Your Answer is Me

William Oktavius
Chapter #21

The Last Fight

“Kalian sedang apa di sini?”

Suara berat dari Rio langsung menghentikan aktivitas dari Kevin dan Tristan. Jantung kedua anak itu hampir saja terlepas karena mendengar suara om-om yang disangka sudah pergi namun tiba-tiba berada di rumah ini kembali.

“Pa…papa?” ujar Tristan sedikit tergagap saat menoleh ke belakang. Tidak menyangka bahwa ayahnya yang sudah pergi ke bandara tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Tristan. Kamu sudah papa peringatkan untuk tidak mengurusi dan masuk ke ruangan ini, tapi kenapa kamu membantah perintah papa?”

Suara datar dari Rio seakan menusuk langsung ke dalam diri Tristan dan Kevin. Terasa seperti sedang menjalani film horor dan tiba-tiba bertemu dengan sosok yang jahat.

“Om…om Rio,” kata Kevin sedikit terbata. Entah mengapa, menurut Kevin, ayahnya Tristan kali ini terlihat sangat menyeramkan, tidak seperti biasanya yang masih ada aura baiknya walaupun tetap terlihat seram.

“Papa kok pulang ke sini lagi? Bukannya papa harus ke bandara?” tanya Tristan sedikit panik. Ia merasa bahwa ayahnya sudah benar pergi, namun mengapa sekarang tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Ada barang papa yang ketinggalan, jadi papa pulang untuk mengambilnya. Saat papa lihat laci kerja papa, ada kunci yang hilang, jadi papa langsung cek. Ternyata benar, kalian berdua ternyata menyusup masuk ke sini,” jawab Rio dengan suara yang menurut Tristan cukup menyeramkan.

“Jadi, apa yang sedang kalian lakukan di sini?” ulang Rio kembali, seperti menegaskan apa yang sebelumnya Rio tanyakan kepada dua anak ini.

“Mencari informasi yang seharusnya Tristan ketahui, Pa,” balas Tristan sedikit takut-takut. Namun, Tristan merasa apa yang ia dapatkan seharusnya sudah cukup. Ditambah informasi dari Windy mengenai ingatannya di masa lalu, sepertinya ini sudah cukup jika Tristan ingin bertanya langsung kepada ayahnya mengenai kematian Windy.

“Papa bilang kalo Papa tidak mengenal Windy. Namun kenapa papa menyimpan artikel mengenai kematian Windy begitu banyak di sini? Sepertinya ada yang aneh,” ujar Tristan kembali. Seolah mendapat keberanian baru, kini Tristan ingin langsung meluruskan informasi yang ia dapatkan kepada sumbernya langsung, yaitu ayahnya sendiri.

“Papa tidak mengenal Windy bukan berarti tidak tahu Windy yang mana. Lagipula, memangnya tidak boleh untuk menyimpan artikel yang cukup fenomenal? Mahasiswi hilang di tahun segitu kan termasuk kejadian langka,” balas Rio untuk pertanyaan Tristan barusan. Awalnya, Tristan ingin mempercayai ucapan Rio. Sayangnya, Tristan mempunyai hal lain yang membuatnya tidak jadi mempercayai ayahnya.

“Lalu mengenai foto ini?” ucap Tristan sedikit ketus saat menunjukkan satu foto yang ditemukan oleh Kevin. Isi foto tersebut memperlihatkan Windy dan juga Rio yang berada di satu frame foto dan menggunakan almamater Universitas Harapan. “Kalo papa pernah foto berdua dengan Windy, berarti papa harusnya kenal kan?” lanjut Tristan kembali sambil memegang foto itu.

Dalam hatinya, Rio mengakui bahwa anaknya itu cukup lihai dalam mencari informasi. Bisa dapat sampai foto itu? Kamu memang anak yang bisa diandalkan, Tristan, puji Rio dalam hatinya. Namun, Rio tetap belum ingin memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi kepada anaknya itu. Karena itu, Rio memilih untuk mencari alasan lain agar Tristan bisa percaya kepadanya.

Windy masih terus menyaksikan pertikaian antara ayah dan anak yang masih berusaha mencari kebenaran menurut dirinya masing-masing. Perlahan, Windy berjalan ke arah Rio dan menatap dengan seksama wajah Rio. Setelah itu, Windy kemudian menatap kembali foto yang dipegang oleh Tristan. Sesaat, Windy langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, terkejut karena ia mendadak teringat sesuatu.

“Kak Dewangga,” lirih Windy saat teringat adanya kemiripan antara foto yang dipegang Tristan dengan wajah Rio. Tristan sedikit terkejut mendengar suara lirih Windy yang menyebutkan sebuah nama. Perlahan, Tristan berusaha melirik ke arah Windy, mencoba membuat pergerakan halus agar ayahnya tidak mencurigai gelagatnya.

Sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Tristan dibuat kaget karena melihat Windy yang seperti orang shock karena mendapatkan informasi yang tidak diinginkan. “Kak Dewangga,” sahut Windy kembali, kali ini dengan suara yang lebih kencang sehingga Tristan bisa mendengarnya.

Tristan hampir saja menyebutkan nama yang diucapkan Windy jika saja Windy tidak langsung muncul di hadapan wajah Tristan sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya, memberikan kode kepada Tristan untuk tidak menyebutkan nama Dewangga terlebih dahulu. Tristan mengangguk pelan, paham dengan permintaan Windy. Setelah itu, Tristan kembali berfokus pada obrolannya dengan ayahnya.

Sementara itu, Windy masih berusaha untuk mencerna kembali apa yang baru saja ia ingat. Kilatan memori semasa ia hidup semakin berputar kencang seiring bertambahnya beberapa informasi yang Windy terima. Perlahan, Windy bergeser ke arah sudut ruangan, mencoba untuk mengingat kembali apa yang bisa ia ingat.

Kevin yang hanya menjadi penonton memilih untuk tidak banyak berkomentar. Ia takut jika nantinya salah berbicara, Kevin bisa membuat suasana menjadi lebih suram. Karena itu, Kevin memilih untuk menyingkir ke salah satu sudut ruangan dan menonton pertengkaran keluarga itu dari sana. Kevin juga belum memiliki niat untuk melerai Tristan dengan Rio. Ini karena Kevin merasa, ia tidak berhak untuk terlalu ikut campur dalam urusan internal keluarga sahabatnya.

“Jadi, kenapa papa bisa punya foto Windy? Terus dari artikel ini, kalo papa simpan, harusnya papa juga tahu mengenai apa yang terjadi pada Windy. Ayo, Pa. Tristan juga mau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di kampus Tristan,” pinta Tristan sedikit memohon kepada ayahnya agar mau jujur kepada dirinya.

“Windy itu keracunan saat mengerjakan tugas akhir di laboratorium. Windy menghirup senyawa beracun, kalo tidak salah itu eter. Windy telah mencapai dosisnya ketika bekerja di laboratorium. Karena itu, Windy sudah tidak dapat diselamatkan lagi,” jelas Rio mencoba memberikan alasan yang tepat kepada Tristan agar anaknya mau percaya dengan dirinya.

Lethal dose eter? Senyawa beracun?” Dua informasi itu seakan terputar kembali di ingatan Tristan. Tristan merasa bahwa pernah mendengar kata-kata ini. Sesaat, Tristan membelalakan matanya, teringat mengenai kelas toksikologi yang pernah ia ambil. Jadi, kalo misalkan kalian mau tau senyawa ini bisa membunuh orang atau nggak, lihat saja lethal dose-nya. Semakin besar angkanya, berarti semakin tidak berbahaya. Kalimat dari dosennya ini seakan berjalan kembali di otaknya.

“Windy itu gak meninggal begitu aja, Pa. Ada yang meracuni-nya, karena dari penjelasan yang bersangkutan, gak mungkin kalo Windy menghirup eter begitu saja bisa langsung meninggal. Lethal dose dari eter itu cukup tinggi kalo mau membunuh orang. Jika baru menghirup eter, pasti Windy hanya sampai di pingsan saja, tidak meninggal. Jadi harusnya ada hal lain yang bisa menyebabkan Windy benar meninggal!”

“Yang bersangkutan? Orangnya saja sudah meninggal, Tristan. Bagaimana kamu bisa mengatakan kalo kamu mengetahuinya dari yang bersangkutan?”

“Dari….” Tristan terdiam. Ia mendadak menjadi bingung harus berkata apa. Ia tidak mau membuat ayahnya tahu jika ia bisa melihat keberadaan Windy. Saat bingung harus mengucapkan apa, Tristan melihat ke arah Windy. Di sana, Windy mengucapkan beberapa kata untuk membantu Tristan. Tristan paham maksud Windy, lalu mengangguk pelan.

“Dari mimpi. Windy hadir dalam mimpi Tristan untuk menjelaskan semua yang sudah terjadi,” jawab Tristan lagi melanjutkan kalimatnya yang terputus tadi.

“Dari mimpi? Memangnya ada ya hal semacam itu?”

“Tapi Tristan bisa menjelaskannya dengan baik, berarti informasi yang Tristan dapatkan mengenai Windy itu benar,” sanggah Tristan. Ia merasa bahwa pernyataannya sudah cukup tepat untuk menguatkan argumennya.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Tristan?”

Lihat selengkapnya