YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #5

ELENA: PAHLAWAN KESIANGAN

Namaku Elena Galexia, pemberian dari ayahku, Gani, dengan saksi rumah besar yang menjadi satu-satunya harta tersisa yang berhasil kami pertahankan. Dulu, rumah besar itu penuh tawa dan kehangatan keluarga. Kini, rumah itu berubah menjadi keheningan yang mematikan. Dulu, ayahku sering berbicara banyak untuk menghidupkan suasana. Kini, ia hanya bungkam. Sering kali, aku melihat ayah menatap bingkai foto ibuku, Ambar, di kamarnya dengan tatapan kosong. Air matanya jatuh, seolah menyesali pertengkaran dengan ibu yang membuatnya pergi meninggalkan kami dua tahun lalu. 

Bahkan, saat aku mengalami kecelakaan mobil yang hampir membuatku cacat permanen dan meninggalkan trauma di tubuhku—di tahun yang sama ketika Ibu pergi meninggalkan kami—dia tetap tidak pernah kembali. Ibu benar-benar pergi tanpa jejak, meninggalkan Ayah yang terpuruk dan aku yang harus berjuang sendirian. Karena kepergian Ibu, Ayah mengalami depresi dan kehilangan arah. Dia mengalihkan rasa frustrasinya dengan bermain judi tanpa sepengetahuanku. Akibatnya, Ayah mengalami kebangkrutan, dan akulah yang harus menanggung utangnya karena dia sudah tidak bekerja dan terlalu larut dalam dunianya sendiri.

Namun, di tengah semua kekacauan itu, aku menemukan pelarian yang tak pernah kuduga. Seorang penulis dengan nama pena ‘Shadow’ berhasil menghiburku dan membantuku melewati masa-masa sulit karena karya-karya fantasinya yang menurutku sangat menarik. Aku mengetahui penulis ini dari Ibu, yang dulu merekomendasikan karyanya kepadaku. Beberapa karyanya, seperti ‘Wanita Yang Bereinkarnasi’, ‘Reborn’, ‘The Queen’, dan lain-lainnya selalu menjadi cerita kesukaanku.

“Halo, Elena? Aku bakal telat bentar, ya! Ini macet. Kira-kira aku bakalan sampai ke rumah kamu sepuluh menitan lagi,” ucap Kak Gio dalam sambungan telepon.

Aku menyipitkan mata, menatap langit siang yang cerah, sambil menempelkan ponsel di telinga. “Iya, Kak. Santai saja. Jangan terburu-buru,” ujarku. Di seberang sana, aku mendengar deheman Kak Gio sebelum memutuskan panggilan terlebih dahulu.

Hari ini, aku akan menemani Kak Gio pergi ke pameran barang antik yang diadakan di salah satu galeri seni di Kota Jakarta. Jika saja Kak Gio tidak dalam keadaan bersedih karena batal menikah, aku pasti akan menolak dan berkata aku kurang tertarik. Setiap kali aku mengatakan hal itu, Kak Gio pasti akan mengejekku dengan berkata bahwa seharusnya aku menyukai barang-barang antik. Menurutnya, dalam cerita fantasi yang sering aku baca, pasti ada satu atau dua barang antik yang berperan sebagai pemicu konflik atau sekadar figuran untuk menyempurnakan cerita.

“Beda kak, kalau waktu baca ceritanya tuh aku berimajinasi sangat liar tanpa batas. Aku nggak bilang kalau aku nggak suka barang antik. Mereka itu unik, tapi Kak Gio suka ngabisin waktu di galerinya tuh sampai berjam-jam. Sampai lupa waktu dan aku,” kilahku, yang pernah ikut sekali dua kali dan merasa diabaikan oleh Kak Gio.

Kak Gio memang bisa bertahan lama di sebuah pameran barang antik hingga berjam-jam. Hal itu sama sekali tidak bisa kulakukan. Saat aku menunggu Kak Gio, aku yang sedang mengikat tali sepatu terkejut ketika Opung berdiri di hadapanku, bersilang tangan dengan dua anak buahnya yang berdiri tegak di belakangnya. Lengan kekar Opung mencuat dari baju lengan pendek yang dikenakannya, selalu berhasil mengintimidasiku. Tatapan tajam opung membuat tanganku sedikit gemetar saat aku mencoba menyelesaikan ikatan tali sepatu. Sebagai perempuan satu-satunya di rumah ini, aku selalu berusaha memberikan alasan kepada Opung setiap kali aku tidak bisa membayar cicilan utang ayahku.

