Delapan tahun berlalu, dan aku masih terus berjalan mencarimu tanpa henti. ku menyusuri jejak yang tak pernah kutemukan kota demi kota, negeri demi negeri. Wajahmu sama, namamu lenyap di ingatanku, tetapi bayangan dari kilasan ingatan itu terus memanggilku. Kadang, saat menunggu lampu merah di dalam mobil atau menatap kaca jendela pesawat, aku melihat pantulan matamu—almond gelap yang memikat—sekilas hadir di wajah orang asing.
Aku berhenti di depan cermin kamar rumahku, menatap diriku sendiri. “Kamu bersembunyi sangat baik. Apa kamu benar-benar membenciku?” gumamku dengan suara yang pecah. Janji itu—janji untuk melindungimu—sekarang terasa seperti batu di dadaku. Mungkin, jika kamu mengingatku seperti aku mengingatmu, kamu tidak akan pernah percaya. Atau mungkin, aku memang sudah terlambat.
Pertemuan kali ini kugenggam sebagai harapan tipis. Aku berharap bahwa kali ini doaku didengar dan pertemuan denganmu menjadi jawaban atas penantian panjangku. Tomi telah mengatur agar kami bisa bertemu tanpa sepengetahuan Elena bahwa aku akan ikut. Pertemuan ini bisa terjadi karena aku membantu Irene, teman Tomi yang berasal dari kalangan artis.
Dua minggu lalu, Tomi bercerita bahwa Irene akan menikah dengan kekasihnya yang bernama Gio. Namun, saat ia mengucapkan selamat, Irene menunjukkan ekspresi yang kosong. Bibirnya melengkung tipis, seolah mencoba tersenyum, tetapi sorot matanya menunjukkan hal yang berbeda. Setelah melakukan pendekatan psikologis, akhirnya Irene berbicara dengan suara bergetar. “Dia…, sibuk banget. Semua persiapan pernikahan aku yang urus sendiri. Aku ngerasa semua ini tuh cuman aku yang jalani. Seolah-olah cuman aku yang ingin dan berharap semuanya berjalan lancar,” ucapnya lirih.
Irene menduga bahwa Gio terpaksa menyetujui pernikahan mereka karena terjebak dalam situasi yang membuatnya tidak bisa menolak permintaan sang nenek. Nenek Gio, yang sedang terbaring di rumah sakit akibat kanker hati, sangat menyayangi Irene dan memiliki satu keinginan terakhir sebelum hidupnya berakhir, yaitu melihat cucunya menikah dengan Irene. “Aku pikir…, ini tuh kesempatan kami,” gumam Irene kala itu kepada Tomi. Kemudian, Tomi menceritakan hal itu kepadaku.
Pada awalnya, Irene merasa senang saat mendengar rencana itu. Ia langsung menyetujui rencana tersebut. Bahkan, Irene mengabaikan peringatan manajernya yang memintanya untuk mempertimbangkan kembali pernikahan dengan Gio karena karirnya sedang naik daun. Saat itu, Irene rela menyerahkan karirnya demi bisa bersama Gio, pria yang telah kencani selama tiga tahun.
Namun, rasa percaya itu perlahan memudar. Irene mulai ragu karena tidak merasakan rasa kasih sayang dari Gio, seperti saat Gio memintanya menjadi pacar dahulu. Kecurigaan pun tumbuh dalam pikirannya. Ia mulai membayangkan kemungkinan bahwa Gio memiliki wanita lain.
Pikiran itu muncul karena saat bersama, Gio lebih sering asyik dengan ponselnya dan jarang menatap Irene saat berbicara. Ada momen ketika sebuah pesan masuk, dan tanpa sadar Gio tersenyum. Saat Irene bertanya siapa pengirimnya, Gio hanya menjawab bahwa itu temannya. Namun, ketika Irene meminta untuk dikenalkan, Gio selalu mengalihkan pembicaraan. Sejak saat itu, Irene merasa bahwa Gio sedang menyembunyikan sesuatu. Tatapan penuh cinta yang dulu menghangatkannya kini tergantikan oleh dinginnya punggung Gio, yang sibuk membalas pesan di layar kecil itu.
