Gemuruh petir terus terdengar menggelegar pada pagi hari ini. Aku yang berada di meja kerjaku melihat ke arah cermin kecil dengan tatapan penuh kesedihan. Cermin kecil ini sendiri adalah sebuah media atau penghubung untuk diriku sendiri agar bisa melihat kehidupan Sagara, aku pada kehidupanku sebelumnya. Kehidupan yang di dalamnya memiliki sebuah tragedi yang sebenarnya ingin aku hapus dari sejarah kelam kehidupan pertamaku.
“Ja-jangan! Jangan pergi ke sana!” Aku berteriak sambil menggebrak meja.
Namun, teriakan dari keputusasaanku tidak didengar oleh Sagara yang berjalan dengan tatapan penuh dengan kebencian. Ia berjalan sambil membawa keris yang dibuat oleh seorang bernama Empu Roh, orang yang tidak aku ketahui rupanya seperti apa, dan hanya aku ketahui begitu saja sebagai pembuat keris. Aku mengetahuinya dari orang yang berhasil membuat Sagara menyamar sebagai pengawal di Kerajaan Naga Emas. Tatapan Sagara yang penuh kebencian itu bisa aku rasakan dengan sangat jelas dan aku tahu ke mana ia akan pergi.
“Jangan bunuh dia! Kamu akan menyesalinya, Sagara!”
Lagi, Sagara tidak mendengarnya. Aku tahu betul bahwa ia sudah bertekad untuk membalas dendam atas perbuatan Raja yang telah membunuh keluarganya secara tiba-tiba. Sagara ingin Raja merasakan kesedihan yang ia rasa dengan membunuh Ratu, wanita yang dicintainya. Menurut informannya, hari ini Ratu tidak dijaga oleh pelayan maupun pengawal yang biasa menjaganya karena hari ini merupakan hari di mana Ratu biasa menghabiskan waktunya sendiri sambil menatap sebuah lukisan. Langkah Sagara semakin mendekat ke arah Ratu yang tidak menyadari kehadirannya. Membuatku ingin membunuhnya di tempat agar dia menggagalkan tindakannya. Namun, aku tidak bisa berbuat apapun.
“Aku mohon, dengarkan aku kali ini!” teriakku, berharap suaraku bisa menembus keputusasaan yang melingkupi Sagara.
Air mataku pun mulai mengalir lagi di depan cermin saat Sagara menikam Ratu dengan keris itu dan aku tahu adegan selanjutnya. Wajah Sagara yang sedari tadi mengeras karena penuh dengan emosi berubah terkejut ketika mengetahui siapa Ratu sebenarnya. Namun lagi-lagi, mau bagaimanapun aku mengulang kilasan ingatan masa laluku, aku tetap tidak bisa mengetahui wajah asli Ratu. Ini membuat iri melanda hatiku kembali, iri pada Sagara yang dengan mudahnya mengenali Ratu hanya dari sebagian wajahnya yang terbuka. Dalam tradisi Kerajaan, hanya Raja yang berhak melihat wajah asli Ratu setelah pernikahan dan aku hanya bisa melihat sepasang mata almond dengan iris berwarna hitam yang memikat.
Aku bisa merasakan bahwa Ratu adalah wanita yang dicintai Sagara, wanita yang membawa ia kepada seorang pembuat keris handal bernama Empu Roh. Hingga pada akhirnya membuat Sagara membunuh Empu Roh untuk mendapatkan keris itu. Wanita yang membuatnya berhasil menyusup ke dalam kerajaan. Wanita yang mengetahui bahwa ia akan membunuh orang yang dicintai Raja dan wanita yang selalu tidak bisa aku lihat wajahnya seperti saat aku melihat Sagara membunuh dan mengetahui identitas Ratu sebenarnya.
