YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #11

BIRENDRA: PELAKU

Hari yang ditunggu pun tiba. Aula gedung jurusan film dan televisi dipenuhi mahasiswa berbaju navy. Tawa dan percakapan riuh mengisi ruangan—sebagian membahas film komedi yang baru tayang, sementara yang lain memuji wajahku yang terpampang jelas di standing banner bertuliskan “Workshop Pitching Film bersama Pengusaha Muda Sukses.”

Aku melangkah masuk, ditemani Tomi yang berjalan dibelakangku. Dari kejauhan, Elena melambaikan tangan sebelum berjalan mendekat bersama Jodi.

“Selamat datang, Kak Ren, Kak Tom! Jumlah peserta yang hadir ada dua ratus lebih,” kata Elena, melirik ke arahku. 

“Pastikan panitia duduk di baris depan,” ucap Tomi tiba-tiba, suaranya terdengar rendah. 

Elena mengangguk, melangkah cepat ke barisan kursi sambil memanggil rekan-rekannya. Aku melirik Tomi dengan alis terangkat, tetapi dia hanya berbisik pelan, “Semakin sempit ruang gerak mereka, semakin mudah untukmu mencari pelaku. Aku yakin, dia ada di antara panitia—seseorang yang tahu seluk-beluk acara ini.”

Tiga puluh menit kemudian, acara pun dimulai. Suara tepuk tangan yang meriah mulai terdengar saat pembawa acara memasuki aula gedung. Dari arah samping panggung, aku mendengar pembawa acara mulai membacakan jenjang karirku. Dua menit adalah waktu yang cukup. Mataku menyapu barisan depan, menangkap tanda pengenal berwarna biru muda yang menggantung di leher para panitia. Konsentrasiku tertuju pada satu sosok. Seketika, kilasan ingatan melintas di benakku. Sederet notes revisi editing, ruang rapat penuh kebisingan, lalu wajah panik seseorang yang mengendap-endap masuk ke dalam ruang kelas saat dosen menerangkan materi. 

Aku menarik napas dalam dan beralih ke panitia berikutnya. Aku pun berhasil membaca ingatan lima orang dari total dua puluh lima panitia yang hadir sebelum aku dipanggil. Ketika jeda setelah aku selesai menjelaskan apa itu pitching film, aku berhasil membaca ingatan tujuh orang lainnya sambil menunggu pembawa acara mengumpulkan beberapa pertanyaan yang mereka ajukan tentang dunia pitching film.

Namun, dari dua belas orang yang sudah kubaca, aku belum menemukan ingatan yang kucari. Saat sesi tanya jawab kedua dimulai, entah mengapa aku merasa terburu-buru hingga dengan cepat membaca ingatan tiga belas orang sisanya. Semakin banyak ingatan yang kubaca, kepalaku mulai terasa berat. Punggungku menegang, keringat dingin mengalir di pelipis, dan dunia di sekitarku terasa berputar. Kilasan gambar berkelebat liar—suara tawa, adu argumen, dan tatapan penuh rahasia menumpuk menjadi satu.

Tanganku mencengkeram sisi meja untuk menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Rasa mual menyerangku tiba-tiba. Cairan yang hampir keluar dari mulutku kutahan dan kutelan kembali. Mungkin ini adalah efek samping dari membaca banyak kilasan ingatan orang secara bersamaan, dan otakku tidak sanggup memproses informasi yang begitu banyak sekaligus.

 “Gimana? udah dapet, Kak?” tanya Elena yang menghampiriku ketika acara selesai. 

“Belum, El. Aku belum nemu ingatan yang pengen aku cari,” kataku sambil memijat keningku yang masih terasa pusing. 

“Dari semua panitia? Nggak ada satu pun? Bukannya Elena bilang semua panitia sudah duduk di area depan? Benar, kan, Elena?” tanya Tomi menatap Elena, yang kini mulai gelisah.

“Benar. Aku sudah menuruti permintaan Kak Tomi. Tunggu …..” ucapan Elena terhenti, melangkah mendekat sambil menempelkan salah satu tangannya ke keningku. “Kak Ren baik-baik aja?”

