YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #7

BIRENDRA: AMARAH DARI SEBUAH KILASAN

Suara panggilan ayah Elena, Pak Gani, terhenti di udara saat namaku, Sagara, keluar dari bibirnya. Diamnya terasa seolah-olah menciptakan ruang yang terisi oleh penyesalan yang terbaca dari tatapannya, yang terlihat seperti mengakui bahwa panggilan itu tidak sengaja membongkar sejumlah rahasia dalam identitasku. Aku, mencoba menyelusuri makna di balik tatapan Pak Gani, yang terdiam dan mulai mengajukan pertanyaan secara diam-diam ketika Elena menjauh untuk mengangkat telepon dari Gio yang saat kepergian Elena tadi, aku mendengar bahwa Elena mengatakan ia baik-baik saja dan meminta Gio untuk tidak datang ke rumahnya.

"Bapak tahu siapa saya?" tanyaku dengan gugup. Namun, tak dijawab olehnya. 

"Dari mana Bapak tahu nama masa lalu saya?" tanyaku lagi, tetapi ayah Elena tak menjawabku. 

"Apa Bapak tahu Adhira?" tanyaku dengan berani dan kali ini berhasil membuat Pak Gani melirik ke arahku. Pak Gani menarik tanganku dengan sedikit panik.

"Saya mohon, jangan ganggu Adhira! Dia sudah tenang. Jangan kau kacaukan dia lagi. Cukup saya saja yang kau buat sengsara, saya tidak ingin menaruh dendam kepadamu terlalu lama," ucap Pak Gani sambil melihat ke arah Elena yang keluar dari rumahnya. 

Aku kemudian melepaskan genggaman Pak Gani dan tak menyangka akan diminta menjauhi orang yang aku cari selama ini oleh ayah kandungnya sendiri. "Maaf Pak, tapi saya tidak bisa! Saya ingin melindunginya," kataku berharap dimengerti oleh Park Gani. Namun, Pak Gani mendekat dan menarik kerahku. Kali ini matanya memancarkan amarah.

"Melindungi katamu? Bukannya kamu orang yang membunuhnya?" ucapnya dengan nada berbisik, lalu Elena yang melihat ayahnya memegang kerahku langsung berlari mendekat dan melerai kami. Aku kaget karena Pak Gani tahu masa lalu di kehidupan pertamaku. Sebuah pertanyaan muncul dalam benakku mengenai dari mana ia tahu. 

“Lebih baik Kak Ren pulang sekarang! Ayahku lagi gak stabil.” Aku hendak menjawab, tetapi Elena membuatku mengurungkan ucapanku.

“Aku janji besok akan datang bekerja!” lanjut Elena.

“O-okay, aku tunggu kamu besok di kantorku.”

Kemudian, aku melangkah menjauh dan masuk ke dalam mobil yang tadiku bawa saat membuntuti Elena yang aku parkirkan tidak jauh di kediamannya. Mobilku kini melaju ke arah rumah sahabatku karena aku merasa harus menuangkan cerita ini kepada Tomi sekarang juga mengenai Pak Gani yang mengetahui identitas di kehidupan pertamaku. Tomi berkata dengan masuk akal saat aku sudah berada di kediamannya. Ia mengatakan bahwa ada kemungkinan Pak Gani memiliki kemampuan sama seperti yang aku miliki. Namun, ia tidak kuat menerima informasi yang didapatkan dari kehidupan tragedi yang dijalaninya hingga menjadi depresi.

"Bisa jadi alasan di tinggal istrinya itu hanya sebuah alibi. Bisa jadi istrinya sebenarnya tahu kegilaannya, ngoceh sana-sini, kaya kamu hehe, tapi bedanya aku bisa nerima kamu dan istrinya gak bisa nerima kelakuan ayah Elena seperti aku. Sehingga istrinya itu memilih meninggalkannya. Coba kamu pikir-pikir, waktu menyelami kilasan ingatanmu di masa lalu itu pernah lihat orang yang mirip ayah Elena gak?" tanya Tomi yang aku balas dengan menggelengkan kepalaku karena aku sama sekali tak pernah melihat Pak Gani saat menelusuri ingatanku sendiri. Tomi kemudian mengambil cermin kecil lalu memberikannya kepadaku.

