“Duh, andaikan kemarin gua bisa melihat Windy, pasti adegan kemarin di rooftop bakal ngalahin film-film romance yang biasa tayang di bioskop.”
Kevin masih mengingat jelas bagaimana Tristan tiba-tiba terpaku, memohon kepada Windy, berjalan perlahan ke arah tengah gedung, mengangkat tangan seolah hendak bersentuhan, menangis, hingga akhirnya meminta maaf. Semua terasa seperti sedang menonton film romance yang biasa Kevin tonton. Sayangnya, untuk adegan yang kemarin, Kevin seperti menonton bagian laki-lakinya saja tanpa ada pemeran wanita di sana.
Sementara itu, Tristan terlihat lebih bahagia dibandingkan hari-hari sebelumnya. Karena Tristan sudah berbaikan kembali dengan Windy, maka, satu beban di pikiran Tristan sudah hilang. Kini, Tristan hanya cukup memikirkan bagaimana caranya agar rencananya membantu Windy dapat berjalan kembali.
“So, lo memutuskan untuk membantu Windy, kan? Tapi lo jadinya mau mulai dari mana nih? Kan kemaren lo udah nyerah,” sahut Kevin menyadarkan Tristan kembali dari lamunannya.
“Itu kan kemaren. Sekarang gua udah baikan sama Windy, jadi bakal gua usahakan,” ucap Tristan optimis. Tristan yakin untuk kali ini, ia akan berhasil, sekalipun akan memakan waktu yang sedikit lebih lama.
“Udah kayak cowok yang mau bertanggungjawab atas apa yang sudah dilakukan aja,” ledek Kevin saat mendengar tekad Tristan untuk membantu Windy sudah cukup kuat. Namun, karena mereka berdua belum mendapatkan ide untuk membantu Windy, jadilah mereka berdua memutuskan untuk memikirkannya di kemudian hari.
*****
Tristan langsung mengeluh ketika alarm di handphone-nya berbunyi. Hari pertama kuliahnya di semester delapan sudah dimulai. Sebenarnya, Tristan semester ini cukup memusingkan skripsi juga. Tetapi, karena Tristan juga ada mengambil mata kuliah di semester ini, maka Tristan akhirnya harus bangun di senin pagi agar tidak telat di kelas perkuliahan jam delapan pagi.
Di sisi lain, Kevin masih dapat menikmati tidur paginya karena Kevin memutuskan untuk tidak mengambil mata kuliah di semester ini. Setelah Kevin pikir dengan seksama, skripsi sudah cukup membuat dirinya stres. Oleh karena itu, Kevin tidak berani menambah beban hidupnya jika harus mengambil mata kuliah tambahan. Jadinya, Kevin hanya perlu berurusan dengan skripsi saja di semester ini.
Sementara itu, Windy menatap harinya dengan semangat. Meskipun belum ada progress yang cukup baik bagi dirinya untuk kembali ke api penyucian, tapi Windy sudah ada penyemangat lainnya. Tristan sudah kembali dan bersiap untuk membantunya. Oleh karena itu, Windy optimis bahwa ia bisa mendapatkan jawabannya, meskipun nantinya diperlukan waktu yang tidak sebentar dalam mengungkapkan kebenaran yang ada.
*****
“Sepertinya buku saya ada yang tertinggal. Tristan, boleh minta tolong?”
Tristan yang sedang memperhatikan handphone-nya langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar namanya disebut. “Iya, Pak?”
“Kamu ke sini sebentar,” pinta Pak Jamie. Tristan lalu berjalan menghadap dosennya itu. Tidak lupa tentunya membawa handphone-nya itu agar Tristan tidak merasa kesepian. “Jadi buku saya ada yang tertinggal di ruangan. Kamu tolong ambilkan di ruangan saya ya,” lanjut Pak Jamie sambil menjelaskan apa yang harus Tristan lakukan. Tristan mengangguk, lalu pergi meninggalkan kelasnya. Sementara itu, Pak Jamie kembali melanjutkan paparan materinya sambil menunggu kedatangan buku miliknya yang diambil Tristan.
“Pak Jamie kebiasaan deh. Ada aja yang ketinggalan. Gua mulu lagi yang kena. Mana ini baru hari pertama semester pula,” gerutu Tristan sambil berjalan menuju ruangan Pak Jamie. Karena berbeda gedung antara kelas tempat Tristan belajar dengan ruangan Pak Jamie, jadinya Tristan harus pergi menjelajah antar gedung.
Sesampainya di ruangan Pak Jamie, Tristan terdiam sejenak, mencoba berpikir di mana tempat yang paling mungkin Pak Jamie menyimpan bukunya itu. Tristan lalu berkeliling sejenak sambil berharap buku yang dicari dapat segera ditemukan.
“Duh, ada di mana ya?” gerutu Tristan saat mencari buku yang diminta oleh Pak Jamie. Sambil membuka rak yang ada, Tristan mencoba melihat apakah buku yang diharapkan ada atau tidak.
