Libur pergantian semester dimanfaatkan oleh Tristan untuk bermalas-malasan. Ini adalah libur panjang terakhir dirinya sebelum nantinya ia akan disibukkan oleh ritual mahasiswa tingkat akhir, yaitu membuat skripsi. Tristan merasa ia belum siap untuk membuat skripsi, sekalipun dirinya sebentar lagi akan menjadi mahasiswa semester delapan.
Tristan membuka kalender di handphone-nya. Mencoba menerka berapa lama lagi liburannya akan berakhir. “Yah, tinggal enam belas hari lagi liburnya. Padahal masih pengen malas-malasan,” gumam Tristan kecewa setelah menghitung sisa hari liburnya. “Padahal juga belom ngapa-ngapain, eh udah mau habis aja liburannya,” keluhnya lagi. Tristan sudah berencana ingin maraton menonton film, sayangnya, karena ada beberapa kegiatan lain, jadinya Tristan memutuskan untuk menunda terlebih dahulu refreshing-nya. Namun ternyata, liburannya lewat begitu saja dan tidak terasa, sebentar lagi Tristan akan kembali berkuliah.
“Baiklah, gua mau jalan-jalan sore dulu, mumpung masih ada waktu free sebelum nanti malah stres urusin skripsi,” ujar Tristan. Ia lalu beranjak, memilih untuk menikmati waktu sore di kampusnya.
*****
“Gedung kimia di semua kampus kayaknya sama aja. Auranya suram,” keluh Tristan saat melihat gedung kimianya di sore hari. Walaupun matahari orange masih bersinar, namun aura gelap dari gedung kuliahnya sudah terasa. Ditambah lagi bangunan yang ditempati Tristan itu sudah dibangun jauh dari sebelum Tristan lahir, karena itu, kesan menyeramkan semakin bertambah akibat gedung kuliah itu sudah berusia cukup lama.
Sambil menatap gedung kimianya itu, Tristan memilih untuk menghabiskan sore harinya di taman kimia depan gedungnya itu. Tujuannya, yaitu untuk membangun suasana baik sebelum nanti Tristan harus menghabiskan beberapa bulan dengan melakukan penelitian di sana sambil mengerjakan skripsinya.
“Windy!” panggil Tristan saat melihat Windy yang sedang berada di depan gedung kimia. Windy menoleh ke arah Tristan, lalu berlari menghampiri cowok itu dengan wajah penuh senyum. Tristan kemudian mengambil earphone-nya, lalu menggunakannya. Seperti biasa, Tristan menggunakan earphone bluetooth-nya ini agar tidak dicurigai oleh orang banyak bahwa ia bisa melihat makhluk transparan seperti Windy.
“Kamu sedang merenungi apa?” tanya Tristan setelah Windy hadir di depan dirinya. Saat Tristan melihat Windy tadi, Tristan seperti merasakan bahwa Windy sedang memikirkan sesuatu.
“Aku sedang terpikirkan kembali bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke api penyucian. Sepertinya pakai cara apapun, hasilnya akan tetap sama. Aku akan menjadi hantu yang harus tinggal di dunia.”
Tristan menggelengkan kepalanya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Windy? Bukankah kamu sendiri yang ingin masuk ke dalam kebahagiaan abadi di surga nanti?” tanya Tristan, ikut sedih karena Windy terlihat ingin menyerah untuk kesekian kalinya.
“Tapi, aku jadi takut bahwa semua pekerjaan ini adalah sia-sia, Tristan. Aku sama sekali tidak mendapatkan petunjuk dari Tuhan harus berbuat apa. Jadi, aku tidak tahu apa yang aku lakukan ini benar atau salah.”
Gelengan lemah kepala Windy membuat Tristan ikut sedih juga. Dirinya sendiri memang juga tidak tahu harus berbuat apalagi. Namun, jika Windy yang notabene-nya adalah makhluk yang harus berjuang lebih besar saja sudah menyerah, Tristan sudah tidak bisa berbuat banak lagi. Jadinya, kini Tristan hanya memilih untuk menemani Windy menatap sore hari di gedung kimia kampus mereka.
