YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #12

BIRENDRA: CERITA GILA

Halaman belakang rumah Gio terasa jauh lebih hening dibandingkan ruang dalam. Aku masih bisa mendengar suara samar orang-orang yang berbicara di ruang tamu dari sini, seperti bercampur tangis yang tertahan. Selama dua puluh menit terakhir, aku duduk sendirian di bangku kayu, memandangi kupu-kupu berwarna hitam yang bergerak pelan dan berdiam diri di batang daun. 

Tiba-tiba, mataku menyipit saat melihat sosok seorang wanita berjalan mendekat dari kejauhan. Sekilas aku berharap itu Elena, tetapi langkahnya terlalu tenang, dan postur tubuhnya terlalu berbeda. Pasti Elena masih sibuk membantu Gio—mungkin di dapur, membagi piring-piring berisi konsumsi untuk para pelayat.

“Dari tadi aku cari kamu, Ren. Ternyata ada di sini. Boleh gabung?” tanya Irene yang langsung aku beri respon anggukan.

Irene duduk di sebelahku, tangannya meremas ujung roknya. Aku menunggu pertanyaannya—tentang kenapa aku di sini, bagaimana aku mengenal Elena atau kenapa aku bisa berteman baik dengannya. Namun, setelah tiga menit berlalu, hanya ada keheningan di antara kami. Matanya menatap ke tanah, sementara hembusan napasnya terdengar berat. Sepertinya Irene juga sama sepertiku. Ia ingin menghibur diri dari kenyataan pahit yang harus diterimanya. Kenyataan yang dua kali lipat daripada yang harus aku rasakan dengan kesedihan melihat Elena sangat akrab dan peduli kepada Gio. 

“Kalau ada pertanyaan, boleh kok ….” ucapku akhirnya, mencoba memecahkan keheningan.

Irene tertawa kecil, lalu menatapku. “Pertanyaan? Sepertinya banyak. Tapi, apa kamu siap ngejawabnya?” 

“Siap aja. Aku takut kamu salah paham,” jawabku, berusaha tetap tenang meski suara Irene terdengar mengusik.

“Emang! Awalnya aku heran, kok kamu datang melayat? Terus, siapa perempuan yang kamu bawa? Tapi semuanya mulai jelas waktu Gio, yang seharian tegar, tiba-tiba runtuh di pelukan perempuan itu. Aku langsung mikir, ‘Oh, ini pasti wanita yang dulu kamu bilang Gio cintai.’ Lalu, pikiran gilaku muncul, jangan-jangan kamu, Tomi, dan Gio sebenarnya udah saling kenal dari awal, dan kalian ngerencanain semua ini biar aku membatalkan—” jelas Irene yang segera aku potong.

“Demi Tuhan, Irene, aku baru kenal Gio waktu ketemu kamu.” 

Irene menatapku beberapa detik, seolah menimbang ucapanku. Lalu dia menghela napas panjang. “Aku tahu! Tomi nggak mungkin bermain picik. Dia itu salah satu teman yang sangat peduli sama aku. Jadi, aku singkirkan pikiran itu dan hanya menyisakan satu spekulasi. Bisa jadi, kamu yang meramalku itu jatuh cinta kepada Elena saat ‘membaca’ Gio dan entah gimana kalian nggak sengaja atau sengaja ketemu agar kamu kenal dengannya. Benar?” tanya Irene yang kemudian dibalas anggukan olehku.

Mata Irene berbinar, terpesona oleh spekulasinya sendiri. Aku pun tidak menyangka bahwa Irene akan menciptakan alur cerita yang mencegah kesalahpahaman tentang kejadian yang sebenarnya. Menurutku, gelar ‘peramal’ lebih pantas disematkan kepada Irene sekarang daripada kepadaku.

“Ceritain dong awal pertemuan kalian!”

Aku melirik Irene, sedikit terkejut dengan nada cerianya. “Aku kira kamu nggak mau tahu karena sedih ngeliat Gio dekat sama Elena.”

Irene tertawa kecil, meskipun aku bisa melihat jejak kesedihan di matanya. “Hahaha, i’m sad. Cuman aku memutuskan untuk berbahagia hari ini. Aku nggak mau nenek Gio ngerasa ikut sedih kalau lihat aku murung di hari pemakamannya.” Irene berhenti sejenak, pandangannya kini memandang langit.  “Konon katanya, orang yang baru meninggal itu masih ada di sekitar kita selama tujuh hari. Jadi, aku mau memperlihatkan kalau aku baik-baik saja. Aku mau Nenek merasa tenang untuk pergi, terutama setelah…, apa yang aku perbuat dulu kepadanya.”

Aku terdiam, mendengar ketulusan dalam suaranya. Irene menghela napas panjang, lalu kembali menatapku sambil tersenyum tipis. “Tapi, jujur aja, aku cuma penasaran. Siapa tahu, ada cerita gila di balik pertemuan kalian.”

Aku tersenyum kecil, memandang kupu-kupu yang tadi aku lihat terbang ke luar rumah Gio. “Cerita gila? Memang ada.”

“Tuh, kan! Ayolah, cerita!”  Irene menyenggol lenganku dengan antusias, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

“Kamu pasti akan nganggep aku benar-benar gila setelah mendengar cerita ini,” jawabku sambil menarik napas panjang.

C’mon! Aku nggak masalah dengar cerita apapun. Janji di akhir nggak akan gimana-gimana,” bujuk Irene sambil menggoyangkan tanganku seperti anak kecil meminta sesuatu.

“Hmmm…, kamu tahu aku bisa meramal orang lain, kan?” tanyaku kepada Irene untuk memulai cerita yang ingin ia dengar.

“Iya, tahu. Udah kamu buktiin waktu kamu bilang Gio suka sama cewek lain.”

“Aku dapat kemampuan ini delapan tahun yang lalu dan tebak siapa orang pertama yang aku ramal?” 

Irene mengangkat kedua bahunya, ekspresinya penuh tanda tanya. “I don't know, gimana caranya biar aku tahu?” 

Aku tersenyum dan menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk. “Aku. Orang pertama yang aku ramal itu diriku sendiri. Dalam ramalan itu, aku melihat kehidupanku yang dulu. Bukan sekarang, ya, tapi yang dulu—”

“Bentar, bentar!” Irene memotong, alisnya mengernyit. “Ngeramal tentang masa lalu? Bukan masa depan? Terus maksud kehidupan dulu itu waktu kamu kecil?” tanya Irene sedikit bingung.

Lihat selengkapnya