“Ayo muncul dong,” pinta Tristan gemas karena tidak kunjung menemukan buku yang diinginkan. Saat membuka salah satu lemari, Tristan terkejut melihat beberapa tumpukan artikel koran yang mengendap di sana. “Buset dah, Pak Jamie masih aja nyimpen beginian,” tawa Tristan sambil iseng melihat beberapa artikel di sana. Karena tidak berhati-hati, salah satu kertas koran terjatuh dari tumpukan yang diambil Tristan. Tidak mau membuat ruangan Pak Jamie semakin berantakan, Tristan memutuskan untuk merapikan kembali koran-koran yang berserakan.
“Loh, apa ini?” gumam Tristan saat mengambil kertas koran yang tercecer tadi. “Seorang mahasiswa dari Universitas Harapan dinyatakan hilang. Diketahui bahwa korban adalah Windy Yunita, jurusan Kimia, angkatan 1995.” Awalnya, Tristan membaca kalimat berita itu dengan nada biasa. Namun sesaat, Tristan langsung melotot begitu sadar bahwa nama yang ada di koran itu begitu familiar.
“Windy Yunita, angkatan 1995. Apakah ini Windy yang gua kenal?” ucap Tristan masih tidak percaya dengan berita yang ada di sana. Tristan langsung memotret artikel tersebut dengan handphone-nya. Awalnya, Tristan masih mau membaca berita itu agar mengetahui isi artikel itu dengan lengkap. Namun, karena teringat bahwa buku yang diinginkan Pak Jamie belum Tristan dapatkan, karena itu, Tristan memilih untuk memotret keseluruhan artikel untuk dibaca kemudian. Setelah memastikan foto yang ia ambil sudah jernih, Tristan lalu menaruh kembali koran tersebut ke tempatnya.
Tristan kemudian mencari kembali buku yang diinginkan untuk dibawa. Sambil mengomel kesal, Tristan melihat buku itu terletak di atas meja kerja Pak Jamie. “Kan. Tadi gua udah cek di sini gak ada. Sekarang tiba-tiba ada. Emang ya kalo nyari barang pasti ada aja cerita mistisnya,” celoteh Tristan, lalu mengambil buku itu. Setelah memastikan tidak meninggalkan jejak yang mencurigakan, Tristan lalu pergi kembali menuju kelas.
“Pak Jamie pasti bingung kenapa gua lama banget,” gumam Tristan sambil berjalan menuju tempatnya belajar.
*****
“Kamu ngapain aja, Tristan? Kan sudah saya bilang, bukunya ada di ruangan saya.”
Tristan hanya terkekeh pelan. “Iya, di ruangan bapak. Tapi ruangan bapak kan ada banyak tuh isinya. Ada meja, ada loker, ada rak buku, ada lemari juga. Jadinya saya cari satu-satu deh,” jawab Tristan sambil sedikit mengucapkan protes kepada dosennya itu.
“Oh iya, saya lupa menjelaskan lebih detail mengenai lokasi bukunya. Baiklah kalo begitu. Terima kasih, Tristan,” sahut Pak Jamie sambil menerima buku yang diberikan Tristan. Tristan mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya.
Sesampainya Tristan di kursinya, seperti biasa, Tristan kembali tidak mendengarkan ocehan dari dosennya yang sedang mengajar di kelas. Namun, jika biasanya Tristan hanya sibuk sendiri dengan pikiran-pikiran ajaibnya, kali ini Tristan hanya memikirkan artikel yang baru saja ia temukan. Tristan lalu membuka kembali handphone-nya, kemudian membaca artikel itu perlahan. Mencoba untuk memahami kata demi kata yang ada di potongan koran itu.
“Kok ada ya yang kayak begini?” gumam Tristan pelan sambil terus membaca informasi dari foto yang ia ambil. Berharap akan mendapatkan suatu pencerahan setelah memahami isi dari berita itu.
*****
“Lo coba baca artikel ini deh,” sahut Tristan sambil menyodorkan handphone miliknya kepada Kevin. Kevin menerima handphone itu, lalu perlahan mulai membaca artikel yang disebut oleh Tristan.
“Windy Yunita dikabarkan mengalami kecelakaan kerja di laboratorium saat mengerjakan tugas akhirnya. Rekan satu lab yang mengetahui aktivitas Windy hanya tahu sampai saat kecelakaan itu terjadi. Setelah itu, Windy seakan hilang dari peredaran. Pihak keluarga Windy yang pertama kali melapor mengenai kehilangan ini, namun akhirnya tidak ada kabar lebih lanjut dari kejadian ini.”
“Dari keluarganya aja udah ngelapor, tapi gak ada keterangan lebih lanjut. Ada yang aneh sih di sini,” sahut Tristan sambil menunjuk bagian dari artikel itu. Kevin kemudian melanjutkan bacaannya yang sempat terhenti.