Suasana di dalam mobil yang dikendarai Kak Gio diselimuti dengan ketegangan. Aku kesal dengan tindakan Kak Gio tadi, yang bertindak membayar utangku dengan alibi sebagai hadiah untukku. Saat mobil yang dikendarainya sudah menjauh dari Kak Ren, aku meminta Kak Gio menurunkanku di jalanan.
Sebenarnya, aku hanya ingin pergi dengan tenang dan mengembalikan suasana hatiku yang sempat memburuk karena ketidakhadiran Kak Ren di pemutaran film, dengan menghabiskan waktu bersama Kak Gio—rencana yang sebelumnya sempat aku batalkan. Namun, bukannya membaik, suasana hatiku justru semakin memburuk ketika Kak Gio tiba-tiba bertindak semaunya tanpa persetujuanku.
“Aku ngelakuin ini karena aku nggak mau Ren manfaatin kamu hanya untuk dapetin Irene, Elena!” seru Kak Gio setelah keluar dari mobilnya.
Dua tahun pertemanan kami, baru kali ini aku tidak menyukai tindakan Kak Gio kepadaku yang seenaknya. Aku lebih baik diberi hadiah makanan yang enak atau bermain seharian bersama, daripada Kak Gio yang memberiku hadiah dengan membayar utangku kepada Kak Ren.
Harga diriku seolah tidak berarti bagi mereka. Utang piutang ini terasa seperti bola yang dilempar dari satu tangan ke tangan lainnya, dan aku lelah. Dengan kesal, aku memutuskan mengabaikan ucapan Kak Gio. Aku beranjak meninggalkannya dengan langkah cepat.
Melihat sekeliling, aku tahu harus berjalan ke arah mana untuk sampai di rumah. Aku hanya perlu menyebrang jalan, menuju halte, dan menunggu taksi di sana. Agar lebih cepat, aku membuka ponsel, bersiap memesan kendaraan online. Yang penting sekarang aku bisa kabur dari Kak Gio. Aku benar-benar enggan berbicara dengannya, bahkan hanya untuk sepatah kata.
“Bukannya kamu sendiri yang ingin jauh dari Ren?” seru Kak Gio lagi. Nada suaranya meninggi, membuatku terpaksa berhenti. Dia menarik tanganku agar aku tidak pergi. “Buktinya kamu minta aku datang ke sini untuk jemput kamu. Bukannya gitu?”
Aku menatapnya dengan sorot mata tajam. Napasku terasa berat, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk menjawab. “Iya, aku menghubungi Kak Gio karena suasana hatiku rusak. Nyebelin, kan? Aku akui itu,” kataku dengan suara bergetar. “Tapi, setidaknya aku ingin memperbaiki suasana hatiku dengan Kak Gio. Ini ulang tahunku, Kak! Dan bukan berarti aku minta jemput itu supaya jauh dari Kak Ren—apalagi dengan cara yang nggak aku sukai! Kak Gio tahu kan, sejak dulu aku ngelarang Kakak ikut campur masalah utangku?”
Kak Gio terdiam sejenak. Namun, aku bisa melihat raut wajahnya yang penuh kekhawatiran. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Elena, tolonglah. Sekali ini saja, terima bantuanku. Anggap ini hadiah ulang tahun dariku. Aku hanya nggak mau kamu kecewa…, atau sakit hati. Ren itu hanya mengincar Irene. Dia nggak sungguh-sungguh peduli sama kamu.”
Kak Gio sepertinya memang menyimpan rasa kekecewaan yang begitu dalam atas keterlibatan Kak Ren, yang telah menggagalkan pernikahannya dengan Kak Irene dahulu. Akibatnya, Kak Gio menjadi mudah cemas bahwa orang-orang terdekatnya akan tersakiti lagi—atau mungkin ia cemas rasa sukanya padaku ketahuan, sehingga ia berusaha menjauhkan aku dari Kak Ren. Apakah penyebab mereka berkelahi kemarin adalah karena alasan ini? Mungkin saja. Kalau memang benar, sepertinya aku harus tetap mengabaikannya agar Kak Gio tidak khawatir, karena aku pun tidak ingin hubunganku dengannya berubah. Aku hanya ingin tetap menganggap Kak Gio sebagai kakakku.
