YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #1

BIRENDRA: KERIS SAKTI

Gemuruh petir terus terdengar menggelegar pada pagi hari ini. Aku yang berada di meja kerjaku melihat ke arah cermin kecil dengan sorot mata penuh kesedihan. Cermin kecil ini menjadi penghubung untuk melihat kehidupan Sagara, aku pada kehidupanku sebelumnya. Kehidupan yang di dalamnya memiliki sebuah tragedi yang sebenarnya ingin aku hapus dari sejarah kelam kehidupan pertamaku. 

“Jangan! Jangan pergi ke sana!” Aku berteriak sambil menggebrak meja.

Namun, teriakan dari keputusasaanku tidak didengar oleh Sagara yang berjalan sambil menggenggam keris dengan genggaman kuat yang dibuat oleh seorang bernama Empu Roh, orang yang tidak aku ketahui rupanya seperti apa, dan hanya aku ketahui begitu saja sebagai pembuat keris. Aku mengetahuinya dari orang yang berhasil membuat Sagara menyamar sebagai pengawal di Kerajaan Naga Emas. Sorot mata Sagara yang penuh kebencian itu terasa begitu jelas bagiku, dan aku tahu ke mana ia akan pergi.

“Jangan bunuh dia! Kamu akan menyesalinya, Sagara!” teriakku lagi dengan nada frustrasi.

Akan tetapi, Sagara tidak mendengarnya lagi. Ia terus melangkah dengan kemarahan yang sulit disembunyikan dari sorot matanya. Kepalan tangan di kerisnya semakin kuat seperti menahan sesuatu yang meledak-ledak. Setelah berada di depan pintu ruangan Ratu yang setengah terbuka, Sagara menemukan siluet seorang wanita berdiri diam di dalam memandang lukisan yang tergantung di dinding. Informannya benar, tidak ada seorang pun di sana. Tidak pelayan, tidak pengawal. Hanya Ratu dan kesendiriannya.

Aku tahu apa yang ada di kepala Sagara. Ada dendam yang menguasai dirinya, yaitu keinginan untuk membuat Raja merasakan rasa kehilangan yang sama setelah apa yang diperbuat kepadanya. Kini, sorot matanya menatap ke arah keris yang digenggamnya dan saat itu juga, aku sangat ingin menghentikannya. Namun, aku tidak bisa membatalkan apa yang akan terjadi setelahnya.

“Aku mohon, dengarkan aku kali ini!” teriakku, berharap suaraku bisa menembus keputusasaan yang melingkupi Sagara.

Air mataku pun mulai mengalir lagi di depan cermin saat Sagara menghunuskan keris itu ke tubuh Ratu, lalu ekspresi keras di wajahnya berubah seketika. Matanya membelalak, seakan kebenaran menghantam dirinya lebih tajam saat mengetahui siapa Ratu sebenarnya. Namun, lagi-lagi, mau bagaimanapun aku mengulang kilasan ingatan masa laluku, aku tetap tidak bisa mengetahui wajah asli Ratu. 

 Sagara dengan mudahnya mengenali Ratu hanya dari sebagian wajahnya yang terbuka, membuat iri melanda hatiku. Dalam tradisi Kerajaan, hanya Raja yang berhak melihat wajah asli Ratu setelah pernikahan, dan aku hanya bisa melihat sepasang mata almond dengan iris berwarna hitam yang memikat.

Aku bisa merasakan bahwa Ratu adalah wanita yang dicintai Sagara, wanita yang membawanya kepada seorang pembuat keris andal bernama Empu Roh, hingga akhirnya membuat Sagara membunuh Empu Roh demi mendapatkan keris itu. Wanita yang membuatnya berhasil menyusup ke dalam kerajaan. Wanita yang mengetahui bahwa ia akan membunuh orang yang dicintai Raja. 

