“Kenapa?”
Pertanyaan itu tidak mudah kujawab. Padahal kukira Ia tidak perlu menanyakannya.
“Kamu udah telat kan?”
Ram benar, tapi kebenaran itu tidak bisa menutupi ketidakbenaran semacam ini. Sayangnya kalimat sebelum ini hanyalah bualan. Aku tidak mengharapkan laju motor ikut sependapat ketika terlambat. Pegangan belakang kucengkeram erat. Ram sesekali melihat spion seperti menahan tawa. Selanjutnya Ia menerobos lampu merah, membuat pengendara lain menirunya. Motor menepi di gerbang, aku segera turun.
“Makasih.” ujarku, Ia mengabaikanku lalu melaju lagi.
Aku menggerakkan jemariku, ada hal yang terasa menyenangkan sekaligus mendebarkan. Aku malah membiarkannya dan enggan menghapusnya.
***
Bapak menyukai oleh-oleh itu, tapi tidak cukup membuatnya tergiur saat ini. Lagi-lagi itu bukan kebiasaan, tapi juga bukan hal yang lama kupikirkan kali ini. Pesan singkat muncul di ponselku.
Ram: Kamu lagi sibuk?
Terdengar denting sendok beradu dengan piring, Bapak baru saja makan setelah melewatkan sarapan dan makan siang serta merokok di sore hari. Ini bukan kebiasaan lagi, tapi pikiranku benar-benar sudah beralih.
Ji: Lagi ada tugas
Beberapa jam kemudian, Ram terlihat keluar dengan motornya.
***
Aku lebih sering mengintip sebelum membuka pintu rumah, kali ini. Kemudian kuputuskan keluar setelah memastikan aman. Tapi ini bukan hal yang mudah dilakukan. Ibu Ram membuatku lebih banyak tersenyum bahkan hingga ke dalam hati. Aku benar-benar tidak mengharapkan hari itu.