Kilasan itu pun terhenti. Selalu begitu. Belum aku ketahui alasan kenapa aku tidak bisa melihat kehidupan Sagara setelah kehilangan wanita yang dicintainya. Kecuali jika Sagara kehilangan nyawanya, maka alasan itu pun sangat logis bagiku. Aku pun menutup cermin kecil itu dengan air mata yang masih mengalir. Kemampuan bisa melihat berbagai kehidupan orang lain dari melihat matanya membuat aku bisa menelusuri kilasan ingatan masa lalu di beberapa kehidupan lampau dan kilasan ingatan di kehidupan saat ini dengan mudah.
Kemampuan ini aku dapatkan ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, delapan tahun yang lalu, saat aku berumur tujuh belas tahun. Saat itu aku berkunjung ke Kota Kediri di mana pamanku tinggal. Tujuan berkunjung ke rumah Paman waktu itu untuk mengisi waktu liburanku. Paman yang sering berkunjung ke rumahku di Kota Jakarta menyarankanku untuk berlibur ke kediamannya. Untungnya Ayah dan Ibu setuju, lalu membekaliku dengan uang secukupnya. Aku pun pergi sendiri dengan menggunakan kereta.
Sebenarnya aku berasal dari Kota Bandung, Kota kelahiran Ayah dan Ibu berasal dari Kota Kediri. Paman adalah adik dari Ibu yang bernama Atman. Sejak karir Ayah sukses sebagai sutradara di perfilman Indonesia, ia memutuskan untuk menetap di Kota Jakarta. Ayah dan ibuku bertemu pada saat Ayah berkunjung ke kampus Ibu, kampus yang dikenal dengan pembelajarannya akan budaya dan seni pertunjukan di Kota Bandung. Saat itu, Ayah bersama teman se-jurusannya, jurusan filsafat, bertandang ke kampus Ibu untuk menonton pertunjukan dan disitulah Ayah bertemu dengan Ibu yang sedang memainkan peran.
Kembali kepada pamanku. Aku yang saat itu baru menginjakkan kaki di rumah Paman sangat terkagum dengan koleksi barang antik yang dimilikinya. Ada uang kuno dengan nominal lima ribu rupiah yang dibalut plastik dan tertulis note kalau uang ini keluaran tahun 1958. Ada cangkir antik, guci antik, piringan hitam, dan berbagai koleksi jam dinding kuno.
Lalu ada salah satu yang sangat menarik perhatianku, yaitu sebuah senjata jenis keris yang di simpan di sebuah etalase. Aku merentangkan langkah mendekati keris itu dengan hati yang berdebar, mengabaikan rasa khawatirku akan kemarahan Paman yang bisa saja pulang dari warung untuk membeli camilan. Seolah terpesona oleh daya tarik yang tak terbantahkan, aku menatap keris itu dengan mata penuh kekaguman. Pola di bilahnya menggoda dan pegangannya seakan memanggilku dengan panggilan magis.
Tanpa ragu, aku membuka etalase itu dan meraih keris tersebut, tersenyum lebar seolah dunia ini milikku. Namun, hanya beberapa detik setelah jari-jariku menyentuh keris itu, kepalaku seketika diserang rasa sakit yang tak terlukiskan, seolah dihantam oleh batu-batu besar yang tak terhitung jumlahnya.
“Aw!” Keris yang ku pegang seketika terjatuh pada peganganku karena aku merasa sakit yang luar biasa pada kedua mataku. Rasanya seolah kedua mataku ini seperti ditusuk oleh keris itu.
“Paman! Paman!” teriakku minta tolong, tetapi Paman tak kunjung datang. Sepertinya ia masih di warung. Aku berharap Paman tidak asyik bergosip dengan para Ibu-ibu membahas kedatangan keponakannya.
“Bi Heni, tolong Bi!” Teriakku kali ini kepada pembantu rumah Paman agar bisa menolongku. Bi Heni yang langsung datang nampak khawatir ketika melihat aku kesakitan.
“Sebentar, Bibi ambilkan obat mata dulu kalau Mas Ren sakit mata!” ucap Bi Heni dengan panik dan sepertinya ia berlari mengambil obat mata yang dimaksud karena tidak menunggu dua menit pun, ia kembali dan memintaku untuk membuka mataku secara perlahan agar bisa diobati.