YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #25

BIRENDRA: HUKUMAN

Pada zaman dahulu, di sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja kejam, terdapat sebuah desa terpencil yang terlupakan. Jalanan berdebu desa itu dipenuhi tubuh-tubuh kurus yang melangkah lunglai, mata mereka cekung, kosong, seolah harapan telah lama terbenam bersama wabah mematikan yang menggerogoti kehidupan mereka.

Empu Roh berdiri di tengah pemandangan itu, menatap wajah-wajah penuh derita. Keris sakti di tangannya memantulkan kilau suram di bawah sinar matahari yang mulai meredup. Ia menghela napas panjang, lalu berbicara, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.

“Apa yang bisa kupahami dari makhluk bernama manusia ini?” gumamnya dengan nada getir. “Haruskah aku menolong mereka lagi? Senjata yang kuberikan dengan sukarela, malah digunakan untuk membunuh sesama karena keserakahan. Apa mereka layak diselamatkan?”

Lamunannya terputus ketika sebuah tarikan kecil terasa di ujung jubahnya. Seorang anak kecil berdiri di sana. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya terlihat menonjol di balik kulitnya yang pucat. Dengan suara parau, anak itu memohon, “Pak…, tolong beri aku makanan. Aku lapar.”

Empu Roh memandang anak itu. Perasaan iba, sesuatu yang dulu tak pernah ia rasakan, kini menyeruak dalam hatinya. Dahulu, sebagai dewa, ia tak mengenal empati. Namun setelah menerima hukuman dari Sang Pencipta karena ketidaksetujuan membiarkan manusia tinggal di muka bumi dan melakukan kerusakan, ia dipaksa merasakan apa yang manusia rasakan—penderitaan, kelemahan, dan perjuangan yang tak pernah usai.

Ia mengingat kembali titah Sang Pencipta untuk menolong sepuluh ribu manusia tanpa kesalahan dan penyalahgunaan kekuatan. Empu Roh diberikan dua kesempatan dan jika gagal memenuhi tugas itu, ia tak akan pernah kembali ke langit dan berkumpul lagi dengan dewa-dewa lainnya.

“Baiklah, aku akan menolongmu!” jawab Empu Roh akhirnya. Ia tahu tugas ini bukan sekadar soal memberi. Ia harus bijak memilih siapa yang ditolong, agar tidak mengulang kesalahan masa lalu—satu kesempatan sudah hilang ketika seorang rakyat yang ia bantu menjadi raja dan menggunakan keris sakti untuk membunuh orang-orang tak bersalah.

Empu Roh pun mulai membuat obat penawar untuk para warga. Ia menggunakan sedikit kekuatannya dan perlahan membangkitkan semangat masyarakat di desa itu yang mulai hidup makmur atas kehadirannya. Sebagai keuntungannya, kini Empu Roh bisa membantu banyak orang dengan membuat obat penawar dan beberapa peralatan untuk membantu masyarakat beraktivitas. 

Ia juga membuat senjata untuk membantu masyarakat memotong kayu yang digunakan untuk membuat perabotan dan lainnya. Setelah itu, ia membuat keris lagi untuk melindungi diri dari para pencuri. Namun, keris yang ia buat kali ini berbeda daripada sebelumnya. Empu Roh membuat keris buatannya kali ini akan tumpul atau tak berguna jika disalahgunakan seperti sebelumnya dengan mantranya.

Singkat cerita, keberadaan Empu Roh mulai diketahui oleh seorang wanita yang diseluruh tubuhnya penuh luka, kecuali wajahnya. Ia mendatangi Empu Roh dengan penuh harapan bahwa Empu Roh akan mengabulkan permintaannya.

“Aku butuh keris saktimu, Empu! Bukan keris biasa seperti ini, tapi keris sakti yang dulu dipakai oleh Raja, yang kau ambil kembali darinya!” serunya, air mata jatuh membasahi pipinya. Suaranya bergetar, mencerminkan penderitaan hidup yang tak tertahankan.

Empu Roh menatapnya lekat. “Aku tidak bisa memberikan keris itu kepadamu. Pulanglah, dan jangan kembali lagi ke sini! Aku tak mau terlibat dalam masalah keluargamu lagi,” jelasnya yang mengetahui identitas asli wanita itu yang tiada lain adalah istri dari Raja.

Wanita itu terisak, genggaman tangannya menguat seolah memohon belas kasih. “Aku harus membalas dendam! Dia sudah membunuh ayahku dan kini menyiksaku hanya karena mencari keris sakti ini”

Empu Roh menghela napas dalam. “Dari mana kau tahu keberadaanku?” tanyanya dengan nada penasaran.

“Aku mencarimu seorang diri,” jawab wanita itu sambil menyeka air matanya. “Aku ingat wajahmu. Sekarang, kamu satu-satunya harapanku.”

Empu Roh menggeleng pelan. “Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu inginkan. Keris itu sedang mencari pemilik sejatinya. Bahkan aku pun tak tahu siapa dia. Daripada menyimpan dendam, pergilah dan bantulah sesama. Hatimu akan lebih tenang. Percayalah padaku.”

Wanita itu terdiam. Matanya masih dipenuhi kemarahan, tetapi ada keraguan yang mulai muncul. “Aku akan mempertimbangkan saranmu,” katanya akhirnya. “Tapi beri aku satu petunjuk. Apa ciri-ciri pemilik sejati keris itu?”

