YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #20

BIRENDRA: MEMORI FOTO

Setelah seharian sibuk membersihkan dan mengatur barang Paman ke tempat yang sesuai, aku merasa sedikit lelah, tetapi juga merasa puas melihat rumah Paman yang akhirnya terlihat nyaman tidak seperti saat tadi siang yang terlihat seperti kapal pecah dan membuatku sedikit stress. Pencahayaan dari lampu yang sudah dipasang di setiap ruangan berpendar lembut hingga menciptakan atmosfer yang menenangkan. 

Aku yang tadi berjanji kepada Elena untuk mencari ibunya di galeri foto ponselnya mulai melihat lagi pada gambar tersebut. Elena terlihat antusias dan mengatakan ia senang memiliki harapan lagi tentang keberadaan ibunya. Namun, setelah aku menelusuri foto itu, aku selalu kembali kepada ingatan di mana Bu Ambar menghampiriku di rumah sakit dan memberikan gulali. Suara yang Bu Ambar ucapkan kepada versi waktu aku kecil tidak begitu terdengar hingga membuatku terus mempertajam pendengaran. 

“Su-da-h la-ma ….” 

Setelah itu, aku ditarik kembali kepada realita. Kalimat yang belum selesai aku tafsirkan membuatku sangat frustasi. Beberapa kali mengulang membaca kilasan di foto itu membuatku sedikit pusing dan mual. Mungkin karena kondisi tubuhku yang sudah lelah dan dipaksakan terus bekerja dengan menelusuri foto ibu Elena tanpa jeda. Harus aku akui bahwa aku tidak sanggup lagi dan harus mengistirahatkan tubuhku sejenak. 

“Elena, aku lanjutkan nanti ya!” ucapku yang kemudian menoleh ke arah Elena yang ternyata sudah terlelap di sofa terlebih dahulu.

Sepertinya Elena juga sangat kelelahan dan tanpa aku sadari ketika ia menungguku yang fokus membaca foto ibunya, tiba-tiba terlelap begitu pulas. Aku seketika tersenyum melihat remahan roti yang ada di sudut bibir Elena. Aku mendekatkan posisi dudukku dengan hati-hati untuk mengambil remahan itu agar tidak mengganggu Elena tidur, tetapi karena posisi tubuhku dan wajahku yang terlihat begitu dekat dengan Elena, Tomi yang baru datang tanpa terdengar langkah kakinya dan hanya melihat posisi punggungku saja menegurku.

“Birendra, nyebut! Mau aku laporin ke tante Rika?” ucap Tomi yang membuatku kaget takut Elena bangun dan salah paham.

Aku memelototi Tomi memintanya untuk tidak berisik. Namun, situasi sulit menimpa kepadaku saat Elena yang sedikit menggeliatkan tangan kanannya melingkar ke leherku dan satu tangan kirinya juga ikut seperti sedang memelukku hingga membuat situasiku pada posisi yang sulit. Tangan kananku lalu memberi kode kepada Tomi untuk membantuku melepaskan tangan Elena yang sudah melingkar di leherku. Jarak wajahku dengannya pun hanya beberapa senti yang membuatku menahan napas dan panik.

Melihat aku yang sedang kesulitan, Tomi malah tertawa tak bersuara sambil memegang perutnya saat posisinya sudah ada di hadapanku. 

“Cepet tolongin!” kataku dengan sedikit berbisik karena takut membuat Elena bangun.

“Berani bayar berapa?” tanya Tomi pelan dengan menahan tawanya.

“Nyebut Tom! Sudah kaya masih bisa-bisanya malak,” ucapku dengan mencoba mempertahankan posisiku agar tidak memeluk Elena dan agar wajahku tak bersentuhan dengan wajah Elena.

“Hahahaha, bercanda! Oke-oke.” Tomi mendekat dan kemudian membantu melepaskan tangan Elena dengan perlahan.

Genggaman tangan Elena yang begitu kuat sempat membuat Tomi kesulitan melepasnya. Namun, saat percobaan ketiga ketika Elena yang masih tertidur pulas merenggangkan sedikit pegangannya di leherku, Tomi berhasil membantuku melepaskannya. Aku pun langsung merasa lega dan menarik Tomi ke luar untuk berbicara empat mata. Namun, sesampainya di luar, aku melihat Paman sedang duduk bersantai sambil menikmati teh hangat buatannya. 

“Ngapain kalian keluar? Elena mana?” tanya Paman setelah menyeruput tehnya.

“Tid—” 

“Paman! Tadi Ren melakukan hal yang tidak senonoh!” ucap Tomi sambil tertawa yang membuatku menggetok kepalanya dengan tanganku.

“Gak usah dengerin dia, Paman!” kataku dengan melihat tajam ke arah Tomi.

“Sudah dewasa, Ren! Gak usah malu dan mengelak,” kata Tomi masih tertawa.

“Mengelak gimana kalau gak ada sesuatu yang terjadi?” kataku dengan sebal.

“Makannya cepat dipinang, jangan ditunda-tunda mulu! Delapan tahun cari wanita yang dilihat di kilasan ingatan dan reinkarnasi cinta pertamanya, eh udah ketemu malah gak bertindak cepat. Tunggu apa lagi sih?” ucap Tomi yang membuat Paman ikut tertawa.

“Aku cuman takut kalau Elena suatu saat inget sama apa yang aku lakukan dulu terus malah jadi benci. Jadi, untuk sekarang lebih baik terus ada di sisinya aja,” kataku berusaha menjelaskan alasan mengapa aku belum menyatakan cinta kepada Elena.

“Bukan karena takut ditolak?”

Aku terdiam tak menjawab Tomi. Apa yang diucapkannya memang ada dalam ketakutanku. Aku takut Elena akan menolakku karena tidak memiliki perasaan yang sama terhadapku. Aku takut Elena hanya menganggapku teman dan tidak lebih dari itu.

“Sudah-sudah, bahasnya nanti aja. Siapkan rencana dulu yang matang agar tidak ditolak. Untuk sekarang gimana kemampuan yang baru kamu ketahui itu?” tanya Paman yang tahu ketika aku langsung menceritakannya sewaktu ia pulang dari membeli makan siang untuk aku dan Elena.

“Masih gitu aja. Kejadian yang aku lihat ya di rumah sakit itu dan aku gak bisa mendengar suara. Apa karena aku membaca kilasan ingatannya di sebuah foto?”

“Wow? Kemampuan baru? Gak salah dengar kan ini?” kata Tomi yang kaget karena baru mengetahui.

Ternyata Tomi juga diminta Paman datang untuk membantu. Aku tidak tahu itu. Tomi datang setelah semuanya beres dan ketika hari sudah malam. Sepertinya ia sengaja menghindar dengan pura-pura mengurusi sesuatu, kemudian datang sambil meminta maaf kepada Paman dan menceritakan apa saja yang telah diurusnya sampai ia tidak bisa datang tadi siang. Menurutku cerita itu dibuat Tomi dengan rencana dadakan sambil mengambil foto lokasi di mana ia berada agar pamanku percaya. Begitulah Tomi jika menyangkut beres-beres rumah, ia enggan melakukan.

Lihat selengkapnya