Jalanan malam hari menuju rumahku kala itu tampak sepi. Aku yang sedang menikmati musik pop dalam mobil yang kukendarai dengan kecepatan normal tidak memiliki praduga apapun tentang apa yang akan terjadi pada hari itu. Lampu hijau di perempatan jalan yang masih menyala tidak membuat sebuah mobil sport berwarna hitam mengemudi dengan pelan. Mobil sport itu mendekat dengan cepat dari arah samping dan menabrakku hingga terjadi tabrakan keras yang terdengar seperti ledakan. Mobilku tergelincir, berputar, dan kemudian berhenti dengan terhuyung-huyung di jalanan yang kosong.
Asap dari ban yang terbakar mulai mengepul, mengisi udara dengan bau karet terbakar dan bensin yang menusuk hidung. Aku merintih kesakitan di dalam mobil yang hampir hancur sambil dikuasai rasa takut yang begitu dalam. Aku berusaha dengan sekuat tenaga melepas seatbelt dan saat tubuhku terjatuh karena posisi mobil terbalik, mataku terkena serpihan kaca hingga aku kesulitan untuk melihat. Setelah itu, aku merangkak keluar karena aku takut mobil ini akan meledak.
“To-tolong!” ucapku dengan terbata, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Di samping itu, tak jauh dari tempatku berada, aku bisa mendengar suara mobil yang menabrakku berusaha menyalakan mobilnya kembali beberapa kali.
“Ja-jangan pergi!” kataku dengan nada yang ketakutan sekaligus diserang pusing yang begitu dahsyat. Hingga akhirnya, mobil itu berhasil melaju menjauh dari tempatku berada.
“T-t-tolong!” ucapku yang kali ini berusaha dengan sekuat tenaga di sisa kesadaran yang kumiliki.
Namun, lagi-lagi tak ada satu orang pun atau kendaraan yang lewat menolongku. Saat itulah aku pasrah. Berharap bisa bertemu dengan Ibu dan ayahku sebelum kematian yang akan datang sebentar lagi. Jika tahu bahwa ini adalah akhir dari hidupku, aku tak akan membiarkan Ibu pergi setelah bertengkar dengan Ayah. Aku pasti akan menahannya dan melihatnya untuk terakhir kali sebelum berangkat ke kampus. Hingga saat diriku sudah diambang ketidaksadaran, langkah seseorang mendekat dan mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti.
“Jika kamu bertemu dengan orang yang mengaku bisa melihat masa lalu, rangkulah ia. Jangan biarkan ia terus terbelenggu dari masa lalu karena merasa bersalah telah menghilangkan sebuah nyawa. Karena sejatinya, ia adalah takdirmu.” Selanjutnya, orang itu menjentikkan jari hingga membuat telingaku berdengung dengan hebat.
Dengungan itu membuatku kembali bangun dari mimpiku, diikuti detak jantung yang berdebar. Keringat yang mengalir deras di tubuhku menunjukkan tanda bahwa aku sangat kelelahan atas kejadian nyata yang masuk ke alam mimpiku. Berada di rumah sakit membuatku bermimpi tentang kejadian dua tahun lalu yang tidak bisa aku lupakan. Ini juga terjadi saat aku mengantar Kak Ren dahulu ketika ia pingsan di kantornya. Kata-kata seseorang yang muncul dalam mimpiku tadi terasa baru dan nyata. Sepertinya ingatan itu terkubur dalam traumaku dan terpacu saat berada di sini, di samping Ayah yang masih terbaring mengistirahatkan diri.
Aku merasa sesak karena mengingat kecelakaan itu, lalu memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Perkataan dari orang yang tidak aku ketahui siapa terngiang-ngiang dalam benakku saat aku berjalan di lorong rumah sakit untuk menuju taman. Apa maksudnya? Dan kenapa ingatan itu pulih melalui mimpiku? Apa ini suatu pengingat atau sekadar mimpi yang ditaruh sebagai keabsurdan agar tragedi yang kualami tidak terasa nyata? Entahlah. Namun, satu yang pasti.
Melalui perkataannya, aku teringat akan seseorang yang akhir-akhir ini selalu membantuku. Seseorang yang awalnya menurutku menyebalkan. Namun, setelah mengenalnya ia memiliki kehangatan dalam hatinya untuk membantu sesama. Seseorang yang selalu membicarakan masa lalu dari kemampuan istimewa yang dimilikinya dan seseorang yang sepertinya aku pedulikan akhir-akhir ini.
“Pertengkarannya di ruang keluarga, Pak! Ayo cepat!”
Salah satu suster berlari dengan wajah khawatir diikuti oleh security rumah sakit. Sepertinya terjadi pertengkaran yang hebat di sana. Aku yang penasaran mengikuti suster dan security itu berlari. Sesampainya di ruang keluarga, aku terkejut melihat dua orang yang aku kenal terlibat perkelahian. Kak Ren terlihat hilang kendali memukuli Kak Gio secara bertubi-tubi dan terkejut ketika melihatku menyaksikan perkelahiannya. Begitu pun dengan Kak Gio yang sama terkejutnya saat melihatku. Seakan-akan bahwa masalah yang terjadi di antara mereka hingga berkelahi itu karena aku dan entah mengapa air mata tiba-tiba mengalir begitu saja saat aku melihat wajah Kak Ren yang babak belur, padahal luka yang parah didapatkan oleh Kak Gio.
Setelah keduanya berhasil dilerai, Kak Ren dibawa oleh suster untuk diobati, sedangkan Kak Gio masih berdiam diri di ruang keluarga untuk aku obati karena sebelumnya Kak Gio menolak diobati oleh suster yang membuatku mengajukan diri.
“Sebenarnya apa sih yang kalian ributkan? Sebelumnya kan baik-baik saja,” tanyaku sambil mengoleskan salep antibiotik kepada Kak Gio.