Your Answer is Me

William Oktavius
Chapter #22

See You at the Next Life

“Gua benci sama semuanya!”

Teriakan Tristan terasa seperti seorang anak yang berusaha melepaskan semua emosi marah yang ada di dalam dirinya. Setelah itu, Tristan langsung berlari keluar dari ruangan tersembunyi itu dan masuk ke dalam kamarnya. Tristan berniat untuk mengurung diri dari semua orang yang pernah melihatnya.

Suara bantingan pintu terdengar cukup keras di telinga Kevin. Sadar bahwa Tristan sedang bermasalah, Kevin berniat untuk menyusul Tristan. “Windy, kalo kamu ada di sini, gua mau ke tempat Tristan dulu. Kamu boleh ikut juga, tapi maaf, gua gak bisa lihat kamu. Jadi, kalo misalkan kamu mau ikut ke tempat Tristan, kamu boleh ikutin aku ya,” ucap Kevin sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap agar Windy dapat mendengarkan suaranya. Setelah itu, Kevin langsung pergi menyusul Tristan. Windy yang dapat mendengarkan suara Kevin kemudian memutuskan untuk menemui Tristan, teman yang ternyata adalah keponakannya itu.

“Tristan, ini gua, Kevin. Gua masuk ya?” pinta Kevin sesampainya ia di dalam kamar sahabatnya itu. Kevin juga sambil sesekali mengetuk pintu kamar Tristan, berharap Tristan dapat mendengarkan permintaannya. Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu. Kevin menjadi takut jika Tristan melakukan perbuatan yang aneh. Karena itu, Kevin mencoba untuk masuk ke dalam kamar temannya itu. Beruntung pintu kamar Tristan tidak terkunci, jadi Kevin dapat langsung masuk ke dalam kamar Tristan. Windy ikut menyusul Kevin menuju kamar Tristan karena ingin memastikan kondisi Tristan masih baik-baik saja. Setelah itu, Windy juga masuk ke dalam kamar keponakannya itu.

*****

Tristan sudah merenung di dalam kamarnya selama beberapa jam. Ia masih terkejut dengan semua yang sudah terjadi. Selama itu pula, Kevin terus berjaga di sebelah Tristan, menjaga agar sahabatnya tidak melakukan sesuatu hal yang bodoh. Kevin juga berusaha untuk menenangkan anak laki-laki yang masih terguncang itu. Sementara di sisi lain, Windy memilih duduk di salah satu sudut kamar Tristan. Sama kagetnya dengan Tristan, Windy masih tidak menyangka dengan semua yang sudah terjadi.

“Gua masih gak nyangka ternyata pelakunya malah keluarga gua sendiri,” sahut Tristan dengan nada shock-nya. “Tapi, gimana untuk kelanjutannya? Gua masih belom siap kalo misalkan harus memperkarakan kejadian ini. Pasti bakalan panjang banget yang harus diurus. Gua juga bakalan diminta jadi saksi pasti. Tapi, keadilan harus dijalankan. Cuma, kalo mau menegakkan keadilan, mau gimanapun, papa gua kan masih satu keluarga dengan gua. Yakali gua mau perkarain masalah ini ke orang yang orangnya pun udah meninggal duluan sebelum gua lahir,” lanjutnya lagi dengan sedih. Bingung terhadap apa yang harus ia lakukan.

Windy sedikit tercengang melihat keteguhan Tristan yang masih ingin memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Namun ternyata, keteguhan Tristan tidak berlangsung lama. Tristan perlahan mulai menunjukkan rasa frustasinya, merasa dunia ini terlalu lucu baginya.

“Kenapa gua harus punya keluarga yang kayak begini sih? Papa ngebunuh orang, di mana orangnya itu tante gua sendiri. Mama udah meninggal duluan. Saudara gak punya. Buat apalagi gua hidup?” Perlahan, air mata Tristan mulai membasahi wajahnya. Tristan merasa ia sudah tidak menemukan lagi tujuan hidupnya setelah melihat kejadian-kejadian yang menurutnya sangat jahat. Sementara itu, Kevin menjadi terkejut karena Tristan sudah mulai berada diluar kendali.

