“Bibi gak mau jadi korban diamnya lagi."
Bibi mengembalikan rujak cingur kesukaannya padaku. Sudah berkali-kali aku menyarankannya menerima pemberian ini, tapi tetap tidak mengubah keputusannya.
“Dia gak akan melakukan hal-hal buruk apalagi sama perempuan seperti Mbak, jadi tenang aja.”
Itu bukan pernyataan yang menyulitkanku untuk menyetujuinya. Arahku bukan ke situ. Kali ini semua terasa di luar dugaanku, kukira Bibi memahamiku.
Bibi membuatku tidak jadi berbalik, Ia berkata lagi,
“Tadi Bibi dengar, Ibu sama Bapak mau makan bersama dengan keluarga Mbak. Tapi Mas Ram gak bisa hadir.”
Aku tidak heran dengan hal itu, Ram hanya sesekali terlihat duduk santai di halaman rumahnya. Bahkan saat SMA, Ibu Ram sering menghadap guru untuk meminta kejelasan kelanjutan sekolah anaknya.
Malam itu kami makan bersama, Ibu Ram dan suaminya begitu hangat menyambutku dan kedua orang tuaku. Lagi-lagi Ia menyayangkan Ram yang tidak bisa hadir karena sibuk. Selesai makan bersama, Ibu Ram menghampiriku, mengatakan hal yang membuatku harus melakukannya.
Ji: Ram, kenapa gak datang?
Itu pesan singkat pertama yang kukirimkan duluan pada laki-laki selain Bapak. Dan Kakak tidak membalas pesan singkatku beberapa bulan yang lalu. Ram tidak membalas pesanku, namun beberapa menit kemudian panggilan darinya muncul di ponselku.
“Tumben nanya saya duluan, kangen ya?” tangan kiriku menekan dua bola mataku setelah mendengar kalimatnya.
“Halo?”
“Iya?”