Suara Pak Gani menggantung di udara saat nama itu—Sagara—keluar dari bibirnya. Aku merasakan tubuhku menegang seketika. Jantungku berdetak lebih kencang. Bukan hanya karena ia menyebut nama yang seharusnya tidak ia ketahui, tetapi juga karena ekspresinya yang tiba-tiba berubah.
Wajahnya mengeras, seperti seseorang yang baru saja tersadar akan kesalahannya. Kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya, napasnya tersendat, dan tatapannya—tatapan kosong yang seakan menembus sesuatu yang jauh. Apakah ini hanya ketidaksengajaan? Atau…, apakah ia tahu sesuatu?
Aku menelusuri setiap detail ekspresinya, mencoba mencari petunjuk di balik diamnya yang ganjil. Namun, yang kutemukan hanyalah kesuraman—sebuah bayangan yang menempel pada dirinya, seolah ada sesuatu dalam pikirannya yang jauh lebih gelap dari sekadar menyebut sebuah nama.
Di sudut mataku, Elena menjauh untuk menerima telepon dari Gio. Suaranya lirih, hampir berbisik, “Aku baik-baik saja…, Kak Gio nggak perlu datang ke sini.”
Namun, pikiranku tetap terpaku pada Pak Gani. Jika ia memang tahu, sejak kapan? Dan…, kenapa sekarang ia menyebut nama itu? Apalagi di hadapan Elena pula.
Aku menelan ludah, lalu bertanya dengan gugup. “Bapak tahu siapa saya?”
Pak Gani tetap diam, tidak memberi jawaban.
Aku kembali bertanya, suaraku sedikit bergetar. “Dari mana Bapak tahu nama masa lalu saya?”
Namun, ia masih tidak menggubris pertanyaanku.
“Apa Bapak tahu Adhira?” tanyaku dengan berani.
Kali ini, pertanyaanku berhasil membuat Pak Gani melirik ke arahku. Ia lalu menarik tanganku dengan gerakan tergesa, matanya terus bergerak ke kanan dan ke kiri, seolah takut seseorang melihat kami.
“Saya mohon, jangan ganggu Adhira! Dia sudah tenang. Jangan kacaukan dia lagi. Cukup saya saja yang kamu buat sengsara,” ucapnya, suaranya bergetar. “Saya tidak ingin menaruh dendam kepadamu terlalu lama.”
Tatapannya kini tertuju pada Elena, yang baru saja keluar dari rumah.
Aku menyentuh tangan kiri Pak Gani yang masih mencengkeram tanganku, berusaha melepaskannya. “Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa! Saya ingin melindunginya,” kataku, mencoba meredakan ketegangan.
Namun, sorot mata Pak Gani berubah. Rahangnya mengeras sebelum ia tiba-tiba menarik kerah bajuku, mendekatkan wajahnya hingga aku bisa merasakan napasnya yang panas.
“Melindungi, katamu?” bisiknya tajam. “Bukannya kamu orang yang membunuhnya?”
Darahku seolah berhenti mengalir.
Elena, yang melihat ayahnya mencengkeram kerahku, segera berlari mendekat dan melerai kami.
“Kak Ren, lebih baik pulang sekarang! Ayahku sedang nggak stabil.”
Aku hendak membantah, tetapi tatapan Elena memohon agar aku tidak memperburuk keadaan.
“Aku janji besok akan datang bekerja!” lanjutnya, suaranya sedikit gemetar.