“Kak Ren emang nggak butuh aku, tapi aku kerja jadi asistennya untuk bayar utang ke dia. Aku paham kalau Kak Gio mungkin khawatir, tapi aku mohon sama Kak Gio untuk nggak lakuin hal kayak gini. Please, aku nggak mau teman yang udah aku anggap Kakak sendiri bertingkah seperti ini,” kataku yang berharap Kak Gio paham sekaligus memberi penegasan kepadanya secara tersirat.
“Kalau kamu menganggapku sebagai kakak atau keluarga sendiri, kenapa kamu malah membiarkan orang yang nggak kamu kenal melunasi utangmu? Sedangkan aku, yang sudah kenal kamu lama, justru nggak boleh membantu. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Elena? Sesuatu yang membuatmu marah atau enggan menerima bantuanku?” tanya Kak Gio dengan nada tegas, matanya menatap tajam, membuatku menghela napas panjang.
“Nggak ada yang kusembunyikan dan nggak ada yang buat aku marah, kecuali ini. Niat awalku memang ingin melunasi utang ke Opung sendirian, tapi saat itu, saat Opung marah besar sambil mengobrak abrik rumahku, Kak Ren datang dan menolongku. Aku juga sama marahnya seperti sekarang kepada Kakak. Aku nggak ngebeda-bedain kalian berdua. Argh! Ini membuatku frustrasi!” bentakku, yang kali ini menggebu menjelaskannya.
“Kalau gitu terima saja uangku dan bekerja denganku, Elena. Masalah ini nggak akan terlalu rumit kalau kamu nggak kayak gini,” kata Kak Gio.
Aku mendengus, lalu mengusap wajahku dengan kedua tangan. “Aku cuman nggak mau punya utang budi kepada siapa pun. Apa menganggapmu sebagai keluarga aja nggak cukup? Nggak semua keluarga selalu ada untuk membantu ketika dibutuhkan, kan? Aku harap Kak Gio juga ngerti itu.”
Suasana menjadi hening. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup menatapnya lebih lama. “Lebih baik kita hentikan perdebatan yang nggak ada ujungnya ini. Beri aku waktu untuk berpikir dengan tenang.”
Tanpa menunggu responsnya, aku berbalik dan melangkah menjauh, meninggalkan Kak Gio yang berdiri mematung di tempat.
Aku berjalan dengan penuh rasa kesal sambil terus menggerutu dalam hati. Memangnya apa salahnya jika aku tidak ingin memiliki utang budi kepada Kak Gio? Aku sudah merasa cukup hanya dengan merasakan kehadirannya. Berkat dia, aku selamat dari neraka kehidupanku dahulu saat aku mengalami kebutaan. Sekarang, aku hanya ingin Kak Gio berada di sisiku sebagai keluarga, tanpa perlu mengkhawatirkan kondisi keluargaku yang sangat berantakan ini. Apa salah jika aku ingin menjadikannya sebagai teman dan kakak yang selalu melihat sisi baikku saja, tanpa mencemaskan hal-hal yang sebenarnya masih bisa kuatasi?
Memikirkan hal itu membuat langkahku semakin cepat. Ketika aku berhenti di trotoar, tepat di ambang zebra cross, dan lampu lalu lintas menyala merah, aku menyebrang sendirian. Tiba-tiba, terdengar suara deru mesin mobil yang melaju kencang ke arahku. Seketika, aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku membelalak dan kakiku tiba-tiba tak bisa digerakkan, seolah waktu berhenti sejenak. Detak jantungku berdegup kencang karena aku teringat akan kecelakaan mobil yang menghantuiku dua tahun lalu.