Elena Galexia. Itulah namaku. Besar di keluarga berada sedari kecil membuatku sempat kewalahan ketika keadaan keluarga kami mengalami kebangkrutan. Ayahku, Gani, yang biasa menjadi tulang punggung keluarga kini hanya berdiam diri di kamar dan berbicara seperlunya. Waktu Ayah kini dipenuhi dengan memandang foto ibuku, Ambar, seharian dan akulah yang mengganti peran Ayah dengan bekerja part time menjadi waiter di salah satu cafe dekat kampus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aku juga mengajar beberapa anak tetangga yang setuju diajar olehku karena cara mengajar yang aku jelaskan kepada mereka sangat bagus. Aku juga sering menerima joki tugas untuk menambahkan pemasukan dan mendapatkan beasiswa menjadi andalanku agar aku bisa tetap meneruskan pendidikan.
Semenjak kedua orang tuaku bertengkar dan saat aku mengalami kecelakaan mobil dua tahun yang lalu yang membuatku hampir cacat permanen, Ibu tidak pernah kembali lagi ke rumah. Hilangnya seperti ditelan bumi karena aku tidak tahu keberadaannya. Ayahku pun menjadi depresi karenanya dan hilang arah hingga mengalihkan rasa frustasinya dengan bermain judi tanpa sepengetahuanku. Hingga membuat Ayah bangkrut dan akulah yang harus membayar hutangnya karena Ayah sudah tidak bekerja dan asik dengan dunianya sendiri.
Saat berada di titik terendah itu, seorang penulis dengan nama pena ‘Shadow’ berhasil menghiburku dan membantuku melewati masa-masa sulit karena karya-karya cerita fantasinya yang menurutku sangat menarik untuk dinikmati. Aku tahu penulis ini dari Ibu yang dulu merekomendasikan cerita-cerita yang menariknya. Karya ‘Wanita Yang Bereinkarnasi’, ‘Reborn’, ‘The Queen’, dan lain-lainnya selalu menjadi cerita kesukaanku.
“Halo, Elena? Aku bakal telat bentar ya! Ini macet. Kira-kira aku bakalan sampai ke rumah kamu sepuluh menitan lagi,” ucap Kak Gio dalam sambungan telepon pada siang hari ini.
“Iya, Kak. Santai aja jangan terburu-buru,” jawabku yang kemudian dijawab deheman lalu panggilan pun dimatikan oleh Kak Gio sendiri.
Hari ini aku akan menemani Kak Gio pergi ke pameran barang antik yang diadakan di salah satu galeri seni di Kota Jakarta. Jika saja Kak Gio tidak dalam keadaan bersedih karena batal menikah, aku biasanya selalu menolak dan bilang bahwa aku kurang tertarik. Saat aku mengatakan itu Kak Gio pasti akan mengejekku dengan berkata bahwa seharusnya aku menyukai barang-barang antik karena di dalam cerita fantasi yang sering aku baca pasti ada satu atau dua barang antik yang menjadi pemicu atau sekedar figuran untuk menyempurnakan cerita.
“Beda kak, kalau waktu baca ceritanya tuh aku berimajinasi sangat liar tanpa batas. Aku gak bilang kalau aku gak suka barang antik. Mereka itu unik, tapi Kak Gio suka ngabisin waktu di galerinya tuh sampai berjam-jam. Sampai lupa waktu dan aku,” kataku yang pernah ikut sekali dua kali dan merasa diabaikan oleh Kak Gio.
Kak Gio memang bisa bertahan lama di sebuah pameran barang antik hingga berjam-jam. Hal yang sama sekali tidak bisa kulakukan dan disela aku menunggu Kak Gio, aku yang sedang mengikat tali sepatuku, dihadapkan dengan orang itu lagi. Ia memiliki badan yang kekar dan wajahnya yang terlihat mengintimidasi seringkali membuatku sangat waspada takut ia melakukan sesuatu yang berbahaya. Aku, perempuan satu-satunya di rumah ini selalu berusaha memberikan alasan kepadanya saat tidak bisa membayar cicilan hutang ayahku.
