Sudah beberapa hari sejak Tristan bertemu langsung dengan ibunya di dalam mimpi. Sudah beberapa hari itu pula Tristan terlihat seperti tidak punya semangat hidup. Tristan masih berpikir mengenai keadaan ibunya di surga sana. Ditambah Tristan juga sedang bermusuhan dengan Windy, semakin lengkap pula sepinya Tristan dalam menjalani liburannya. List film yang hendak ditonton Tristan selama liburannya kembali menjadi angan belaka. Tristan merasa tidak mempunyai mood untuk menghabiskan waktunya dengan menonton film series.
Tristan mendengar handphone-nya berbunyi. Dengan rasa malas, seperti tidak mempunyai semangat hidup, Tristan lalu mengangkat teleponnya itu.
“Tristan, gua main ke apartemen lo ya. Gua gabut nih. Pulang ke rumah tapi gak ngapa-ngapain juga. Boleh ya?”
Suara khas milik Kevin membuat Tristan sedikit terperanjat. Ia memang tidak mengecek terlebih dahulu siapa yang menelponnya. Untuk memastikan kembali, Tristan melihat layar handphone-nya. Tertulis “Kevin Bangsat” tertera di layar handphone itu. Tristan pun memutuskan untuk meladeni sahabatnya itu.
“Yah, gua lagi di rumah, Kev. Apa lo mau main ke rumah?”
“Di rumah? Wah, ada Om Rio juga dong berarti? Dia lagi ada di rumah?”
“Iya, kalo sekarang ada. Kalo besok gak tau. Tapi hari ini papa bilang dia lagi gak ngurusin kerjaan dulu sih. Lagian kan ini hari minggu. Weekend. Papa gua jarang ada urusan kerjaan pas weekend kecuali kalo ada yang urgent. Palingan ke luar kota, tapi buat minggu ini dia lagi libur sih.”
“Oh iya, udah kelamaan libur jadi lupa hari, hehehe.”
“Padahal baru juga tiga minggu liburnya. Dua minggu lagi udah masuk.”
“Yauda deh. Gua main ke sana ya. Sekalian nginep deh. Masa udah jauh-jauh main lintas kota tapi gak nginap kan.”
“Iya boleh. Banyak bacot ya lo. Masih sama-sama Jakarta juga. Lagian kan dari dulu lo kalo mau nginep juga gak banyak lapor.”
“Pondok Indah ke PIK itu jauh. Dan gua sedang mau belajar menjadi laki-laki yang sopan dan harus meminta izin terlebih dahulu sebelum bertamu.”
“Udah kayak mau izin ketemu sama calon mertua aja. Maaf, Kevin, tapi gua bukan siapa-siapa lo.”
“Gua juga gak mau jadiin lo pacar gua kali. Masih banyak yang lebih baik daripada lo.”
“Ngomong lagi atau lo gak gua izinin nginep.”
“Gausah cemburu gitu dong, sayangku. Iya, iya. Ampun, Tristan sayang. Maafkan hamba.”
Tristan mematikan teleponnya. Tidak habis pikir dengan kelakuan Kevin yang masih saja suka berkelakuan aneh. Meskipun Tristan sudah bersama dengan Kevin sejak TK, namun ia masih belum bisa menemukan cara untuk menetralisir tingkah laku Kevin yang menurutnya sedikit ajaib. Tristan kemudian memilih untuk membereskan kamarnya sambil menunggu tamu istimewanya hadir.
*****
“Tristan! Om Rio!”
Rio yang sedang berada di ruang tamu mengerjakan pekerjaannya menggunakan laptopnya kemudian menghampiri Kevin yang sudah berada di depan pagar rumahnya. Sambil memberi salam kepada Rio, Kevin meminta izin untuk masuk ke dalam kamarnya Tristan. Rio mengangguk, lalu ia kemudian mempersilakan Kevin untuk langsung masuk ke dalam rumah. Kevin yang sudah diberi izin lalu membungkukkan badannya sejenak, lalu masuk ke dalam rumah dan pergi menuju kamar sahabatnya itu.
“Huft. Papanya Tristan tetep aja nyeremin walaupun udah sering ketemu. Bikin takut aja,” gumam Kevin pelan sambil berjalan masuk ke kamar Tristan.
*****
Tristan sedang duduk termenung di atas kasurnya sambil menekuk kedua lututnya. Kedua tangannya melingkar di dekat betisnya. Sesekali kepalanya ia benamkan di antara kedua lututnya. Tristan sedang mencoba memikirkan kembali beberapa kejadian yang ia alami belakangan ini. Dimulai dari keraguannya terhadap Windy, pertemuan dengan ibunya di tempat yang ia tidak ketahui, lalu perziarahan ke makam ibunya seorang diri. Ia merasa begitu lelah dengan semua yang sudah terjadi. Tiba-tiba ia mendengar suara Kevin memanggil dirinya.
“Tristan sayang!”
Kevin tidak mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung masuk ke dalam kamar Tristan. Tristan yang sedang asik dalam lamunannya kemudian menoleh perlahan ke arah Kevin, membuat Kevin membuka kedua mulutnya sambil menempelkan kedua tangannya di pipinya.
“Tristan! Lo kenapa? Kok stres banget mukanya kayak habis diputusin?”
Suara heboh Kevin membuat Tristan menjadi sedikit hidup. Walaupun tidak drastis, namun setidaknya wajah putus asa dari Tristan perlahan berkurang. Meskipun begitu, aura suram dari diri Tristan tidak menghilang begitu saja. Malah masih terlihat begitu jelas pancaran suram dari diri Tristan dan membuat Kevin merasa sahabatnya itu sedang banyak masalah. Beruntung saja Tristan belum melakukan hal aneh sehingga Kevin masih bersyukur bahwa dirinya masih bisa melihat Tristan secara langsung.
“Emangnya muka gua terlihat kayak orang stres ya?”