“Ini di mana ya?”
Tristan sedang berjalan kebingungan. Di depan matanya hanya terlihat kabut putih yang tebal. Samar-samar terlihat ada sebuah cahaya di ujung kabut, namun masih \terasa begitu jauh. Sambil mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling, Tristan tidak bisa melihat apa-apa selain kabut putih itu. Sambil berjalan perlahan karena takut tersandung, Tristan akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju arah cahaya yang ia lihat. Satu-satunya petunjuk yang bisa ia temukan di tengah tebalnya kabut putih di sekitarnya.
“Halo? Apakah ada orang lain di sini?” teriak Tristan. Sambil mencari tahu di mana sebenarnya Tristan berada, sesekali Tristan juga berteriak. Mencoba mencari orang lain yang bisa membantu menjelaskan di mana sesungguhnya Tristan berada.
“Ini sebenarnya di mana sih? Kiri-kanan cuma ada kabut doang. Ini terang begini harusnya siang hari, tapi kok aneh banget gitu. Masa gak keliatan apa-apa. Cuma cahaya terang doang di salah satu arah. Ngelihat pohon pun ngga. Nyasar di mana sih sebenernya gua?” gerutu Tristan sambil mengacak-acak rambutnya. Tristan mulai frustasi karena sudah sekian lama ia berjalan, ia masih belum menemukan satupun petunjuk mengenai lokasi dirinya.
“Akhirnya sampai juga,” seru Tristan setelah ia sampai di ujung kabut itu. Setelahnya, Tristan hanya bisa melongo kagum. Pemandangan di depannya begitu indah. Bagaikan berada di negeri dongeng, Tristan bisa melihat taman yang begitu indah. Hewan-hewan berlalu-lalang di sana. Terlihat juga aliran sungai yang mengalir pelan. Gemericik air yang mengalir terdengar pelan, membuat suasana sedikit lebih ramai. Kupu-kupu yang berterbangan juga membuat taman menjadi lebih indah. Tristan merasa dirinya seperti berada di taman eden, taman yang dulu pernah diceritakan saat ia mengikuti sekolah minggu sewaktu Tristan berumur tujuh tahun.
“Kayak taman eden ya ini. Indah banget. Tapi kenapa gua tiba-tiba bisa ada di sini ya?” Meskipun Tristan masih ingin mengagumi ciptaan Tuhan mengenai taman ini, Tristan juga merasa heran karena ia tidak mengetahui alasan mengapa ia bisa menginjakkan kaki di tempat ini.
“Tristan Geraldi.”
Tristan terkejut saat mendengar suara yang ia kenal. Perasaannya menjadi tidak karuan saat ia mencoba mengingat kembali suara yang memanggilnya itu.
“Tristan Geraldi.”
Perlahan, air mata Tristan mulai mengalir saat suara itu memanggil namanya kembali. Tristan menjadi yakin bahwa orang yang memanggilnya ini adalah orang yang ia rindukan. Suara yang sudah sekian tahun tidak pernah ia dengar. Perlahan, Tristan membalikkan badannya ke arah datangnya suara. Tristan hanya bisa terdiam saat melihat sosok perempuan yang kini berada di hadapannya ini.
“Ma…mama?”
Tristan tergagap saat melihat ibunya kini telah berada di depannya. Sosok yang sudah sekian tahun pergi meninggalkan Tristan. Perlahan, Tristan mulai menangis, lalu perempuan itu menghampiri dan memeluk Tristan.
“Apa Tristan lagi bermimpi? Tristan kangen sama mama. Udah sekian tahun mama tinggalin Tristan sama papa, udah sekian tahun juga Tristan gak bisa denger suara mama lagi. Terus sekarang Tristan bisa ketemu langsung sama mama. Tristan kangen sama mama.” Tangisan Tristan kembali terdengar saat Tristan berpelukan dengan ibunya. Ibu yang Tristan rindukan karena sudah pergi meninggalkan dunia sekitar delapan tahun yang lalu.
“Tidak, Nak. Ini benar mama. Mama juga rindu sama kamu. Setelah sekian lama, akhirnya mama bisa bertemu sama kamu lagi. Anak kebanggaan mama sudah tumbuh menjadi laki-laki yang dewasa ternyata,” ucap Natalie, ibu Tristan, secara perlahan di pelukan Tristan. Natalie juga sangat merindukan anaknya yang sudah ia tinggalkan terlebih dahulu.