“Tolong kasih Elena waktu lagi, Opung. Sekarang, Elena benar-benar nggak punya uang untuk bayar” Aku memohon dengan wajah yang memelas. 

Aku mengingat angka di rekeningku, yang hampir mendekati angka nol. Bayaran dari pekerjaan part time dan les mengajar bulan ini, telah kupakai untuk iuran tugas membuat iklan. Meskipun aku sukarela membayar utang Ayah, yang dulu ia gunakan untuk berjudi, aku tidak bisa mengabaikan persoalan kuliahku, yang selama ini mati-matian kuperjuangkan. Aku juga tidak boleh mendapat nilai yang kurang agar aku bisa mendapatkan beasiswa yang kukejar untuk membayar semesteran. Tinggal sisa dua semester lagi, dan aku tidak boleh menyerah hanya karena kondisi keluargaku yang tidak baik-baik saja.

“Okay! Saya kasih waktu enam hari, kalau kamu bohong, keluar dari rumah ini!” ancam Opung yang mengapit dompetnya dengan ukuran persegi panjang. 

Sertifikat rumah yang mati-matian aku pertahankan ini memang sudah menjadi jaminan yang Ayah berikan saat berutang kepada Opung jika tidak bisa membayar utangnya, dan aku tidak bisa merelakan begitu saja karena rumah ini adalah satu-satunya yang aku miliki. Satu-satunya kenangan yang masih tetap setia mendampingi dan melindungiku sedari kecil. 

“Baik, Opung. Enam hari, ya,” jawabku dengan sedikit lega.

Opung bersama kedua anak buahnya melangkah menjauh dari kediamanku, membuat udara di sekitar terasa lebih ringan untuk aku hirup. Seperti pahlawan kesiangan, Kak Gio yang baru datang dengan raut wajah khawatirnya saat melihat Opung pergi, langsung bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. 

Aku pun berusaha tersenyum kecil saat menjawabnya. “Aku baik-baik saja.”

 Aku tahu betul apa yang terjadi jika Kak Gio mengetahui bahwa aku tidak baik-baik saja. Kak Gio pasti akan melawan Opung dan malah membuat Opung membatalkan keringanan untuk membayar utang, seperti yang pernah dilakukan Kak Gio dulu.

Kak Gio mengerutkan alisnya, jelas tidak percaya. “Yang bener? Kalau kamu nggak baik-baik aja, biar aku yang selesaikan semuanya.”

Aku menghela napas panjang. “Aku beneran baik-baik aja, Kak. Nggak usah berlebihan, okay?” 

Kini, Kak Gio yang menghela napas panjangnya. “Okay, deh. Ngomong-ngomong, ayahmu di mana?” tanyanya.

“Seperti biasa, sedang mengurung diri di kamar.”

Aku tak perlu menambah detail lagi. Kak Gio pasti tahu maksudnya—Ayah yang mengurung diri, jarang keluar, dan lebih sering berbicara dengan foto Ibu daripada denganku. Tanpa sadar, pandanganku tertuju ke arah pintu depan rumah. Menurutku, lebih baik Ayah tetap berada di rumah daripada berkeliaran seperti dulu, menghabiskan uang, hingga membuatnya bangkrut dan rela berutang untuk berjudi. Meskipun demikian, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan sedih saat melihat sikap Ayah yang sudah sangat berbeda jauh sejak Ibu masih bersama kami. Terkadang, aku merindukan sosok Ayah yang ceria dan selalu melindungiku.

Kemudian, selama perjalanan menuju ke pameran barang antik hingga saat aku menemani Kak Gio di galeri, pikiranku dipenuhi oleh cara bagaimana aku mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang dapat membayarku dua kali lipat atau lebih. Aku tidak bisa mengandalkan pekerjaanku sebagai waiter dan guru les yang upahnya tidak seberapa.

“Hmmm. Temanku yang satu ini kayaknya pikirannya ada di tempat lain deh,” sindir Kak Gio kepadaku.

“Hehehe, sorry!” ucapku dengan sungguh-sungguh.

Lihat selengkapnya