Kontrak kosanku dibatalkan di pertengahan tahun pertama. Bapak berdebat alot dengan pemilik kosan hingga nyaris saling caci. Mata mereka beradu, dengan mulut saling tegang. Di perjalanan pulang hingga sampai, mulut Bapak malas diam. Apalagi saat bercengkerama dengan tetangga depan rumah yang baru ditempati ini.
“Dia baru pulang?”
Kadang-kadang Bapak bergerak ke jendela kamarku untuk menegaskan dugaannya. Lalu bercerita pada Ibu dan menghasilkan beragam sangkaan versinya. Motor terparkir di halaman rumah itu, tangannya melempar-lempar kunci, lalu membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Sesekali muncul wanita berkepala lima menyambutnya tanpa ekspresi. Itu tidak cukup membuat belajarku terganggu.
Tiga tahun setelah itu, pulang dari kampus, Ibu depan rumah menyapa. Setelah itu aku akan masuk ke dalam rumah dengan lega, tapi itu tidak terjadi kali ini.
“Ji, udah semester berapa?”
Kujawab semester delapan. Sayangnya itu bukan percakapan terakhir darinya, Ia menanyakan perihal asmara. Ini tidak membuatku lega ketika masuk ke dalam rumah. Namun membuatku tertawa di dalam kamar. Aku menggeleng saat Ia menanyakan siapa pacarku.
Aku tidak menyukai angkat tangan apalagi bicara banyak di kelas. Hal itu tidak membuatku sulit mendapatkan teman. Ri cukup menjadi teman bersahajaku hingga semester terus berganti.
Tidak seharusnya aku tertawa ketika mendengar pertanyaan Ibu depan rumah itu. Tapi pertanyaannya tidak membuatku berpikir keras seperti mengerjakan tugas atau menjelang ujian. Namun terkadang hal itu membuatku sulit tidur, apalagi setelah mendengar Ibu menyayangkan dirinya yang sudah tua namun tidak mendapat kunjungan siapa-siapa.
Aku tidak keberatan dengan pertanyaannya saat itu, tapi tidak untuk pertanyaan di minggu-minggu selanjutnya. Ini terjadi di dalam rumah Bapak. Bukan hanya aku atau Ibu depan rumah itu, tapi aku dan orang tuaku, serta Ia dan suaminya.
“Gimana?”