Delapan tahun aku berusaha mencarimu, wanita yang tidak aku kenali wajahnya bahkan namanya. Mencari keberadaanmu dari kota ke kota bahkan negeri ke negeri saat mendapat kesempatan perjalanan demi memenuhi kehidupanku kali ini. Entah saat mengenyam pendidikan atau melakukan pekerjaan.
Kamu bersembunyi sangat baik hingga membuatku berpikir bahwa kamu memang sangat membenciku atas perbuatanku dahulu kepadamu. Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu kini? Setidakpercaya itukah kamu kepadaku? Hingga membuatku terus berharap atas pertemuan demi pertemuan dari kilasan wanita lain yang memiliki sepasang mata yang mirip denganmu. Sepasang mata almond dengan iris berwarna hitam yang memikat.
Aku berharap bahwa kali ini doaku di dengar dan pertemuan denganmu membuahkan hasil dari penantian panjangku. Pertemuan yang Tomi atur agar kami bisa bertemu tanpa sepengetahuan wanita bernama Elena itu bahwa aku akan ikut. Pertemuan ini terjadi karena aku membantu Irene, teman Tomi dari kalangan artis.
Dua minggu yang lalu, Tomi menceritakan bahwa Irene akan menikah dengan kekasihnya bernama Gio. Akan tetapi, ia menyayangkan karena temannya itu nampak tidak bahagia dan setelah ditelusuri memakai cara pendekatan psikologis, Irene bercerita kepada Tomi bahwa ia sangat sedih karena Gio tidak ada di saat keduanya harus mempersiapkan pernikahan.
Irene mencurigai bahwa Gio terpaksa setuju untuk menikahi Irene karena terjebak pada situasi di mana Gio tidak bisa menolak permintaan neneknya yang sedang terbaring di rumah sakit karena penyakit kanker hati. Nenek dari kekasihnya itu memang menyayangi Irene dan memiliki keinginan terakhir sebelum hidupnya berakhir, yaitu ia ingin melihat cucunya menikah dengan Irene.
Pada awalnya Irene merasa senang mendengar rencana itu. Ia langsung menyetujuinya. Bahkan manajernya yang meminta Irene untuk memikirkan ulang rencana pernikahan dengan Gio karena karir Irene yang sedang naik daun, tidak dipedulikan olehnya. Saat itu Irene rela menyerahkan karirnya demi bisa bersama Gio yang sudah ia kencani selama tiga tahun.
Namun, rasa percaya itu perlahan memudar. Irene menjadi tidak yakin karena tidak merasakan rasa kasih sayang dari Gio, seperti saat Gio meminta ia menjadi pacarnya dahulu. Irene juga jadi menaruh curiga dan memikirkan yang tidak-tidak bahwa Gio memiliki wanita lain yang dicintainya.
Pikiran itu datang karena saat bersama dengan Irene, Gio selalu asik memainkan ponselnya dan tersenyum saat menerima pesan dari seseorang. Saat ditanya siapa, Gio bilang bahwa ia sedang mengirim pesan kepada temannya. Namun ketika Irene meminta untuk dikenalkan, Gio selalu mengalihkan topik pembicaraan. Gio seperti menyembunyikan orang itu dari Irene.
"Ini Birendra, panggil aja Ren! Dia yang akan coba bantu kamu,” ucap Tomi yang kala itu mengenalkanku kepada Irene.
"Hai, Ren! Aku Irene. Maaf ganggu waktunya. Aku dengar dari Tomi kalau kamu bisa meramal?" tanya Irene dengan keraguan yang terbaca jelas di matanya. Aku melihat masam ke arah Tomi karena memperkenalkanku sebagai peramal, tetapi tidak apa-apa. Sepertinya itu memang yang terbaik.
"Bisa dibilang begitu, tapi jangan terlalu percaya. Apa yang aku katakan bisa jadi salah atau benar," sahutku dengan nada hati-hati.
"Hmmm…, coba kalau gitu, tebak apa yang terjadi sama aku kemarin? Aku akan memutuskannya mau percaya atau tidak setelah kamu menebaknya,” tantang Irene yang kini wajahnya penuh ketertarikan.
Aku menurutinya langsung dengan cepat, memusatkan pandanganku pada mata Irene dan di situlah kilatan memori menyapu pikiranku, membawaku ke peristiwa yang terjadi kemarin. Saat itu, Irene memecat salah satu stafnya karena melakukan kesalahan yang besar. Bisaku rasakan suasana hati Irene pasti sedang tidak baik dengan atmosfer tegang yang mengelilingi.
“Kemarin shooting-mu dibatalkan, lalu minuman chocolate yang asistenmu pesan, tumpah ke bajumu dan kamu marah besar hingga akhirnya memecatnya.” Walaupun aku bilang kepada Irene untuk tidak mempercayaiku sepenuhnya, tetapi aku tidak ingin membohonginya.
"Wow, benar!" Irene menepuk tangannya nampak takjub tanpa merasa bersalah karena telah memecat asistennya itu. Melihat reaksinya kini, Irene tidak terlihat seperti orang yang sedang putus asa karena cinta.
Meski begitu, menurutku Irene berusaha menyembunyikan kesedihannya dan bisa saja ia tidak sepenuhnya percaya mengenai kemampuan meramalku. Bisa saja Irene memperkirakan bahwa aku menebaknya karena membayar paparazi agar tebakanku benar. Namun, ia memutuskan untuk percaya. Aku menduga bahwa Irene hanya butuh seseorang untuk mendukung beberapa pikiran yang ia pikirkan tentang kekasihnya itu, seperti ada simpanan lain atau hal yang sejenisnya.
"Sebentar lagi dia datang! Aku bilang kalau kalian partner bisnis baru, terus aku minta temenin dia karena manajerku ga bisa nemenin dan asistenku baru aja dipecat hehe. Jadi, tolong coba kamu 'baca' dia ya, Ren!"
Aku pun hanya mengangguk dan setelah kedatangannya, kami berbasa-basi sebentar layaknya partner bisnis baru yang ingin menggaet Irene sebagai brand ambassador. Waktu itu aku berusaha mencuri-curi pandang kepada Gio saat ia sedang memainkan ponselnya. Seorang pelanggan wanita yang tidak jauh duduknya dari tempat kami berada menangkap perbuatanku dan mengerutkan kening atas apa yang aku lakukan.
Aku sudah menduga bahwa ia akan salah paham, tetapi aku tidak memperdulikannya. Toh aku dengan pelanggan wanita itu tidak akan bertemu lagi. Pertemuan kami hanya selewat, kecuali jika pekerjaanku dengan pelanggan wanita itu memiliki kesamaan maka aku harus menjelaskan dan bisa kulihat dari raut wajah Gio bahwa ia tidak menaruh minat kepada pembicaraan kami yang sudah seperti aktor papan atas ini saat bersandiwara di depannya. Gio hanya asik dengan dunianya sendiri. Ia tersenyum saat membaca pesan teks yang ada di ponselnya.
Gio