"Coba!" 

"Coba apa?" tanyaku bingung.

"Haduh, kadang kamu tuh kalau lagi shock gini loadingnya minta ampun. Birendra dengan label anak terpintar dan disukai banyak orang hilang sudah! Maksud aku tuh, coba kamu baca kilasan ingatanmu lagi. Telusuri dan lihat pelan-pelan, apa ada ayah Elena di sana?" jelas Tomi dengan antusias.

"Oooohhh!" jawabku yang langsung kini sudah memegang cermin.

Aku mencoba lagi dengan menatap mataku di pantulan cermin itu. Ku lihat lagi beberapa adegan yang sering aku lihat dan mengulangnya kepada Tomi dengan mengatakan adegan di mana ketika aku bertemu dengan Adhira pertama kali, adegan di mana keluargaku dibunuh, lalu ketika aku mengetahui tempat pembuat keris dari Adhira untuk membalaskan dendam, adegan di mana aku yang rela membunuh Empu Roh, dan aku baru sadar bahwa aku juga tidak bisa melihat figur Empu Roh seperti aku tidak bisa melihat wajah Adhira dengan utuh. Lalu terakhir adalah adegan di mana aku membunuh Adhira. Selesai menjelaskannya lagi, Tomi menjentikan jarinya lalu bangkit dari duduknya. Aku melihatnya dengan heran dan bertanya apa ia menemukan sesuatu yang menarik dari apa yang tidak aku sadari.

"EMPU ROH!" ucap Tomi dengan lantang yang membuatku terperangah akan kepintaran dalam menduga siapa Pak Gani sebenarnya.

Tomi bilang bisa jadi Empu Roh dendam kepadaku karena waktu dulu ia dibunuh olehku dan mengambil kerisnya. Setelah ia bereinkarnasi, ia menyadari kemampuannya dan mengetahui bahwa anaknya adalah Adhira, orang yang aku cintai. Pada kehidupan kali ini Empu Roh seperti mendapat jackpot untuk balas dendam dengan melarangku mendekati Adhira atau Elena yang sekarang menjadi anaknya.

"Wow!" Aku bertepuk tangan mendengar penjelasan Tomi.

"Seharusnya kamu menjadi penulis skenario! Pasti cerita dan film yang diangkat dari ceritamu akan laku di pasaran," lanjutku yang memang benar takjub dengan spekulasi Tomi.

"Sial! Kalau spekulasiku benar, kamu harus hati-hati sama ayah Elena untuk sekarang dan pikirkan gimana cara meredakan dendamnya kepadamu agar di kehidupan kali ini kamu bisa memiliki wanita yang kamu cintai."

“Gimana caranya?” Tomi mengacak rambutnya frustasi mendengar pertanyaanku barusan. 

“Cari aja di google ‘bagaimana caranya meredakan amarah mertua’, gitu,” ucap Tomi dengan asal.

“Yang benar aja,” kataku singkat dan bilang akan mencoba memperlihatkan kepada Pak Gani bahwa aku bisa menjadi orang lebih baik daripada sebelumnya.

Aku pun merenungi perkataan Tomi dalam perjalanan pulang ke rumah. Perjalanan yang kupikir akan mudah setelah menemukan reinkarnasi Adhira, ternyata tidak semudah itu. Masih ada halangan yang menanti di hadapanku. Halangan yang mengharuskan diriku berdamai dengan masa lalu yang menyimpan dendam akan kematian yang diperbuatku dulu. Aku kira, karmaku adalah kehilangan Adhira dan tidak akan menemukannya dalam kehidupan manapun. Namun ternyata, karmaku adalah kematian orang-orang yang mengikutiku di kehidupan sekarang dan mengikatnya sebagai ikatan sebuah keluarga yang tidak bisa aku ganggu dengan gegabah.

