Your Beauty

Hanura Maula Intifadha
Chapter #1

Your Beauty

"Ageng!"

"Bentaran, ih!"

Mei dan Ageng baru turun dari mobil setibanya mereka di pelataran gedung tempat pernikahan Ratna berlangsung. Akad dimulai pukul delapan—yang dikeluhkan Ageng karena terlalu pagi, sedangkan mereka baru tiba hampir pukul sembilan.

"Ayo! Kita udah nggak kebagian lihat akad. Masa nanti nggak ikutan foto-foto juga?" omel Mei.

"Duh, rambut aku kayaknya nggak banget, ya?" gumam Ageng. Masih mematut diri di depan kaca jendela mobil sambil terus menyugar rambut selehernya.

Mei berdecak. "Udah, udah ganteng! Buruan, ah!" 

Dadanya sedikit berdesir tatkala memuji pria di hadapannya, meskipun nada jutek masih terdengar. Perempuan itu lantas segera melangkah meninggalkan Ageng menuju pintu masuk.

"Tungguin dong, Meimei ..."

Yang dipanggil masih tetap berjalan cepat dengan stiletto-nya. Tangannya mengipas-ngipas leher tanda kepanasan. Dengan langkah gemulai, Ageng segera menyamakan langkahnya dengan Mei. Lentik jemarinya menjumput seluruh rambut tergerai Mei, lantas disampirkannya ke bahu kiri sang wanita.

"Kamu udah dibilangin biar aku cepol aja nggak mau. Emang enak kegerahan?"

"Kamu tuh dandanin muka aku doang udah lama, apalagi ngurus rambut."

"Ya iyalah. Buat kamu, semuanya harus per-fect!" ujar sang lelaki dengan kemayu. "Lagian kamu lama amat milih baju. Ujung-ujungnya pakai yang aku pilihin juga kan?" lanjutnya.

"Diam, deh!"

Dua insan itu akhirnya memasuki gedung yang sudah dipenuhi tamu undangan. Rupanya bagian dalam hall tersebut terbagi menjadi dua bagian. Terdapat semacam pembatas di bagian tengah yang terbentang dari depan undakan pelaminan hingga ke dekat meja penerima tamu—mirip pemisah jamaah laki-laki dan perempuan yang kerap mereka jumpai di tempat peribadatan. Mereka juga mendapati plang bertuliskan "ikhwan" untuk sisi sebelah kanan pelaminan dan "akhwat" untuk sisi sebelah kiri.

"Ah, benar juga. Kalau nggak salah kan, Ratna sekarang udah mulai hijrah." Mei menggumam. Meskipun sudah jarang berkomunikasi langsung, ia masih rajin mengikuti kiriman-kiriman temannya di media sosial. Setidaknya supaya tahu kabar, katanya.

"Kalau konsepnya syar'i gini, kenapa nggak sekalian di masjid aja sih?" celetuk Ageng julid.

Keduanya lantas menuju ke tempat perjamuan masing-masing. Sepasang netra Mei menyapu ke sana kemari, memindai barangkali ada sosok yang dikenalnya. Benar saja, tidak lama kemudian nampak sang kawan lama, Cici yang sepertinya juga baru tiba dan bergabung dengan teman-teman SMA-nya. Tanpa ba-bi-bu, Mei lekas menghampiri gerombolan itu.

"Lho, Mei? Kirain nggak datang," ujar salah satu temannya.

"Susah nyari tempat parkir, tahu," sahut Mei seraya ber-cipika-cipiki dengan kawannya itu.

"Lah, nyetir sendiri lo?"

"Eh, Mei. Yuk, salaman sama Ratna dulu!" ajak Cici tiba-tiba.

Sembari mengantre bersama tamu-tamu lain untuk bersalaman dengan kedua mempelai, Cici sejenak memperhatikan riasan Mei yang berdiri di belakangnya.

"Lo datang sama Ageng, kan?" tanyanya pelan.

Mei mengangguk.

"Teman-teman kita belum ada yang tahu?"

Terjawab dengan gelengan. "Biarin. Nanti mereka juga tahu sendiri."

Sementara itu, tidak lama setelah melihat Mei bersalaman dengan si empunya hajat, Ageng pun menyusul untuk melakukan hal yang sama. Niatnya, hendak menunggu teman untuk maju ke depan sana. Biar tidak terasa aneh saja.

"Eh, Ageeeng!" sapa Ratna.

"Lho, ini Mas Ageng-nya Salon Cherry itu bukan, sih?" Suami Ratna saja hafal dengan wajah Ageng. Dirinya seterkenal itu rupanya.

Ageng membalas dengan tawa kecil. "Selamat ya, buat kalian. Semoga samawa ..." ujarnya sembari bersalaman, tentunya tanpa bersentuhan dengan Ratna.

"Sama siapa ke sini?"

Akhirnya pertanyaan itu. Ageng melirik samar ke arah Mei yang masih belum jauh dari sana—yang sepertinya bahkan sudah tidak mendengar percakapan mereka. Tanpa menunggu jawaban Ageng, Ratna kembali bersuara. "Wah, bajunya mirip sama punya Mei. Pasti dari salon juga, ya?"

Dalam perhelatan itu, Ageng mengenakan atasan batik berwarna merah hati dengan celana khaki, sedangkan Mei nampak manis dengan dress batik tiga perempat pilihan Ageng. Coraknya memang bebeda. Namun warna dan tone-nya bisa dibilang sama persis. Jika dilihat secara berdekatan, siapapun pasti mengira kalau pakaian mereka memang dirancang sepasang.

"Ya iya, dong, sis. Kapan sih Mei nggak pakai produk gue?"

Mereka lantas tertawa. Ageng yang usai bersua dengan sang pengantin kembali ke tempat perjamuan laki-laki. Di sana, sudah ada Haris yang melambai ke arahnya.

"Hoi!" Ageng menyahut lambaian itu dan mendekat.

"Makin cantik aje lo," kelakar Haris.

Yang "dipuji" malah sengaja mengibaskan rambut dengan lebay.

"Gimana si dedek? Sehat?" tanya Ageng kemudian.

"Alhamdulillah, sehat. Udah bisa naik motor malah."

"Jangan ngadi-ngadi deh, lo! Motor-motoran?"

Haris tertawa mendengarnya.

"Geng, si Ratna udah tuh. Lo belum ada rencana nyusul?" celetuk Rayhan, temannya yang lain.

"Atau lo diam-diam masih nungguin Ratna?" timpal Eko.

Lihat selengkapnya