*****
“Hahahahaha!”
Tristan merasa ia seperti mengenal suara makhluk yang sedang tertawa menyeramkan ini. Namun, Tristan merasa bahwa tempat ini begitu tidak baik. Suasananya cukup mengerikan.
“Ternyata memang menipu manusia itu mudah. Tidak kusangka ternyata aku bisa mendapatkan manusia hanya dengan berubah wujud menjadi perempuan,” seru suara itu, masih belum diketahui arah datangnya darimana. Tristan hanya bisa menatap sekelilingnya dengan takut.
Tristan sangat terkejut saat melihat Windy tiba-tiba hadir di depannya. Namun, sebelum Tristan memanggil nama Windy, Tristan melihat Windy berubah wujud dari perempuan yang ia kenal menjadi iblis bertanduk dan memegang tongkat logamnya. Sambil memegang tongkat yang berbentuk seperti garpu neraka, Tristan begitu takut melihat sosok yang berada di depannya ini.
“Gak mungkin. Windy? Ka…kamu….?” seru Tristan masih tidak mempercayai apa yang ada di depannya.
“Windy? Siapa itu? Aku bukan Windy, tapi aku adalah iblis yang siap menyesatkan umat manusia,” seru iblis itu sambil tertawa menyeramkan. Bagaikan sedang menonton film siksa neraka secara empat dimensi, Tristan bisa ikut merasakan aura mengerikan di sana.
Dalam mimpi itu, Tristan bisa melihat banyak sekali manusia yang berteriak penuh derita dan sedang disiksa oleh iblis-iblis lainnya. Ada juga jiwa manusia yang sedang terkurung dan tengah memohon pengampunan agar bisa dibebaskan dari penderitaan itu.
“Haruskah aku menambah satu manusia lagi untuk bergabung di sini?” tanya iblis itu sambil perlahan mendekati Tristan. Iblis itu menatap Tristan dengan penuh semangat, seperti telah berhasil menemukan mangsa baru. Sementara itu, Tristan hanya bisa mundur secara perlahan, berusaha menghindari dari iblis itu.
“Kamu mau pergi ke mana, anak muda? Di sini adalah keabadian dan kamu tidak akan bisa kabur ke mana-mana lagi,” lanjut iblis itu masih dengan senyuman seramnya saat melihat Tristan berusaha kabur dari tempat kekuasaannya.
“Tidak. Aku sudah mengikuti perintah Tuhan Yesus dalam menjalani kehidupan. Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh ke dalam tempat seperti ini?” balas Tristan masih berusaha untuk mencari kesempatan agar bisa melarikan diri dari tempat seram ini.
“Mengikuti perintah Tuhan, katamu? Bagaimana caranya kamu sudah begitu yakin, anak muda? Bukankah kamu sendiri pernah merasa takut karena ingin membantu seseorang yang sebenarnya kamu sendiri tidak tahu apa itu dibolehkan atau tidak? Kamu saja sudah ragu dalam menjalankan perintah Tuhanmu itu, anak muda.”
Tristan sedikit bingung dengan kalimat iblis itu. Terasa seperti kalimat ambigu. Seringai mengerikan dari iblis itu seperti berhasil mengingatkan Tristan kembali. Tristan memang pernah merasa ragu untuk mau menolong Windy karena menurutnya, tidak mungkin ada hantu yang tinggal di dunia. Apa karena itu? pikir Tristan cepat. Namun, apa hubungannya? Masa hanya karena itu saja, Tristan langsung dilempar ke tempat seperti ini? Namun, tidak ada yang mustahil dalam kehidupan, jadi bisa saja hal yang seperti ini dapat terjadi padanya.
Tristan masih berusaha menghindari tangkapan dari iblis itu. Sambil tetap melangkah mundur, Tristan masih melihat ke arah iblis itu, memastikan agar iblis itu masih memiliki jarak dari hadapannya. Namun, Tristan seperti menabrak sesuatu. Dengan sedikit ketakutan, Tristan berusaha melihat ke arah belakangnya. Alangkah terkejutnya Tristan saat melihat dirinya menabrak penjara yang berisikan manusia-manusia yang tengah menangis karena disiksa. Tidak kuat mendengar jeritan itu, Tristan berlari ke arah samping, melihat masih ada celah untuk kabur.
