YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #21

BIRENDRA: KEMAMPUAN BARU

Keesokan harinya, di hari weekend, aku yang sampai terlebih dahulu di kediaman Paman terkejut karena aku pikir Paman sudah membereskan sebagian barangnya dan hanya memintaku untuk membantu sedikit dari pekerjaannya itu. Namun, dugaanku salah besar. Sepertinya memang ada maksud tertentu mengajak Elena datang karena Paman membutuhkan tenaga banyak orang untuk membereskan kotak-kotak besar yang belum dibuka yang berjejer rapi di sepanjang dinding. 

Ada juga tumpukan baju, perabotan, dan barang-barang lainnya yang tergeletak di berbagai sudut ruangan seperti sedang menunggu kedatanganku untuk ditempatkan di tempat yang tepat.

Aku mendesah panjang sambil memijat keningku. “Belum apa-apa, tapi aku sudah stress duluan ngeliat barang banyak yang berserakan ini. Kalau kayak gini, aku kangen Bi Heni. Kenapa Paman nggak bawa Bi Heni ke Jakarta aja?” tanyaku dengan nada kesal. “Kalau Paman nggak mampu bayar orang buat beresin ini semua, biar aku aja yang urus. Sekarang kan ada aplikasi jasa pindahan. Lebih cepat dan nggak bikin kita capek,” lanjutku menyarankan kepada Paman.

“Kalau bisa bawa Bi Heni ke Kota Jakarta, Paman sih mau, ya! Tapi kan keluarga Bi Heni semuanya ada di Kota Kediri dan katanya Bi Heni lebih nyaman kerja di kota kelahirannya. Terus Paman maunya kamu dan Elena yang bantuin! Nggak mau pakai jasa-jasa kaya gitu,” ucapnya sambil mengeluarkan barang antik miliknya dengan hati-hati. “Lagian, di sini ada beberapa barang antik punya Paman, dan Paman nggak percaya kalau harus orang lain yang ngeberesinnya,” lanjut Paman. 

Aku menghela napas mendengarnya. Alasan Paman mengenai Bi Heni dan barang antiknya ada benarnya juga. Kalau sampai barang antiknya hilang atau rusak, bisa-bisa pamanku tidak bisa tidur beberapa hari karena sedih. 

“Ini belum semua barang antiknya, ya?” tanyaku sambil memperhatikan beberapa barang antik Paman yang kuingat belum ada di tempat ini.

“Semua sudah sampai,” jawab Paman dengan senyum khasnya. “Tapi sebagian langsung Paman arahkan ke tempat yang bakal dipakai untuk pameran bulan depan.”

“Tempat yang Paman sewa itu jadwalnya lagi kosong? Baik sekali, ya, bisa dititip dari sekarang.”

“Sewa?” Paman terkekeh kecil. “Enggak, Paman beli gedungnya sekalian. Kebetulan pemiliknya sedang butuh uang, dan dia itu kenalan Paman. Jadi ya sekalian bantu, deh.”

Aku terperangah mendengar jawabannya, lalu spontan bertepuk tangan di hadapannya. “Wah, hebat sekali, Paman! Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui!”

Lalu tak lama kemudian, Elena yang baru datang juga terlihat sedikit terkejut dan langsung segera mengendalikan wajahnya. Elena kemudian langsung membantu Paman tanpa menggerutu sepertiku. Mau tak mau, aku pun berhenti menggerutu dan membantu membuka dus-dus Paman dan merapikan dengan menempatkan barang-barang yang Paman suruh.

Cahaya matahari yang menerobos masuk ke sela-sela jendela menciptakan kilauan lembut di wajah Elena. Aku terdiam sejenak, terpukau oleh kecantikan sekaligus kelucuannya saat ia sibuk merapikan buku-buku milik Paman ke dalam lemari empat tingkat yang baru saja selesai dirakit. Gerakannya begitu hati-hati, seperti Paman saat memperlakukan barang antiknya.

Sementara aku hampir selesai mengatur tata letak meja kerja Paman, sebuah bola kecil yang tadinya tergeletak di sudut ruangan menggelinding tanpa aku sadari ke arah Elena.

Elena yang tengah berusaha menyimpan buku di rak paling atas, tampak kesulitan menjangkau. Ia terus berjinjit sambil mengangkat buku itu tinggi-tinggi. Namun tanpa sengaja, kakinya menginjak bola kecil tersebut. Ia pun kehilangan keseimbangan.

“Elena!” seruku, spontan berlari ke arahnya. Tanganku dengan cepat menangkap punggungnya sebelum tubuhnya terjatuh ke lantai.

“Terima kasih, Kak!” Elena berkata dengan suara terkejut. Ia buru-buru melepaskan diri dari pelukanku.

“Hati-hati, Elena.” Aku mengambil buku yang terjatuh dari tangannya dan menyimpannya di rak paling atas. “Ada lagi yang harus disimpan di atas?” tanyaku sambil tersenyum.

Elena tidak langsung menjawab. Pipinya justru memerah, dan ia mengibas-ngibaskan tangannya ke wajah, seolah mencoba menenangkan diri.

“Kenapa? Kepanasan? Butuh kipas? Aku ambilkan, ya?” tawarku dengan nada sungguh-sungguh.

Lihat selengkapnya