Entah apa yang dia pikirkan. Hatinya seperti kacau. Tanpa, disadari air mata mulai turun deras dari pelupuk matanya. Membuat dadanya bergemuruh dan sesak. Dia mengambil ponselnya untuk menulis sebuah puisi.
“Assalamualaikum, Yesha, sayang. Mama pulang, Kamu dimana nak?”
Mendengar suara Mamanya, Rani. Buru-buru Yesha menghapus air matanya. Dia berdehem pelan. Dia langsung ngacir ke kamar mandi menenangkan hati dan mukanya.
“Iya Ma, Yesha di kamar Mandi. Sebentar,” jawabnya tanpa beban. Yesha melihat pantulan dirinya dikaca. Dirasa sudah terlihat biasa saja, dia keluar menghampiri mamanya.
Dia menuruni tangga, melihat mamanya yang duduk di sofa sambil memejamkan matanya, membuat Yesha tersenyum menahan air matanya. Dia berjalan mengendap dan memeluk mamanya dari belakang.
“Hi sayang,” sapa Rani dengan sayang, kepada anak semata wayangnya. Yesha duduk di dekat Rani.
“Kamu ngak kesepian kan? Temanmu jadi menginap di sini kan? Kamu Kenapa kok mukanya sedih? Ada masalah?” tanya Rani berbondong-bondong. Yesha tertawa kecil, Rani menatap anaknya bingung.
“Mama ini cerewet sekali, nanyanya udah kayak antrean sembako aja,” balas Yesha.
Rani tertawa pelan. “Mama, kan, khawatir. Tadi malam mau telpon kamu, takutnya kamu udah tidur,” jelas Rani.
“Mama gimana? Ada cerita apa aja? Ngak dijahatin orang kan? Mama terlihat lelah sekali, Apa mama mau Aku buatkan secangkir teh?” sambar Yesha.
Rani mencubit pipi Yesha. “Kamu, ini, sukanya balas dendam,” goda Rani.
Yesha dan Rani tertawa. Rani menghentikan tawanya, “Tawaran teh masih berlaku kan? Mama mau deh 1, Secangkir teh buatan Nona Yesha Reisara yang manis,” Goda Rani.
Yesha berdiri, lalu memperlihatkan sikap hormat. “Siap, laksanakan bosku.”
Yesha dan Rani tertawa. Mereka sedikit melupakan pilu meski, tak berarti menghilangkannya.
“Kalau ada apa-apa cerita sama mama. Mama juga akan cerita sama kamu. Pokoknya kita berbagi cerita ya, Yes,” pesan Rani kepada Yesha.
Yesha tersenyum bagaimana bisa Yesha cerita ma, Yesha melihat mama rasanya tersiksa. Meski pembuat luka sudah pergi entah ke mana tapi belum ada obat penghilang luka itu sepenuhnya.
“Mama pingin kamu bahagia, tidak seperti Mama. Sertain Allah dalam urusan apapun ya, lanjutnya sembari mengelus rambut anaknya. Yesha memeluk Rani. Dia menangis.
“Apa cinta itu ada Ma? Yesha ngak percaya. Yesha takut yang berbau cowok. Maksudnya Yesha tak ingin serius. Cinta itu cuma bullshit kan ma, cinta-
“No Yes, dengerin Mama. Cinta itu ada pada hati. Bukti cinta ya pengorbanan kadang ada yang berakhir suka dan duka. Intinya yang menyiksa itu bukan cinta tapi ego kita sendiri.”
“Mama yakin besok pasti ada yang mencintai kamu dan membuktikan cinta itu ga seburuk yang kamu pikir. Biarin mama aja yang ngerasain dikecewain oleh cinta."
"Fokus dulu ya, sama cita- cita kamu. Kamu harus punya masa depan yang cerah biar kamu bisa membantu orang dan mempedulikan orang yang butuh tanpa kamu susah."
"Dan juga tidak ditindas." Rani tersenyum pada Yesha yang masih menangis.
▪▪▪
“ROCKY! MANDI!”
“KAK RONI KEBURU PULANG,LHO. NANTI RIBUT!”
“iya mah,” jawab Rocky tanpa beranjak dari posisinya semula.
“MAMA HITUNG 1 2 3 4 5 6 7....30.”
Di dalam kamar Rocky cekikikan. Dia santai bermain game, tak menghiraukan mamanya, Nava, yang masih setia menghitung. Ngak ada akhlak memang. Sedangkan Nava, di bawah berpikir jika anak sulungnya itu sudah mandi.
“ASSALAMUALAIKUM KELUARGAKU!"