Untuk kesekian kalinya aku berada di rumah sakit dan untuk kesekian kalinya, aku mengunjungi seseorang yang sakit. Kak Ren sudah berhasil melewati masa kritis sejak dirinya kejang-kejang seminggu yang lalu saat membantuku membaca kilasan ingatan Ayah untuk mencari di mana ibuku berada. Namun, Kak Ren masih terbaring lemah dan belum sadarkan diri di kamar inap khusus VIP yang sengaja di pesan kedua orang tua Kak Ren.
Kalau saja aku tahu ini akan terjadi, aku tidak akan pernah meminta Kak Ren mencari ibuku. Melihatnya terbaring lemas dengan infus yang dipakainya membuatku sangat bersedih. Aku tak tahu harus bagaimana selain meminta izin dari kedua orang tua Kak Ren untuk memperbolehkanku menemani Kak Ren.
“Saya mengerti bahwa ini adalah waktu yang sangat sulit. Kami terus memantau kondisi Birendra dengan cermat. Meskipun ada harapan, hingga saat ini, ia belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran,” jelas Dokter Yanuar dengan nada tenang, meski kabar itu tetap berat didengar.
Di sampingku, Bu Rika tampak tak bisa menahan kecemasannya. Matanya sembap, menunjukkan betapa keras ia menangis. Di sebelahnya, Pak Gani mencoba menenangkan dengan merangkul bahunya.
“Dokter, Anda sebelumnya bilang kalau anak saya sudah melewati masa kritis. Lalu, kenapa dia belum juga sadar?” tanya Bu Rika, suaranya bergetar penuh kekhawatiran.
“Kami telah melakukan langkah-langkah untuk mendukung fungsi tubuh pasien,” jawab Dokter Yanuar dengan hati-hati. “Namun, kesadaran itu sesuatu yang sangat kompleks. Ada beberapa faktor yang memengaruhi pemulihan, dan berdasarkan hasil tes lanjutan, ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan kesadaran.”
Kalimat itu menghantamku seperti badai. Tatapanku seketika kosong, terpaku pada tubuh Kak Ren yang terbaring tak berdaya. Aku melirik kedua orang tuanya. Wajah mereka semakin pucat, dan ekspresi harapan yang tadi sempat terlihat di mata mereka perlahan memudar.
“Dok, apa masih ada harapan anak saya akan sadar?” tanya Pak Gani, suaranya sarat dengan kecemasan.
Dokter Yanuar menarik napas sejenak sebelum menjawab, “Kami akan terus melakukan yang terbaik untuk Birendra. Tapi saya harus jujur, kerusakan pada otak sering kali menjadi kondisi yang sulit diatasi sepenuhnya. Pemulihan kesadaran bisa memakan waktu yang tidak dapat dipastikan.”
Setelah selesai menjelaskan, Dokter Yanuar meminta izin untuk pergi dan melakukan pertemuan dengan beberapa dokter guna membahas kondisi Birendra dan langkah apa yang sebaiknya diambil. Bu Rika dengan suara lesu memohon kepada Dokter Yanuar untuk menemukan solusi agar anaknya bisa segera pulih. Dokter Yanuar yang melihat tatapan seorang artis yang selalu memancarkan kegembiraan di layar televisi, nampak tak tega dan menjawab dengan senyuman sambil mengatakan bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Kak Ren.
“Maafkan Elena, Bu, Om. Ini semua salah Elena,” ucapku kepada kedua orang tua Kak Ren saat Dokter Yanuar telah pergi dari ruangan ini.
“Ini bukan salah kamu, Elena. Ren bantu kamu karena dia ingin, kan? Jadi, sepenuhnya bukan salah kamu,” ucap Bu Rika yang kini mencoba tersenyum kepadaku.
“Walaupun saya nggak ngerti apa hubungannya antara bantu cari ibu kamu dengan kejang-kejang dan kejadian ini, tapi saya setuju bahwa ini bukan kesalahan kamu,” jelas Pak Irwan.
“Makasih, Bu, Om,” jawabku dengan air mata yang berlinang.
Aku merasa bersalah karena tidak bisa menjelaskan situasi yang sebenarnya. Aku baru mengetahui dari Pak Atman saat di perjalanan membawa Kak Ren ke rumah sakit, bahwa kedua orang tua Kak Ren tidak mengetahui kemampuan anaknya dan memintaku untuk merahasiakannya.