Sayangnya, Tristan tidak bertahan lama. Suruhan dari sang iblis telah menunggunya di salah satu sisi tempat itu, hendak menangkap Tristan juga. Beruntung, Tristan memiliki reflek yang bagus, jadinya Tristan masih bisa berkelit dan kabur dari tangkapan suruhan iblis itu.
“Kamu ingin kabur ke mana lagi, anak muda? Di sini adalah tempat kekuasaanku dan kamu tidak akan bisa mendapatkan bantuan. Bahkan manusia lainnya hanya bisa memikirkan keselamatannya sendiri, bagaimana bisa kamu meminta untuk diselamatkan oleh mereka? Sudahlah, mari kita bergabung dan kamu nikmati sendiri bagaimana tempat ini bekerja.”
Tristan hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar iblis itu berbicara. Tristan tidak mau menjadi penghuni tetap tempat terkutuk ini. Tristan lalu melihat ke arah lainnya, berusaha mencari celah untuk bisa kabur dari sana. Tetapi, semakin Tristan berusaha untuk mencari jalan kabur, semakin dekat pula iblis itu menghampiri Tristan.
Dalam keputus-asaannya, Tristan berdoa di dalam hatinya, memohon pertolongan dari Tuhan Yesus agar bisa menolong dirinya. Namun, Tristan merasa doanya seperti tidak didengar karena manusia-manusia lainnya yang sedang disiksa juga ada yang berusaha meminta pertolongan, namun tidak ada yang terjadi di sana.
Saat sedang menangis ketakutan karena iblis itu semakin mendekat ke arah Tristan, sementara Tristan sudah terpojok karena tidak bisa kabur lagi, tiba-tiba sebuah pertolongan datang. Ada sebuah tangan yang datang dari atas Tristan dan kemudian berusaha menggenggam Tristan. Tristan menangkap tangan itu, lalu Tristan bisa terangkat dari tempat mengerikan itu. Lalu, Tristan merasa dirinya melayang, dan setelah itu, semuanya hanya menjadi putih saja di mata Tristan.
*****
“Arghh!”
Tristan langsung terbangun dari tidurnya sambil terengah-engah. Tubuh Tristan begitu basah oleh keringat yang membanjiri badannya. Sambil mengambil posisi duduk, Tristan mencoba mengatur kembali napasnya yang tidak beraturan. Tristan lalu menatap ke sekelilingnya, lalu mengucapkan syukur karena bisa melihat kembali kamarnya itu. Tristan lalu memegang pipinya perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Tristan sudah kembali ke dunia nyata. “Syukurlah, tadi itu cuma mimpi,” gumamnya.
Namun, Tristan tidak bisa begitu saja melupakan mimpi yang baru saja ia alami itu. Tristan merasa ia begitu nyata dan berada di depan iblis yang sedang memperdaya-nya. Windy yang ia kenal langsung berubah menjadi iblis yang siap menerkam umat Allah yang lengah.
Tristan lalu mendaraskan doa Bapa Kami sambil mencoba menenangkan dirinya kembali. Tristan masih merasa takut jika harus mengingat kejadian yang melekat di kepalanya itu. Setelah itu, Tristan memulai doa paginya sekaligus bersyukur karena yang ia alami hanyalah sebuah mimpi.
Tristan kemudian menengok ke jam yang berada di meja belajarnya. “Jam lima pagi lewat lima belas. Matahari pun belom ada,” ujarnya. Sesaat, Tristan lalu memutuskan untuk mengikuti ibadah pagi di gereja sekaligus menenangkan kembali pikirannya. “Gereja pagi jam enam, kalo sekarang siap-siap, harusnya masih keburu,” sahutnya. Tristan lalu kemudian langsung pergi beberes dan kemudian bergegas menuju ke gereja.