YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #22

BIRENDRA: MEMORI FOTO

Setelah seharian sibuk membersihkan dan mengatur barang-barang Paman ke tempat yang seharusnya, aku merasa lelah. Namun, ada rasa puas melihat rumah Paman yang akhirnya tampak rapi dan nyaman. Pemandangan tadi siang, dengan kondisi rumah seperti kapal pecah yang membuatku stres, kini terasa seperti mimpi buruk yang sudah berlalu. Lampu-lampu yang sudah dipasang di setiap ruangan memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang menenangkan.

Aku yang tadi berjanji kepada Elena untuk mencari ibunya di galeri foto ponselnya, mulai menatap lagi pada gambar tersebut. Mata Elena terlihat antusias dan mengatakan ia senang memiliki harapan lagi tentang keberadaan ibunya. Namun, setelah aku menelusuri foto itu, aku selalu kembali kepada ingatan di mana Bu Ambar menghampiriku di rumah sakit dan memberikan gulali. Suara yang Bu Ambar ucapkan kepada versi waktu aku kecil tidak begitu terdengar hingga membuatku terus mempertajam pendengaran. 

“Su-da-h la-ma ….” 

Kalimat itu menggantung dalam pikiranku, tak pernah selesai. Aku berusaha mendengarnya lagi, mencoba memahami maksudnya, tetapi kenyataan menarikku kembali. Frustrasi mulai merayapi pikiranku. Membaca kilasan foto itu berulang kali tanpa jeda membuat kepalaku terasa berat, bahkan sedikit mual. Harus aku akui bahwa aku tidak sanggup lagi dan harus mengistirahatkan tubuhku sejenak. 

“Elena, aku lanjutkan nanti, ya!” ucapku sambil menoleh ke arah Elena.

Namun, dia sudah terlelap di sofa, napasnya teratur, menunjukkan betapa lelahnya dia hari ini. Aku tersenyum kecil melihat remahan roti yang menempel di sudut bibirnya. Aku mendekat dengan hati-hati untuk membersihkannya agar tidak mengganggu tidurnya. Akan tetapi, karena posisi tubuhku dan wajahku yang terlihat begitu dekat dengan Elena, Tomi yang baru datang tanpa terdengar langkah kakinya dan hanya melihat posisi punggungku saja menegurku.

“Birendra, nyebut! Mau aku laporin ke tante Rika?” ucap Tomi yang membuatku kaget takut Elena bangun dan salah paham.

Aku memelototi Tomi memintanya untuk tidak berisik. Namun, situasi sulit menimpa kepadaku saat Elena yang sedikit menggeliatkan tangan kanannya melingkar ke leherku dan satu tangan kirinya juga ikut seperti sedang memelukku hingga membuat situasiku pada posisi yang sulit. Tangan kananku lalu memberi kode kepada Tomi untuk membantuku melepaskan tangan Elena yang sudah melingkar di leherku. Jarak wajahku dengannya pun hanya beberapa senti yang membuatku menahan napas dan panik.

Melihat aku yang sedang kesulitan, Tomi malah tertawa tak bersuara sambil memegang perutnya saat posisinya sudah ada di hadapanku. 

“Cepet tolongin!” kataku dengan sedikit berbisik karena takut membuat Elena bangun.

“Berani bayar berapa?” tanya Tomi pelan dengan menahan tawanya.

“Nyebut Tom! Sudah kaya masih bisa-bisanya malak,” ucapku dengan masih mempertahankan posisiku agar tidak memeluk Elena dan agar wajahku tak bersentuhan dengan wajah Elena.

“Hahahaha, bercanda! Oke-oke.” Tomi mendekat dan kemudian membantu melepaskan tangan Elena dengan perlahan.

Genggaman tangan Elena yang begitu kuat sempat membuat Tomi kesulitan melepasnya. Namun, saat percobaan ketiga ketika Elena yang masih tertidur pulas merenggangkan sedikit pegangannya di leherku, Tomi berhasil membantuku melepaskannya. Aku pun langsung menghela napas lega dan menarik Tomi ke luar untuk berbicara empat mata. Namun, sesampainya di luar, aku melihat Paman sedang duduk bersantai sambil menikmati teh hangat buatannya. 

“Ngapain kalian keluar? Elena mana?” tanya Paman setelah menyeruput tehnya.

“Tid—” 

“Paman! Tadi Ren melakukan hal yang tidak senonoh!” ucap Tomi sambil tertawa yang membuatku menggetok kepalanya dengan tanganku.

“Nggak usah dengerin dia, Paman!” kataku dengan melihat tajam ke arah Tomi.

“Sudah dewasa, Ren! Nggak usah malu dan mengelak,” kata Tomi masih tertawa.

“Mengelak gimana kalau nggak ada sesuatu yang terjadi?” kataku dengan sebal.

“Makannya cepat dipinang, jangan ditunda-tunda mulu! Delapan tahun cari wanita yang dilihat di kilasan ingatan dan reinkarnasi cinta pertamanya, eh udah ketemu malah nggak bertindak cepat. Tunggu apa lagi, sih?” ucap Tomi yang membuat Paman ikut tertawa.

“Aku cuman takut kalau Elena suatu saat inget sama apa yang aku lakukan dulu, dia malah jadi benci. Jadi, untuk sekarang lebih baik terus ada di sisinya aja,” kataku berusaha menjelaskan alasan mengapa aku belum menyatakan cinta kepada Elena.

“Bukan karena takut ditolak?”

Aku terdiam tak menjawab Tomi. Apa yang diucapkannya memang ada dalam ketakutanku. Aku takut Elena akan menolakku karena tidak memiliki perasaan yang sama terhadapku. Aku takut Elena hanya menganggapku teman dan tidak lebih dari itu.

“Sudah-sudah, bahasnya nanti aja. Siapkan rencana dulu yang matang agar nggak ditolak. Untuk sekarang gimana kemampuan yang baru kamu ketahui itu?” tanya Paman yang tahu ketika aku langsung menceritakannya sewaktu ia pulang dari membeli makan siang untuk aku dan Elena.

“Masih gitu aja. Kejadian yang aku lihat ya di rumah sakit itu, dan aku nggak bisa mendengar suara. Apa karena aku membaca kilasan ingatannya di sebuah foto?”

Tomi tiba-tiba menyela dengan nada berlebihan. “Wow? Kemampuan baru? Aku nggak salah dengar, kan?” Matanya terbelalak, mulutnya langsung ditutup dengan kedua tangan, seolah ingin menahan keterkejutannya.

Ternyata, Paman juga meminta Tomi datang untuk membantu. Namun, aku baru tahu soal itu. Tomi datang setelah semuanya selesai, ketika malam mulai larut. Sepertinya, ia sengaja menghindar dengan alasan pura-pura sibuk mengurus sesuatu. Begitu tiba, ia langsung meminta maaf kepada Paman sambil menceritakan berbagai hal yang katanya sudah ia selesaikan. Dari caranya bicara, aku yakin cerita itu disusun dadakan. Bahkan, ia sempat menunjukkan foto lokasi untuk meyakinkan Paman. Itulah Tomi. Selalu punya cara untuk menghindar kalau disuruh beres-beres rumah karena ia enggan melakukan.

Lihat selengkapnya