Kilasan itu terhenti begitu saja, seperti adegan bersambung dalam drama seri yang memiliki ending menggantung dan membuat penasaran. Begitulah yang selalu terjadi. Aku menggigit bibir, menahan sesak yang tak mampu kuungkapkan. Hingga kini, aku belum mengetahui alasan kenapa aku tidak bisa melihat kehidupan Sagara setelah kehilangan wanita yang dicintainya. Satu-satunya penjelasan logis bagiku adalah jika Sagara telah kehilangan nyawanya.

Aku menutup cermin kecil itu, membiarkan air mataku jatuh dan membasahi permukaan logamnya. Kemampuanku untuk melihat berbagai kehidupan seseorang hanya dengan menatap matanya membuatku dapat menelusuri kilasan ingatan masa lalu di beberapa kehidupan lampau serta kilasan ingatan di kehidupan saat ini dengan begitu mudah.

***

Aku mendapatkan kemampuan ini ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, delapan tahun yang lalu, saat aku berumur tujuh belas tahun. Saat itu, aku berkunjung ke Kota Kediri, tempat pamanku tinggal. Waktu itu, tujuan berkunjung ke rumah Paman adalah untuk mengisi waktu liburanku. Pamanku, yang sering berkunjung ke rumahku di Kota Jakarta, menyarankanku untuk berlibur ke kediamannya. Untungnya, Ayah dan Ibu setuju serta membekaliku dengan uang secukupnya. Aku pun berangkat sendiri menggunakan kereta. 

Paman adalah adik dari Ibu yang bernama Atman. Sejak karir Ayah sukses sebagai sutradara di perfilman Indonesia, ia memutuskan untuk menetap di Kota Jakarta. Ayah dan ibuku bertemu pada saat Ayah berkunjung ke kampus Ibu, kampus yang dikenal dengan pembelajarannya akan budaya dan seni pertunjukan di Kota Bandung. Saat itu, Ayah bersama teman se-jurusannya, jurusan filsafat, bertandang ke kampus Ibu untuk menonton pertunjukan. 

Kembali kepada pamanku. Saat pertama kali melangkah masuk ke rumah Paman, mataku terbelalak melihat tumpukan barang antik yang memenuhi ruangan. Ada uang kuno terbalut plastik transparan, di mana angka “5.000” yang usang tampak seolah mengisahkan perjalanan waktu. Ada cangkir antik, guci antik, piringan hitam, dan berbagai koleksi jam dinding kuno. 

Namun, ada satu benda yang menarik hatiku lebih dari yang lain, yaitu sebuah keris yang tersembunyi di balik etalase kaca, seolah menunggu untuk dipersembahkan. Aku merentangkan langkah mendekati keris itu dengan hati yang berdebar, mengabaikan rasa khawatirku akan kemarahan Paman yang bisa saja pulang dari warung untuk membeli camilan. Seolah terpesona oleh daya tarik yang tak terbantahkan, aku menatap keris itu dengan mata penuh kekaguman. Pola di bilahnya menggoda dan pegangannya seakan memanggilku dengan panggilan magis.

Tanpa ragu, aku membuka etalase dan meraih keris itu. Senyum lebar pun terukir di wajahku, seolah aku telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari apapun. Namun, hanya beberapa detik setelah jari-jariku menyentuh keris itu, rasa sakit yang mencekam menjalar ke seluruh tubuhku, seperti batu-batu besar menghantam kepalaku, menghancurkan segalanya dalam sekejap.

“Argh, sakit!!!!” Keris yang aku pegang seketika terjatuh pada peganganku karena aku merasa sakit yang luar biasa pada kedua mataku. Rasanya seolah kedua mataku ini ditusuk oleh keris itu. 

“Paman! Paman!” teriakku minta tolong, tetapi Paman tidak kunjung datang. Sepertinya, ia masih di warung. Aku berharap Paman tidak asyik bergosip dengan para Ibu-ibu membahas kedatangan keponakannya. 

Lihat selengkapnya