kita pakai kembali,” jawab Windy mencoba tidak membuat Tristan merasa semakin bersalah.