Bu Rika mendekat dan memelukku untuk menenangkan, padahal ia juga sedang tidak tenang. Saat aku sudah bisa mengendalikan diriku untuk tidak menangis, suara dering telepon yang berasal dari ponsel Bu Rika dan Pak Irwan membuat Bu Rika melepaskan pelukannya. Beberapa menit kemudian, Bu Rika yang terlebih dahulu mengakhiri panggilan mendekat ke arahku lagi. Bu Rika mengatakan bahwa sepertinya ia dan suaminya harus pergi sebentar untuk bertemu para staf.
“Elena, bisa kamu tolong jaga Ren sebentar? Ibu sama suami Ibu mau ketemu para staf untuk menjadwalkan ulang semuanya. Nanti ada Atman yang ke sini sorean. Bisa?” tanya Bu Rika.
Aku langsung mengiyakan karena aku tahu bahwa Bu Rika dan Pak Irwan sudah membatalkan semua pekerjaannya saat mengetahui Kak Ren masuk ke rumah sakit dan sedang dalam keadaan kritis.
“Dengan senang hati, Bu, Om. Elena bakal jaga Kak Ren.”
Bu Rika mendekat lagi ke arahku dan memelukku dengan lembut, kemudian ia pergi bersama suaminya. Saat menjaga Kak Ren, aku menatapnya dalam-dalam dan menggenggam tangannya.
“Maafin aku ya, Kak!” Aku menyeka air mataku yang kembali turun.
“Ayah sudah baikan, tapi kenapa Kak Ren belum? Sebenarnya, apa yang Kak Ren lihat sampai jatuh sakit dan nggak sadarkan diri selama ini? Elena janji kalau Kak Ren sadar, Elena bakal bersikap lebih baik.”
Tak ada jawaban dari Kak Ren. Air mataku pun kembali mengalir. Kali ini lebih deras daripada sebelumnya.
“Elena nggak tau sejak kapan ngerasain ini. Sepertinya, Elena punya perasaan ke Kak Ren. Elena nggak berani ngungkapin ini karena takut kalau rasa suka Kak Ren ke Elena itu bukan untuk Elena, tapi untuk bayang-bayang masa lalu wanita yang kata Kak Ren mirip Elena. Mirip orang yang dicintai di kehidupan pertama Kak Ren. Reinkarnasi kan namanya?” tanya Elena yang tahu mengenai persoalan ‘Reinkarnasi’ saat ia tidak sengaja mendengar percakapan Kak Ren, Kak Tomi, dan Pak Atman saat berada di kediaman Pak Atman. Saat itu, Elena segera pergi ketika ia tak sengaja menabrak sesuatu. Untungnya, seekor kucing menyelamatkan Elena sehingga mereka tidak curiga.
“Elena nggak yakin kalau itu Elena karena Kak Ren selalu bilang bisa melihat kilasan ingatan masa lalu dari matanya. Sedangkan penglihatan Elena saja bukan sepenuhnya milik Elena. Gimana kalau semua itu salah? Elena belum siap patah hati dan ditinggalkan oleh orang yang sudah Elena sayangi lagi.” Tak ada jawaban lagi, tetapi kali ini aku merasa lega karena tak ada yang mendengar pengakuan cintaku.
“Elena?!”
Oh, sepertinya ada yang mendengar. Aku dengan gugup langsung berdiri dan menoleh ke arah sumber suara. Ada Pak Atman yang berdiri di depan pintu dan membawa makanan untuk aku makan yang kebetulan belum makan siang. Melihat reaksinya yang terlihat biasa saja, sepertinya Pak Atman baru sampai dan langsung memanggilku. Maka aku akan mencoba bersikap tenang agar tidak terlihat kentara merasa gugup karena ketahuan menyatakan cinta pada orang yang belum sadar.
“Tadi Bu Rika bilang Pak Atman bakal datang sore. Oh iya, makasih makanannya, Pak!” ucapku saat menerima makanan dari Pak Atman.
“Sama-sama. Kebetulan urusan saya sudah selesai lebih cepat, jadi langsung ke sini. Ngomong-ngomong, dokter sudah periksa Ren lagi? Apa katanya?” tanyanya.
Aku melirik Kak Ren yang terbaring tak berdaya di ranjang, lalu menarik napas pelan sebelum menjawab. “Dokter Yanuar bilang ada kemungkinan terjadi kerusakan di otak Kak Ren,” ucapku dengan suara lirih, sambil menggigit bibir karena rasa cemas yang semakin memuncak.
“Saya nggak mengira semua ini akan terjadi—” Pak Atman tak melanjutkan ucapannya dan memegang pundakku yang langsung merasa bersalah lagi. “Bukan kamu yang salah, Elena.” Pak Atman tersenyum saat mengatakannya.