YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #17

ELENA: KEBENARAN PART 1

Suasana di dalam mobil yang dikendarai Kak Gio diselimuti dengan ketegangan. Aku kesal dengan tindakan Kak Gio tadi, yang bertindak membayar hutangku dengan alibi sebagai hadiah untukku. Saat mobil yang dikendarainya sudah menjauh dari Kak Ren, aku meminta Kak Gio menurunkanku di jalanan. 

Sebenarnya, aku hanya ingin pergi dengan tenang dan mengembalikan suasana hatiku yang sempat memburuk karena ketidakhadiran Kak Ren di pemutaran film dengan menghabiskan waktu bersama Kak Gio yang sempat aku batalkan. Namun, bukannya membaik, suasana hatiku semakin memburuk saat Kak Gio tiba-tiba bertindak dengan seenaknya tanpa persetujuanku.

“Aku melakukan ini karena aku gak mau kalau Ren manfaatin kamu hanya untuk dapetin Irene, Elena!” kata Kak Gio yang ikut keluar dari mobilnya.

Dua tahun pertemanan kami, baru kali ini aku sangat tidak suka dengan tindakan Kak Gio kepadaku yang seenaknya. Aku lebih baik diberi hadiah makanan yang enak atau bermain seharian bersama daripada Kak Gio yang memberiku hadiah dengan membayar hutangku kepada Kak Ren. 

Harga diriku seperti tidak ada artinya untuk mereka. Aku benar-benar lelah dengan hutang piutang yang sekarang terlihat seperti di oper ke sana kemari. Merasa kesal, aku mengabaikan ucapan Kak Gio dan hendak pergi secepat mungkin dengan berjalan kaki. Melihat sekitar, sepertinya aku tahu harus berjalan ke arah mana untuk sampai di rumahku. Aku hanya perlu berjalan sedikit, lalu menyebrang untuk sampai halte dan aku akan menunggu di sana sampai taksi datang atau agar cepat dapat kendaraan saat sampai di halte nanti, aku harus memesan secara online agar bisa secepat mungkin kabur dari Kak Gio karena saat ini rasanya aku enggan berbicara dengan Kak Gio sepatah katapun.

“Bukannya kamu ingin segera jauh-jauh dari Ren karena buktinya kamu minta aku datang ke sini untuk jemput kamu. Bukannya begitu?” tanya Kak Gio yang kali ini dengan nada suara yang meninggi sambil menarik tanganku agar aku tidak pergi.

“Aku menghubungi Kak Gio memang karena ingin memperbaiki suasana hatiku yang rusak. Menyebalkan bukan? Iya, aku akui itu, tapi setidaknya aku ingin memperbaiki suasana hatiku dengan Kak Gio di hari ulang tahunku ini dan bukan berarti aku menghubungi Kak Gio minta jemput itu ingin jauh-jauh dari Kak Ren apalagi dengan cara yang tidak aku sukai. Kak Gio tahu kan sejak dulu aku melarang Kakak untuk ikut campur masalah hutangku?!”

“Tolonglah Elena, sekali ini saja kamu terima bantuanku atau seperti yang aku katakan sebelumnya, anggap ini hadiah ulang tahun dariku untukmu. Aku benar-benar takut kamu kecewa dan sakit hati karena Ren itu hanya mengincar Irene! Dia tidak sungguh-sungguh membutuhkan kamu,” ucap Kak Gio yang raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Kak Gio sepertinya memang menyimpan rasa kekecewaan yang begitu dalam atas keterlibatan Kak Ren yang menggagalkan pernikahannya dahulu dengan Kak Irene. Akibatnya, Kak Gio jadi mudah cemas orang yang terdekatnya akan tersakiti lagi, atau mungkin Kak Gio cemas bahwa rasa sukanya ketahuan olehku sehingga ia berusaha menjauhkanku dengan Kak Ren. Apa penyebab mereka berkelahi kemarin itu karena alasan ini? Apa mungkin? Kalau memang benar, sepertinya aku harus tetap mengabaikannya agar Kak Gio tidak khawatir karena aku pun tidak ingin hubunganku dengan Kak Gio berubah. Aku hanya ingin tetap menganggap Kak Gio sebagai kakakku.