Empu Roh menatap tajam. “Untuk apa aku memberitahumu?”

“Setidaknya, aku harus berusaha mencarinya agar ia mau menolongku!”

Empu Roh menghela napas sekali lagi. “Keris itu hanya akan jatuh ke tangan seseorang yang memiliki cinta besar untuk keluarganya. Setiap tindakannya dilakukan demi kebaikan dan kemanusiaan. Aku menyimpannya di tempat aman karena keris itu sedang mencari ikatan yang tak bisa terputus—ketulusan dalam membela sesama. Ketika keris itu menemukan pemiliknya, ia akan sepenuhnya terikat. Namun ingat, jika digunakan untuk memenuhi amarah atau dendam, karma buruk akan menghantui seumur hidup.”

Wanita itu terdiam lama. Akhirnya, ia mengangguk kecil, meski kekecewaan terpancar dari matanya. Ia membalikkan badan dan berjalan pergi, membawa luka-luka yang tak hanya di tubuh, tetapi juga di hatinya.

Beberapa bulan kemudian, desa yang ditempati pun semakin membaik dan Empu Roh merasa senang karena misinya hampir selesai. Empu Roh juga senang setelah melihat orang-orang yang ditolongnya saling membantu dan memaafkan hingga ia mengerti, walaupun manusia memang makhluk perusak, tetapi mereka mau belajar dan memperbaiki diri. Dan kini, tinggal satu orang lagi yang harus Empu Roh tolong untuk dirinya bisa kembali ke langit. 

Namun, takdir berkata lain. Seorang laki-laki dengan luka batin yang bisa dirasakannya, meminta Empu Roh untuk menjual senjata kerisnya yang paling hebat untuk ia pakai membalas dendam atas kematian keluarganya. Laki-laki itu berkata bahwa ia mengetahui tempat Empu Roh tinggal dari seorang wanita yang katanya kenal dengannya. Mendengar itu, tentunya Empu Roh tidak mau memberikan. Empu Roh mengatakan jika laki-laki itu mengambil keris biasa yang dibuatnya pun tidak akan bisa terpakai karena Empu Roh sudah memberi mantra kepada keris itu, bahwa senjatanya akan tumpul jika dipakai balas dendam atau hal negatif lainnya selain membela diri.

Laki-laki itu marah besar hingga mengobrak-abrik tempat Empu Roh. Dan siapa sangka, setelah mengobrak-abrik, laki-laki itu bisa melihat keris sakti yang sengaja disembunyikan dengan membuatnya tidak terlihat. Laki-laki itu pun mengambilnya karena dirinya merasa terpanggil oleh keris sakti itu. Sontak, Empu Roh kaget karena ternyata laki-laki itu adalah pemilik asli yang secara tidak langsung telah dipilih oleh keris sakti buatannya. Empu Roh berusaha menghalangi dan memperingati bahwa balas dendam bukanlah sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah.

“Melihat reaksimu yang kaget seperti ini, sepertinya keris ini berbeda dari yang lain. Sepertinya, ia tidak akan tumpul jika aku pakai untuk membalas dendam,” katanya sambil menyeringai.

Empu Roh berusaha memperingati lagi, tetapi laki-laki itu tidak mendengarkan dan menusuk Empu Roh hingga kehilangan nyawanya. Kesempatan Empu Roh untuk pergi ke langit pun gagal dan sebagai hukumannya karena telah gagal, Empu Roh akan dimusnahkan karena tidak bermanfaat di langit maupun di muka bumi. 

Empu Roh pun memohon berulang kali kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesempatan memperbaiki semuanya. Sang Pencipta yang baik hati melihat kesungguhan Empu Roh memberikan kesempatan sekali lagi dan Empu Roh pun dilibatkan dalam berbagai kehidupan orang-orang yang membuat keris sakti disalahgunakan hingga harus membuat reinkarnasi dari orang-orang tersebut tidak bersama kembali sebagai karma buruk atas apa yang mereka lakukan.

Bersambung…


Paman menutup laptopnya, lalu segera bangkit dari duduknya untuk membantu para karyawan galeri menata barang-barang antik yang akan segera dipamerkan. Keramik, mata uang kuno, perabotan antik, barang-barang retro, dan artefak budaya seperti ukiran kayu, patung, dan khususnya keris mulai ditata sebaik mungkin. Pada saat keris yang menurutku sakti karena memberikanku kemampuan tidak ditutupi etalase dengan catatan ‘Jangan disentuh! Nikmati saja keindahannya.’ disorot oleh cahaya yang telah dipasang, aku terpukau karena visualnya yang masih terlihat elegan.  

“Wah, Paman kamu kayaknya gila kerja banget, Ren!” seru Tomi kagum. Ia memperhatikan pamanku yang baru saja selesai menulis, lalu langsung turun tangan membantu para pekerja.

“Selagi gila kerja, dia itu perfeksionis banget! Tuh, lihat!” kataku sambil menunjuk ke arah Paman yang dengan cermat meletakan ukiran kayu dan patung. Gerakannya teliti, seolah setiap detail harus sempurna. Tomi mengangguk setuju. Lalu, tak lama dari itu, Paman yang tampak puas dengan hasil kerjanya berjalan mendekati kami.

Lihat selengkapnya