“Aku baik-baik aja. Jangan khawatir!” jawabku bohong sambil mencengkeram sisi meja semakin erat agar tubuhku tidak ambruk.

“Beneran?” tanya Tomi dengan nada cemas karena baru sadar kondisiku.

“Ini Kak Ren keringat dingin. Mukanya pucat. Aku takut Kak Ren sakit lagi. Pulang aja, ya? Acara juga sudah selesai. Biar aku sama Kak Tomi yang cari pelakunya,” kata Elena dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

Aku menggeleng, menahan rasa mual yang makin hebat. “Aku nggak apa-apa,” gumamku, walau tenggorokanku terasa seolah dicekik seseorang. “Ada satu yang belum sempat aku baca.”

Sebelum aku bisa melanjutkan, cairan asam menyembur keluar, dan menodai sepatu Tomi. Aku mendengar erangannya.

Oh damn! Beneran kata Elena mending pulang aja.” Tomi mundur selangkah, menatap sepatu kotornya dengan wajah jijik. Wajahnya ikut memucat, seperti menahan mual. 

Elena langsung berlari. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan secangkir teh hangat. “Minum ini dulu.”

Aku meraih cangkir itu dengan lemah. “So-sorry, Tom!” ucapku lirih, menghindari tatapannya.

Kini penglihatanku memang agak kabur, tetapi aku ingin mencoba bertahan. Satu orang lagi. Jika aku berhasil membaca dan menemukan apa yang ingin aku temukan, maka aku akan mendengarkan permintaan Elena dan Tomi untuk pulang.

“Elena, bisa kamu tahan satu orang yang belum aku baca itu? Aku nggak tahu namanya siapa, tapi yang jelas tadi rambut dia pendek,” ucaku dengan suara serak.

Elena langsung mengambil ponsel dari saku celananya, lalu membuka galeri dan menunjukkan sebuah foto yang menampilkan semua panitia yang terlibat. Dia memintaku memilih siapa orang tersebut karena ciri-ciri yang aku jelaskan tidak cukup. Ketika aku menunjuk orang itu setelah memperbesar gambar di galeri Elena, tiba-tiba orang tersebut melintas di kejauhan. Aku pun menunjuknya dan dengan sisa tenagaku, segera membaca ingatannya saat kami saling bertatapan.

“Dapat!” kataku dengan tersenyum lemas.

Pada saat bertatapan dengan orang yang diketahui bernama Dodi, aku bisa melihat ketika Dodi memanipulasi bukti transaksi akibat perbuatannya yang diam-diam mengambil uang tanpa sepengetahuan Elena dan Ines. Lalu, ketika laporan keuangan yang telah dibuat Elena berada di tangan Ines, Dodi diam-diam menukarkan dengan miliknya yang sudah disesuaikan. Aku juga melihat Dodi berada di studio film saat Elena dituduh sebagai pelaku, tetapi ia hanya diam memantau dari kejauhan.

“Tangkap dia!” kataku dengan suara lemas kepada Tomi dan Elena. Jodi yang baru datang langsung mengikuti Tomi yang tiba-tiba berlari untuk menangkap pelaku.

Dodi, si pelaku, ternyata mampu berlari sangat kencang saat Jodi dan Tomi mengejarnya melewati koridor kampus dan beberapa fakultas. Menurut cerita Tomi, saat ia dan Jodi mengejar Dodi yang kabur ke luar, mereka mengalami kesulitan menangkapnya

Dodi melesat seperti bayangan di antara mahasiswa yang berlalu-lalang di koridor kampus. Langkahnya cepat dan ringan, seolah tak menyentuh lantai. Jodi dan Tomi mengejarnya dari belakang, napas mereka mulai tersengal.

Saat lorong berakhir, Dodi melompati pagar pembatas menuju tangga darurat. Dengan gerakan cekatan, ia menaiki anak tangga dua-dua, nyaris seperti berlari vertikal. Jodi dan Tomi tak mau kalah. Mereka terus mengejar, meski tubuh mulai terasa berat. 

Lihat selengkapnya