“Ini Birendra, panggil aja Ren! Dia yang akan coba bantu kamu,” ujar Tomi mengenalkanku kepada Irene kala itu.
“Hai, Ren! Aku Irene. Maaf ganggu waktunya. Aku dengar dari Tomi kalau kamu bisa meramal?” tanya Irene dengan ragu, yang terlihat jelas dari sorot matanya.
Aku melihat masam ke arah Tomi karena memperkenalkanku sebagai peramal, tetapi tidak apa-apa. Sepertinya, itu memang yang terbaik.
“Bisa dibilang begitu, tapi jangan terlalu percaya. Apa yang aku katakan bisa jadi salah atau benar,” sahutku dengan nada hati-hati.
“Hmmm…, coba kalau gitu, tebak apa yang terjadi sama aku kemarin? Aku bakal mutusin mau percaya atau nggak setelah kamu menebaknya,” tantang Irene, yang kini wajahnya penuh ketertarikan.
Aku menurutinya langsung dengan cepat, memusatkan pandanganku pada matanya dan di situlah kilatan memori menyapu pikiranku, membawaku ke peristiwa yang terjadi kemarin. Saat itu, Irene memecat salah satu stafnya karena melakukan kesalahan yang besar. Aku bisa merasakan bahwa suasana hati Irene sedang tidak baik, terlihat dari atmosfer tegang yang mengelilinginya.
“Kemarin shooting-mu dibatalkan, lalu minuman chocolate yang asistenmu pesan, tumpah ke bajumu dan kamu marah besar hingga akhirnya memecatnya.” Meskipun aku bilang kepadanya untuk tidak mempercayaiku sepenuhnya, tetapi aku tidak ingin membohonginya.
“Wow, benar!” Irene menepuk tangannya, tampak takjub tanpa merasa bersalah telah memecat asistennya itu. Melihat reaksinya kini, Irene tidak tampak seperti seseorang yang sedang putus asa karena cinta.
Meski begitu, menurutku, Irene berusaha menyembunyikan kesedihannya. Mungkin, ia tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan dalam meramalku. Bisa saja, ia memperkirakan bahwa aku hanya menebak-nebak setelah membayar paparazi agar ramalanku terlihat benar. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk percaya. Aku menduga bahwa Irene sebenarnya hanya membutuhkan seseorang yang mendukung beberapa pikiran tentang kekasihnya itu, seperti kemungkinan pria itu memiliki simpanan lain atau sesuatu yang sejenisnya.
“Sebentar lagi dia datang! Aku bilang kalau kalian partner bisnis baru, terus aku minta temenin dia karena manajerku nggak bisa nemenin, dan asistenku baru aja dipecat hehe. Jadi, tolong coba kamu ‘baca’ dia ya, Ren!” pinta Irene.
Aku pun hanya mengangguk, dan setelah kedatangan Gio, kami berbasa-basi sebentar layaknya partner bisnis baru yang ingin menggaet Irene sebagai brand ambassador. Saat itu, aku berusaha mencuri pandang ke arah Gio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Seorang pelanggan wanita duduk tidak jauh dari tempat kami melihat perbuatanku dan mengerutkan kening atas apa yang aku lakukan.
Aku sudah menduga bahwa ia akan salah paham, tetapi aku tidak memedulikannya. Lagipula, aku dan pelanggan wanita itu tidak akan bertemu lagi. Pertemuan kami hanya selewat. Sementara itu, dari raut wajah Gio, aku bisa melihat bahwa dia sama sekali tidak tertarik pada percakapan kami. Kami mungkin tampak seperti aktor profesional yang sedang bersandiwara di hadapannya, tetapi dia tidak peduli. Gio hanya tenggelam dengan dunianya sendiri. Senyumnya terukir diwajahnya saat membaca pesan teks di ponselnya.