“Gimana kabar Mama di sini? Mama baik-baik aja kan? Tristan dan papa rindu dengan mama. Terkadang Tristan sama papa juga mendoakan mama biar mama bisa berbahagia di surga.” Tristan sedikit terisak saat mengutarakan rasa kangen terhadap ibunya. Natalie memang sudah meninggalkan Tristan dan ayahnya beberapa tahun yang lalu.
“Mama baik-baik aja, Nak. Ini buktinya Tristan bisa lihat Mama di sini baik-baik aja kan?” Natalie membalas ucapan Tristan sambil tersenyum. Perlahan, Natalie membelai rambut anak laki-lakinya yang ia banggakan itu. Senang karena Tristan bisa tumbuh sehat.
“Iya, Ma. Boleh kita jalan-jalan sebentar, Ma? Tristan sudah lama tidak jalan sama mama, jadi Tristan mau menghabiskan waktu sama mama selagi bisa,” pinta Tristan dan menatap wajah ibunya.
Natalie tersenyum mendengarkan permintaan anaknya. Natalie kemudian mengizinkan Tristan untuk menghabiskan waktu sejenak bersamanya. Toh, dirinya juga sudah lama tidak menemui anaknya ini, tentu Natalie juga ingin mengetahui bagaimana perkembangan Tristan semenjak dirinya meninggalkan dunia ini.
“Taman ini indah sekali, Ma. Apa Tristan bisa terus di sini bersama mama? Aku kangen karena sudah sekian tahun tidak menghabiskan waktu bersama mama,” ucap Tristan saat berjalan-jalan bersama Natalie menyusuri taman yang menurut Tristan sedikit aneh. Ia seperti sedang berjalan di taman negeri dongeng.
Natalie menggelengkan kepalanya. “Mama juga berkeinginan seperti itu. Tapi mama bisa bertemu Tristan lagi di sini sudah cukup bagi mama. Jadi mama tidak berani meminta lebih,” ucapnya sedih.
“Lalu, mengapa Tristan bisa ketemu mama di sini? Kalo misalkan ini bukan mimpi, apa Tristan sudah waktunya untuk menyusul mama?” Tristan merasa bingung. Tadi ibunya mengatakan bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Namun, jika demikian, apa artinya Tristan sudah pergi meninggalkan dunia dan kini bisa bersama dengan ibunya? Tristan tidak menemukan alasan yang masuk akal mengapa ia bisa bertemu ibunya di tempat seperti ini.
“Bukan begitu. Waktu mama di api penyucian sudah selesai. Sebelum mama bergabung di kerajaan surga, mama berdoa kepada Tuhan agar mama bisa bertemu kembali dengan kamu. Doa mama dikabulkan dan sekarang mama bisa melihat kamu lagi, Nak.”
“Loh, memangnya bisa gitu?”
“Tentu saja bisa. Ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita pikirkan secara logika. Cukup kita hayati melalui hati kemudian ikuti alur yang diberikan oleh Tuhan untuk kita jalani.”
“Terus, ini Tristan berada di mana, Ma? Berarti ini bukan surga?”
“Bukan. Surga tempatnya jauh lebih indah. Ada di seberang air terjun itu. Tapi dari sini tidak bisa terlihat karena tertutup air terjun itu. Nanti kalau kita udah menyebrangi air terjun itu, kita akan sampai di sebuah gerbang. Pintu masuk untuk menuju kerajaan surga,” jawab Natalie sambil menunjuk salah satu arah di taman tersebut. Tristan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh Natalie, kemudian ia berdecak kagum karena melihat air terjun yang begitu indah. Banyak bunga-bunga di sekitar air terjun itu, kupu-kupu yang berterbangan, serta adanya pelangi di dekat ujung air terjun itu. Gemericik air terjun yang terdengar syahdu juga membuat Tristan merasa lebih tenang.
Mata Tristan berbinar membayangkan seberapa indah Surga yang berada di belakang air terjun itu. Meskipun demikian, ia tidak tahu akan seperti apa penampakan Surga itu. Berada di taman sebelum surga saja sudah lebih indah, tentunya surga pasti lebih menarik hati lagi. “Taman ini saja sudah begitu indah, pasti di surga sana akan lebih indah lagi. Yuk, Ma, kita sama-sama berjalan ke sana,” ajak Tristan sambil menggandeng tangan ibunya.