"Tolong kasih waktu lagi, sekarang aku benar-benar tidak punya uang untuk membayar." Aku memohon dengan wajah yang memelas.
Bayaran dari pekerjaan part time dan les mengajar bulan ini aku pakai untuk iuran tugas membuat iklan. Walau aku dengan sukarela membayar hutang Ayah yang dulu ia pakai untuk berjudi, tetapi aku tidak bisa mengabaikan persoalan kuliahku yang mati-matian aku perjuangkan dan aku tidak boleh mendapat nilai yang kurang agar aku bisa mendapatkan beasiswa yang kukejar untuk membayar semesteranku. Tinggal sisa dua semester lagi dan aku tidak boleh menyerah hanya karena kondisi keluarga yang tidak baik-baik saja.
"Okay! Saya kasih waktu enam hari, kalau kamu bohong, keluar dari rumah ini!” ancam orang itu yang dikenal dengan sebutan 'Opung' yang mengapit dompetnya dengan ukuran persegi panjang.
Sertifikat rumah yang mati-matian aku pertahankan ini memang sudah menjadi jaminan yang Ayah berikan saat berhutang kepada Opung jika tidak bisa membayar hutangnya dan aku tidak bisa merelakan begitu saja karena rumah ini adalah satu-satunya yang aku miliki. Satu-satunya kenangan yang masih tetap setia mendampingi dan melindungiku sedari kecil.
Lalu tak lama dari itu setelah aku mengangguk dengan gugup, Opung pergi dari rumah yang membuatku akhirnya bisa bernapas dengan lega. Bagai pahlawan yang kesiangan, Kak Gio yang baru datang dan melihat Opung pergi langsung bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Namun, segera kujawab bahwa aku baik-baik saja karena takut membuat Kak Gio melawan Opung dan malah membuat Opung membatalkan keringanan untuk membayar hutang seperti yang pernah dilakukan Kak Gio dulu.
“Ayahmu di mana?”
“Seperti biasa, sedang mengurung diri di kamar.”
Aku tidak mempermasalahkan sikap Ayah saat ini yang selalu mengurung diri di kamar, jarang berbicara kepadaku, dan terkadang asik berbicara dengan foto Ibu. Menurutku lebih baik Ayah tetap berada di rumah daripada berkeliaran seperti dulu menghabiskan uang hingga membuatnya bangkrut dan rela berhutang untuk berjudi. Walaupun memang tak dipungkiri ada perasaan sedih ketika melihat sikap Ayah yang sudah berbeda jauh saat Ibu masih ada. Terkadang, aku merindukan sosok Ayah yang ceria dan selalu melindungiku.
Kemudian di perjalanan menuju ke pameran barang antik hingga saat aku menemani Kak Gio di galeri, pikiranku dikuasai dengan cara bagaimana aku mendapatkan pekerjaan part time yang bisa membayarku dua kali lipat atau lebih karena aku tidak bisa mengandalkan pekerjaan part time ku sebagai waiter dan mengajar les yang upahnya tidak seberapa itu.
"Hmmm. Temanku yang satu ini kayaknya pikirannya ada di tempat lain deh,” sindir Kak Gio kepadaku.
“Hehehe, sorry!” ucapku dengan sungguh-sungguh.
“Mikirin apa sih? Opung? Orang kaya Opung gak usah dipikirin.” Aku pun hanya menggumam, manggut-manggut kepala mendengarnya. Sepertinya Kak Gio berusaha mencairkan suasana. Terbukti dari langkahnya yang kini mendekat ke arahku daripada sebelumnya.
“Teman yang baru aku kenal dari komunitas motor bilang katanya dia lagi kesulitan,” ucap Kak Gio yang aku tebak akan mulai bercerita mengenai teman yang baru dikenalnya.