Keesokan harinya, aku mendapatkan masalah baru. Perkataan ibuku di acara peringatan pernikahan kedua Mama Lita, mengenai aku adalah anaknya yang dikira ibuku sudah berhasil membuat semua orang yang hadir di acara untuk menghapus video yang mereka rekam, kecolongan. Salah seorang tamu menyebarkan video itu dengan caption ‘Pesona anak Rika Julianti ganteng banget’ dan video itu dengan cepat viral di media sosial. Akibatnya, banyak orang penasaran hingga akun media sosialku yang hanya diikuti Tomi, kini mulai naik drastis dan membanjiri kolom komentarku. Foto siluetku saat berlibur di Kota Bali pun diberi reaksi yang berlebihan dan aku sangat terganggu karenanya. 

Beberapa hari mengikuti meeting dengan para klien pun membuat aku semakin terbebani karena mereka sepertinya sangat tertarik dengan kehidupan pribadiku yang baru terungkap. Para pegawai di studio film pun lebih hati-hati untuk membahas masalah ini karena mereka sudah tahu sejak pertama kali aku masuk bahwa aku tidak suka menjadi pusat perhatian publik yang selalu melebih-lebihkan suatu hal. Ucapan Pak Gani yang tahu nama pertama di kehidupan pertamaku dan memintaku untuk menjauhi Elena pun masih terus terngiang-ngiang di benakku.

Sebagian diriku tidak ingin Elena tahu. Aku takut ia akan semakin membenci diriku. Memikirkan masalah ini dan bagaimana banyak orang mengganggu hidupku membuatku sangat lelah. Hingga tidak sadar mataku yang akan menutup memintaku untuk tertidur dan ketika mataku sudah mengerjap-ngerjap, aku melihat Elena yang sudah menjadi asistenku masuk ke dalam ruangan kerjaku membawakan secangkir teh hangat. Kedatangannya disambut oleh senyumanku, tetapi ada kepanikan dalam matanya yang membuat sebagian diriku bertanya-tanya. Tadinya aku ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi kepada Elena melalui matanya itu, tetapi ku urungkan karena tidak ingin mengganggu privacy-nya lagi dan takut Elena semakin tidak menyukaiku.

“Ini teh hangatnya, siapa tahu bisa meringankan pikiran Pak Ren karena sepertinya Pak Ren ngerasa terganggu dengan berita terbaru ini dan saya merasa bertanggung jawab karena mau bagaimanapun ada andil saya yang membuat Pak Ren diberitakan.” Elena menyimpan secangkir teh di meja kerjaku.

“Terima kasih teh hangatnya, Elena. Jangan panggil Pak, terlalu formal untuk kita berdua. Bicara yang santai aja, i’m okay!” kataku yang tidak langsung menyentuh tehnya.

“Saya tidak bisa melakukan itu karena saya bekerja di sini,” ucap Elena dengan tegas.

“Kalau kamu gak mau nurut apa yang aku bilang tadi, aku akan pecat kamu dan lebih baik mengembalikan uang yang sudah aku bayarkan ke Opung,” ancamku kepada Elena agar bersikap santai yang membuatnya seketika menggigit bibirnya dengan gugup.

“O-oke Kak, tapi tolong jelaskan kepada karyawan yang lainnya agar mereka tidak salah paham.”

“Mereka gak akan salah paham karena mereka semua memanggil panggilanku dengan bebas, seperti bro Ren, bos Ren, Mas Ren karena aku yang minta. Asal sopan dan tidak keterlaluan, aku memperbolehkannya untuk para karyawan memanggilku seperti itu karena aku rasa pekerjaan akan semakin bersahabat jika menganggap mereka semua teman.” Aku menjelaskan kepada Elena dengan sedikit menguap.

“B-baik kalau begitu Pak, eh K-kak,” ucap Elena yang membuatku menyunggingkan senyum dalam rasa kantukku.

“Oh iya, aku memang terganggu dengan berita ini karena aku memang tidak ingin semua orang mencari tahu tentangku. Biarkan saja mereka mengagumi karya Ayah dan Ibu. Biar aku bekerja di balik layar seperti tidak terlihat, tapi mungkin ini harus terjadi. Jadi jangan merasa bersalah,” jelasku dengan masih mengupayakan agar aku tidak pingsan di hadapan Elena karena kantuk yang menyerangku kini sangat dahsyat.

Lihat selengkapnya