“Tristan! Sadar! Jangan sampai lo mengalami kejadian ini sampai lupa kalo Tuhan masih baik dengan mengizinkan lo hidup di dunia ini!” seru Kevin mencoba menyadarkan Tristan karena Kevin merasa Tristan sudah mulai mempunyai pikiran aneh. Kevin juga berusaha mengingatkan Tristan kembali agar tidak berpikir yang tidak-tidak dahulu karena beban pikiran Tristan sudah berat. Jika ditambah dengan pikiran yang negatif, bisa saja nantinya malah memberikan efek yang buruk.

“Tapi ini kan dunia yang jahat, kenapa gua harus tetap berada di dunia ini?” balas Tristan kembali, masih merasa bahwa dunia itu kejam dan Tristan tidak cocok jika harus tetap berada di dunia ini.

“Ya karena itu menjadi tugas lo yang berziarah di dunia ini. Tuhan masih memberikan kesempatan buat lo mewartakan kabar baik dari Tuhan, salah satunya melalui keluarga lo itu. Dengan lo mengasihi keluarga sendiri dan mendoakan orang yang udah meninggal, bukannya itu juga termasuk salah satu mewartakan ajaran Tuhan?”

“Mengasihani pembunuh yang adalah papa gua sendiri? Lucu amat rasanya jadi gua.”

“Tristan, yang berhak buat menghakimi itu hanyalah Allah Bapa. Manusia tidak berhak untuk menghakimi. Biarlah Tuhan yang memutuskan, kita cukup menjalani semuanya saja sesuai dengan apa yang sudah terjadi,” balas Kevin dengan lembut. Berusaha untuk terus menyemangati Tristan sekaligus menyadarkan Tristan bahwa hanya Tuhan saja yang berhak untuk menilai perbuatan manusia, sedangkan manusia cukup menjalani apa yang sudah direncanakan Tuhan dalam kehidupannya.

“Gua berusaha menyebarkan kebaikan ke orang lain, tapi di keluarga gua sendiri malah ada penjahat. Gua sendiri berarti udah gagal buat menyebarkan kasih ke sesama,” sesal Tristan karena merasa ia masih belum mampu mengingatkan mengenai kebaikan.

“Tristan, kejadian yang dilakukan ayah lo itu bahkan terjadi sebelum lo lahir, Tristan. Lo gak akan bisa mengubah itu. Yang sekarang bisa lo lakukan itu, memaafkan apa yang sudah terjadi dan biarlah ke depannya semua berjalan dengan kebaikan,” nasihat Kevin, mencoba menyadarkan Tristan kembali bahwa pikirannya itu belum benar. Masih ada sisi positif yang bisa diambil, jadi Kevin berusaha mengajak Tristan untuk bisa melihat sisi positif itu.

“Andaikan gua bisa nyusul ke tempat mama. Di sana begitu damai, tidak seperti di sini,” sahut Tristan saat mengingat kembali momen ketika dirinya bertemu dengan sang ibu. Begitu tenang, tidak ada keributan, hanya ada damai dan sukacita di tempat itu. Ingatan yang muncul di kepala Tristan membuat Tristan tidak mendengarkan ocehan dari Kevin yang masih berusaha untuk menyemangatinya.

“Gimana surga mau menerima lo kalo lo aja mutusin buat bunuh diri? Perintah Tuhan aja bilang jangan membunuh, tapi lo malah milih buat melanggar dengan membunuh diri lo sendiri. Jangankan ke surga, ke api penyucian pun sepertinya nggak.” sindir Kevin mulai merasa kesal karena Tristan terus-menerus meracau. Omongannya seperti tidak didengarkan oleh Tristan. Karenanya, Kevin mulai merasa kesabarannya sedikit berkurang.

“Lo tau apa, Kevin? Lo kan gak merasakan pahitnya hidup gua.”

Kevin sedikit tersentak saat Tristan mengatakan kalimat terakhir. Memang benar, Kevin tidak merasakan drama hidup separah Tristan. Memang benar, pengetahuan agamanya memang tidak sebaik Tristan. Namun, Kevin hanya ingin menyadarkan sahabatnya kembali agar tidak mempunyai pikiran buruk. Tapi, karena sudah di-gas oleh Tristan seperti itu, mau tidak mau, Kevin memilih untuk mundur sejenak. Takut jika ucapan dirinya malah membuat kondisi Tristan menjadi lebih parah. Biarlah Tristan menenangkan pikirannya dulu, baru Kevin beraksi kembali.