“Kak Ren memang tidak butuh aku, tapi aku kerja menjadi asistennya untuk membayar hutang. Aku paham kalau Kak Gio mungkin khawatir, tapi aku mohon sama Kak Gio untuk gak lakuin hal kayak gini. Please, aku gak mau teman yang sudah aku anggap Kakak sendiri bertingkah seperti ini,” kataku yang berharap Kak Gio paham sekaligus memberi penegasan kepadanya secara tersirat.

“Kalau kamu menganggapku sebagai Kakak atau keluarga sendiri, kenapa kamu membiarkan orang yang tidak dikenal membayar hutangmu, sedangkan aku yang sudah mengenalmu tidak boleh, Elena? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dan tidak aku ketahui sehingga kamu marah atau enggan menerima bantuan dariku?” tanya Kak Gio yang membuatku menghela napas dengan kasar.

“Gak ada yang kusembunyikan dan gak ada yang buat aku marah, kecuali ini. Niat awalku memang ingin melunasi hutang ke Opung sendirian, tapi saat itu, saat Opung marah besar sambil mengobrak abrik rumahku, Kak Ren datang dan menolongku. Aku juga sama marahnya seperti sekarang kepada Kakak. Aku tidak membedakan kalian berdua. Argh! Ini membuatku frustasi!” bentakku yang kali ini menggebu menjelaskannya.

“Kalau gitu terima saja uangku dan bekerja denganku, Elena. Masalah ini tidak akan terlalu rumit kalau kamu tidak seperti ini,” kata Kak Gio yang membuatku mengusap mukaku.

“Aku hanya tidak ingin memiliki hutang budi kepada siapa pun. Apa tidak cukup dengan hanya aku menganggap Kak Gio seperti keluargaku? Semua keluarga juga tidak selalu membantu ketika membutuhkan, kan? Aku harap Kak Gio juga seperti itu. Lebih baik kita hentikan perdebatan tiada ujungnya ini! Beri aku waktu untuk berpikir dengan tenang!” ucapku yang kemudian melangkah menjauh lagi dari Kak Gio.

Aku berjalan dengan penuh rasa kekesalan dengan terus menggerutu dalam hati. Memang apa salahnya jika aku tidak ingin memiliki hutang budi kepada Kak Gio? Aku sudah merasa cukup dengan merasakan kehadirannya saja. Berkat dia, aku selamat dari neraka kehidupanku dulu ketika aku mengalami kebutaan dan sekarang aku hanya ingin Kak Gio berada di sisiku sebagai keluarga tanpa mengkhawatirkan kondisi keluargaku yang sangat berantakan ini. Apa tidak boleh jika aku ingin membuatnya dalam posisi seorang teman dan Kakak yang selalu melihat sisi baikku saja tanpa mengkhawatirkan sesuatu yang masih bisa aku atasi.

Memikirkan itu membuat langkahku semakin cepat hingga ketika aku berhenti berdiri di trotoar, di ambang zebra cross, dan saat lampu lalu lintas menyala merah, aku yang menyebrang sendirian tiba-tiba mendengar suara deru mesin mobil yang melaju kencang ke arahku. Seketika kakiku tak bisa digerakan, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Detak jantungku pun berdebar dengan kencang karena aku teringat akan kecelakaan mobil yang menghantuiku dua tahun yang lalu. 

Ketika mobil semakin mendekat, napasku sedikit tercekat sampai tubuhku jatuh di tengah jalan itu. Suara klakson dari mobil yang mendekat tidak membuatku bangkit atau bergerak menghindar. Ingatan kecelakaan mobil yang membuat tubuhku seperti dibanting ke sana kemari begitu melekat hingga membuatku mengeluarkan air mataku kembali. Hingga pada akhirnya, seseorang menarikku kembali ke arah trotoar. Deru mobil melintas dan hilang kendali sehingga menabrak pohon di depan jalan. Aku melihat ke arah mobil itu yang membuatku berteriak.

Lihat selengkapnya