YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #9

BIRENDRA: BUKAN BUKTI GAIB

Semua mata di studio film kampus tertuju pada Elena, ekspresi mereka penuh ketidaksetujuan. Tuduhan penggelapan uang itu keluar dari mulut temannya sendiri. Sebagai Bendahara acara screening film, Elena dulu dipercaya. Kini, beban tanggung jawab itu berubah menjadi kekecewaan dan celaan. Elena mencoba membela diri, suaranya bergetar saat ia menjelaskan yang sebenarnya.

“Aku nggak nyolong uang itu!” serunya. Matanya bergerak gelisah, mencari seseorang yang mau membelanya. Namun, tak ada satu pun yang bersuara.

“Tapi, Ines ngasih bukti kecurangannya ke aku, Elena!” ujar Jodi, teman seangkatan Elena yang menjabat sebagai ketua acara.

“Kalau gitu, panggil Ines sekarang! Di mana dia? Tanya langsung, dari mana dia dapat buktinya!” Elena menaikkan nada suaranya. 

“Ines lagi ada urusan, keluarganya sakit. Dia bilang buktinya dari kamu sendiri. Apa kamu lupa? Kamu yang kasih bukti transaksi ke Ines buat direkap!” ucap Jodi, yang langsung memijat pelipisnya. Belum sempat Elena menjawabnya, seseorang ikut berbicara.

“Jelas-jelas ada buktinya, Elena! Kamu nggak bisa ngelak lagi!” kata seorang wanita berambut pendek, kacamatanya melorot sedikit di hidung.

“Bendahara kok malah curang, sungguh mengecewakan!” tambah salah satu panitia wanita lainnya yang memakai hoodie pink.

“Apa karena dia jatuh miskin kali, ya? Jadi rela makan uang haram,” ucap laki-laki dengan pakaian serba abu, membuat Elena menoleh ke arahnya dengan sorot mata yang tajam karena tidak terima dengan perkataannya itu. 

Jodi mencoba menengahi. Ia mengatakan bahwa pihak kampus sudah mengetahui masalah ini dan meminta Elena membuktikan kalau dirinya tidak bersalah. Jika memang ia pelakunya, Jodi meminta Elena segera mengembalikan uangnya. Jika tidak, Jodi terpaksa melaporkan Elena ke pihak berwenang. Jodi mengatakan bahwa ia terpaksa melakukan ini karena kabar buruknya sudah menyebar ke orang tua mahasiswa. Kampus pun meminta agar pelakunya segera ditindak. Mata Elena mulai berembun, tetapi ia menahan air matanya sekuat tenaga. Sementara itu, bisik-bisik mulai terdengar di sekelilingnya—teman-temannya meragukan ketulusannya.


***

 Aku mengepalkan tangan erat-erat. Kilasan ingatan itu muncul seketika saat tatapanku bertemu Elena di kantor polisi. Saat itu, Tomi masuk untuk menemuinya sebagai pengacara. Wajahnya pucat dan ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Aku menyesal tak membaca ingatan itu saat pertama kali merasakan ada sesuatu yang salah pada Elena di kantor kemarin. Jika aku mengetahuinya lebih awal, mungkin aku bisa bertindak lebih cepat. 

Sebelum aku pingsan dan terjebak dalam mimpi tentang Adhira, seharusnya aku tetap sadar dan membaca kekhawatiran Elena. Seandainya aku sadar lebih awal, aku bisa segera meminta bantuan Tomi, yang lebih paham soal hukum. 

Kali ini, aku tak bisa menggunakan kemampuanku untuk langsung membebaskan Elena. Sejujurnya, pikiranku kalut. Hatiku berantakan. Aku menunggu di luar, karena hanya satu orang yang diizinkan menemui Elena. Aku memilih mengalah, membiarkan Tomi masuk sebagai pengacara yang akan membantunya.

“Kamu beneran nggak akan cabut laporan, Jod? Semut aja kalau mau bantuin madamin api, kerjasama bawa airnya. Aku masih yakin kok kalau Elena nggak salah. Kalau aja aku yang dapat duluan laporan itu, aku bakal bakar dan kunyah laporannya terus tanya ke cacing di perut, ‘sakit nggak makannya?’, kalau cacing diperut bilang sakit berarti yang aku makan, makanan beracun,” ucap seseorang yang berada tidak jauh dari posisi aku berada dan cara berbicaranya tidak kumengerti. 

Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Seingatku, dia tidak ada saat semua orang menuduh Elena di studio film kampus. Namun, aku mengenal orang yang diajak bicaranya. Aku mempererat pijakanku, bersembunyi di balik tembok. Mereka teman Elena—aku harus mendengar lebih jelas.

“Semua bukti mengarah ke dia, Mal. Laporan keuangan dari Ines juga menunjukkan adanya penggelapan uang,” jelas Jodi, ketua acara yang sebelumnya kulihat dalam kilasan ingatan Elena. Sepertinya ia sudah terbiasa berbicara dengan orang itu, sampai bisa langsung menangkap maksudnya.

“Kamu percaya apa yang dibilang Ines? Lihat? Dia langsung pulang waktu kasih kesaksian tanpa mau bertemu dengan Elena!”

“Itu karena ibunya lagi sakit, jadi dia cepat-cepat pulang mengurus ibunya.” Jodi menjawab untuk memberikan pengertian kepada temannya itu.

“Hmmm, kamu nggak curiga apa?” 

“Curiga apa?”

Lihat selengkapnya