Sementara itu, Windy mulai tidak tahan melihat kelakuan Tristan. Kesal sih boleh. Nyalahin sendiri juga gak apa. Tapi ada batasnya juga dong, batinnya kesal. Windy lalu berdiri, lalu mengomeli Tristan setibanya ia di depan anak laki-laki itu.

“Tristan! Seberapa berat masalah kamu, jangan sampai kamu berpikir untuk meninggal atau pun bunuh diri! Itu perbuatan yang sangat tidak diterima oleh Tuhan karena kamu sudah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan kepada kamu.”

“Windy….”

“Aku tahu kamu lagi terpukul. Aku tahu kamu tidak terima dengan semua ini. Tapi kamu jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup kamu. Ingat, kamu masih berarti untuk orang lain. Ada Kevin, ada teman-teman kampus kamu. Bahkan kamu sangat berarti untuk hidup aku. Seandainya kamu memutuskan untuk mengakhiri hidup dan kemudian di masa depan ada Kevin atau Windy lainnya yang membutuhkan pertolongan dari kamu, bagaimana?”

“Tapi…”

“Jangan lupa juga, Tuhan pasti punya caranya sendiri untuk membantu umatnya. Memang sekarang kamu lagi diuji oleh Tuhan melalui papa kamu. Tapi kalo kamu ternyata memilih untuk tidak melewati itu, apa Tuhan akan senang? Tuhan pasti sedih kalo kamu memilih untuk mengakhiri hidup yang sudah Tuhan berikan kepada kamu, Tuhan pasti juga sedih karena melihat kamu malah memilih kabur dari ujian yang Tuhan berikan kepada kamu.”

“Tapi…”

“Gak ada tapi-tapian, Tristan. Apakah kamu udah lupa tentang perumpamaan Tuhan Yesus tentang talenta? Anggaplah kalo sekarang kamu punya talenta untuk tetap lanjut hidup di dunia dan membantu orang lain. Tapi kamu memilih untuk mengembalikan talenta itu tanpa melakukan sesuatu. Kamu pikir Tuhan akan senang? Tidak, bukan? Kamu mau membuat Tuhan sedih karena kamu memilih untuk mengembalikan talenta yang udah Tuhan kasih ke kamu padahal kamu sebenarnya bisa memilih untuk mengembangkan talenta yang udah diberikan itu?”

Ucapan Windy mengenai perumpamaan talenta membuat Tristan tersadar kembali. Ia tentunya sudah diberikan anugerah untuk menjalani hidup di dunia. Pastinya Tuhan mempunyai alasannya sendiri mengapa Tristan harus mengalami semua kejadian ini. Namun, Tristan tidak perlu mengetahui alasan itu. Cukup biarkan kehendak Tuhan terus bekerja dalam diri Tristan dan Tristan cukup untuk terus berusaha keras mengembangkan apa yang sudah Tuhan berikan kepada Tristan, lalu menyebarkan kebaikan itu kepada sesama.

Tangisan Tristan mulai pecah setelah tersadar oleh beberapa kalimat yang diucapkan oleh Windy. Terasa sangat menusuk di dalam dirinya. Namun, kalimat-kalimat yang diucapkan Windy itu memang benar adanya. Ia tidak bisa begitu saja mengembalikan hidup yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Terasa tidak sopan jika Tuhan saja belum meminta dirinya berpulang ke hadapan Tuhan, namun Tristan malah memilih untuk menyerahkan hidupnya kembali.

Windy merasa ucapannya sudah cukup membuat Tristan tersadar kembali bahwa hidupnya masih berguna. Tidak perlu berpikir bodoh untuk mengakhiri hidup hanya karena satu masalah. Masih ada banyak penyelesaian di depan yang bisa dipilih. Satu hentakan lagi, Tristan harusnya udah sadar kembali, pikir Windy. Windy lalu mencari kalimat yang tepat agar bisa memukul langsung ke dalam pikiran Tristan.

“Jadi, teruslah hidup, Tristan. Jalan kamu masih panjang. Masih banyak orang yang membutuhkan kehadiran Tristan. Dan aku gak mau kamu menyesal nanti jika kamu terus-menerus menyalahkan diri kamu. Menganggap diri sendiri salah itu tidak apa, asal ada batasnya. Jangan berlebihan karena kamu masih punya hari esok yang cerah. Seandainya suram pun, kamu masih bisa menjadi setitik cahaya di tengah kegelapan itu. Kamu harus tetap yakin untuk terus melangkah maju, Tristan. Aku percaya kamu bisa.

Yang terakhir, kamu jangan lupa juga satu hal ini. Jangan sampai karena kamu sedang down karena satu masalah, kamu sampai melupakan mimpi dan cita-cita kamu. Ingat mimpi yang ingin kamu capai selalu. Jangan sampai kamu menyerah dan akhirnya memilih untuk merelakan mimpi itu tidak bisa tercapai karena kamu memutuskan untuk bunuh diri. ”

Windy merasa ceramahnya sudah cukup membuat Tristan tersadar kembali. Terlihat dari wajah Tristan yang semula suram kini perlahan bisa terlihat normal kembali. Belum menampakkan senyum memang, tapi setidaknya aura gelap itu perlahan terkikis. Tristan masih saja menangis, namun pikiran jelek mengenai bunuh diri itu sudah sirna. Tristan sudah sadar kembali mengenai indahnya hidup yang masih diberikan Tuhan, karena itu, Tristan menangis karena menyesal sudah mempunyai niat untuk mengakhiri hidupnya dan memilih untuk menysul ibunya di kedamaian surga.

Kevin tentunya tidak mengetahui apa yang Windy katakan sampai bisa membuat Tristan menangis keras seperti itu. Namun, apapun itu, Kevin tetap bersyukur karena Tristan masih bisa berpikir kembali. Tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan bisa saja berujung kepada penyesalan setelah melakukannya. Kevin lalu perlahan duduk di samping Tristan, kemudian menepuk bahu Tristan, mencoba untuk menguatkan sahabatnya itu.

Merasa ada bahu yang bisa disandari, Tristan memilih untuk membenamkan wajahnya ke bahu Kevin. Dalam tangisannya yang masih berlangsung, Tristan mencoba mencari ketenangan di sana. Kevin kemudian memeluk Tristan, ingin mengingatkan Tristan bahwa dirinya akan siap untuk selalu mendukung Tristan, sekalipun kondisi Tristan cukup buruk. Jadilah kini Kevin berusaha menenangkan tangisan anak laki-laki yang berada di dalam pelukannya itu. Berusaha menguatkan kembali sahabatnya agar siap menatap hari esok dengan lebih optimis.

*****

“Tristan, ada yang mau aku bicarakan dengan kamu.”

Tristan sudah mulai bisa mengontrol kembali dirinya. Setelah Tristan memilih bolos dari perkuliahannya selama beberapa hari, Kevin juga memutuskan untuk menginap dan menemani Tristan selama beberapa hari, serta Windy memilih untuk tinggal di rumah lamanya itu, kini Tristan sudah mulai bisa bersikap normal kemarin. Memang, rasa terpukul Tristan masih ada. Namun, aura suram seperti hari pertama Tristan mengetahui kebenaran di keluarganya sudah sirna. Kini, Tristan sudah bersiap untuk menjalani hari-hari ke depannya dengan optimis.

“Ada apa, Windy? Haruskah aku memanggil kamu tante sekarang?”

Windy hanya tertawa. “Tidak perlu, Tristan. Aku kan sudah meninggal sebelum kamu lahir. Jadi tetap anggap aku sebagai teman kamu saja, Tristan.”

Tristan menganggukkan kepalanya, paham dengan maksud Windy. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Windy?”

“Aku merasa bahwa kasus antara aku dengan ayah kamu sebaiknya disudahi saja. Aku juga sudah meninggal dan ayah kamu sudah dihantui perasaan menyesal selama puluhan tahun. Menurut aku, itu sudah cukup berat. Jadi, biarlah ayah kamu sekarang menjalani hidup dengan normal kembali. Jangan biarkan ayah kamu larut dalam penyesalan terus, Tristan.”

“Tapi keadilan untuk kamu?”

“Itu biarlah menjadi urusan Allah Bapa saja. Yang penting sekarang aku sudah memaafkan kelakuan kakak, jadi sekarang kamu minta ke ayah kamu untuk bertobat saja dan menjalani hidup yang normal untuk ke depannya.”

Tristan sedikit tercengang dengan kebaikan Windy yang mau memaafkan kakaknya yang telah membunuhnya, bahkan meminta agar kasus ini ditutup. Windy pasti masih membutuhkan keadilan. Namun, Windy malah memilih untuk membiarkannya saja. Tristan menjadi kagum dengan keputusan Windy. “Terima kasih,” ucap Tristan atas keputusan yang sudah Windy buat.

Lihat selengkapnya