Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja kejam, terdapat desa terpencil yang tidak diperhatikan oleh kerajaan. Seluk-beluknya diabaikan karena sudah tidak ada harapan kehidupan di sana, disebabkan oleh masyarakatnya yang telah terjangkit wabah mematikan. Empu Roh yang berkelana untuk menuntaskan hukuman dari Sang Pencipta, melihat wajah-wajah penuh derita sambil berjalan lunglai di jalanan yang berdebu.
“Apa yang seharusnya aku pahami dari makhluk bernama manusia ini? Haruskah aku menolong mereka lagi setelah senjataku yang aku berikan dengan sukarela dipakai untuk membunuh sesama manusia karena keserakahan?” ucap Empu Roh sambil melihat ke arah keris sakti yang ia pegang.
Seorang anak kecil menarik tangan Empu Roh. Ia meminta makanan karena lapar dan perutnya kesakitan. Empu Roh merasa iba. Sebagai Dewa yang telah menjadi manusia, Empu Roh mengalami perasaan yang sama seperti yang manusia rasakan. Sebelumnya, ia tidak memiliki perasaan dan menentang Sang Pencipta untuk terus-menerus membiarkan manusia tinggal di muka bumi dan melakukan kerusakan. Karena telah menentang, Empu Roh yang mulanya seorang dewa, mendapat teguran dan hukuman untuk merasakan sendiri keberagaman hidup di antara manusia. Sang Pencipta mengatakan bahwa ia bisa kembali jika berhasil menolong sepuluh ribu manusia tanpa membuat kesalahan seperti menyalahgunakan kekuatan. Empu Roh diberikan dua kesempatan dan jika gagal memenuhi tugas itu, ia tak akan pernah kembali ke langit dan berkumpul lagi dengan dewa-dewa lainnya.
“Baiklah, aku akan menolongmu!” kata Empu Roh yang sedang mencoba menyelesaikan tugas sekaligus hukumannya. Ia harus bertindak cerdas dengan memilih siapa saja yang harus ia tolong agar tidak salah lagi. Mengingat satu kesempatannya telah gugur ketika seorang rakyat biasa yang menjadi raja menyalahgunakan keris saktinya dengan membunuh orang yang tidak bersalah.
Empu Roh pun mulai membuat obat penawar untuk para warga. Ia menggunakan sedikit kekuatannya dan perlahan membangkitkan semangat masyarakat di desa itu yang mulai hidup makmur atas kehadirannya. Sebagai keuntungannya, kini Empu Roh bisa membantu banyak orang dengan membuat obat penawar dan beberapa peralatan untuk membantu masyarakat beraktivitas.
Ia juga membuat senjata untuk membantu masyarakat memotong kayu yang digunakan untuk membuat perabotan dan lainnya. Setelah itu, ia membuat keris lagi untuk melindungi diri dari para pencuri. Namun, keris yang ia buat kali ini berbeda daripada sebelumnya. Empu Roh dengan mantranya membuat keris buatannya kali ini akan tumpul atau tak berguna jika disalahgunakan seperti sebelumnya.
Singkat cerita, keberadaan Empu Roh mulai diketahui oleh seorang wanita yang diseluruh tubuhnya penuh luka, kecuali wajahnya. Ia mendatangi Empu Roh dengan penuh harapan bahwa Empu Roh akan mengabulkan permintaannya.
“Aku butuh keris saktimu, Empu! Bukan keris biasa seperti ini, tapi keris sakti yang dulu dipakai oleh Raja yang telah kamu ambil kembali,” ucap wanita itu dengan air mata berlinang karena sudah tidak kuat menjalani pahit kehidupan yang dijalaninya.
“Aku tidak bisa memberikan keris yang kamu maksud. Pulanglah dan jangan kembali lagi ke sini! Aku tidak mau ikut campur dalam masalah keluargamu lagi,” ucap Empu Roh yang mengetahui identitas asli wanita itu yang tiada lain adalah istri dari Raja.
“Aku harus membalas dendam! Dia sudah membunuh ayahku dan kini menyiksaku hanya karena mencari keris sakti ini!” ucapnya sambil menangis.
“Dari mana kamu tahu keberadaanku?” alih-alih menjawab, Empu Roh memberikan pertanyaan ini karena penasaran.
“Aku mencarimu diam-diam seorang diri dan menemukanmu di sini karena aku ingat wajahmu,” kata wanita itu sambil menyeka air matanya.
“Aku tidak bisa memberi apa yang kamu mau. Keris sakti itu memang masih mencari pemilik aslinya. Jika kamu bertanya siapa itu, aku juga tidak tahu. Daripada memikirkan balas dendam, aku sarankan kamu pergi membantu sesama. Hatimu akan lebih tenang. Percaya padaku!” kata Empu Roh yang tentunya belum bisa diterima baik oleh wanita itu.
“Aku akan mempertimbangkan saranmu, tapi beri aku satu ciri-ciri kepada siapa keris itu akan diberikan?”
“Untuk apa aku memberitahumu?”
“Setidaknya aku harus berusaha mencarinya agar ia mau menolongku!”
“Aku tidak yakin kamu akan menemukannya karena keris sakti itu akan jatuh kepada orang yang memiliki cinta yang besar terhadap keluarganya dan setiap perbuatannya selalu karena alasan baik dan kemanusiaan. Keris itu aku sengaja simpan di tempat aman karena sedang mencari ikatan yang tak bisa lagi putus karena ketulusannya membela sesama. Ketika Keris itu menemukan pemiliknya, ia sepenuhnya akan terikat. Jika disalahgunakan untuk memenuhi amarahmu maka karma buruk akan mengikuti kehidupan kalian,” jelas Empu Roh yang pada akhirnya membuat wanita itu menyerah, lalu pulang dengan tangan kosong.
Beberapa bulan kemudian, desa yang ditempati pun semakin membaik dan Empu Roh merasa senang karena misinya hampir selesai. Empu Roh juga senang setelah melihat orang-orang yang ditolongnya saling membantu dan memaafkan hingga ia mengerti, walaupun manusia memang makhluk perusak, tetapi mereka mau belajar dan memperbaiki diri. Kini, tinggal satu orang lagi yang harus Empu Roh tolong untuk dirinya bisa kembali ke langit.
Namun, takdir berkata lain. Seorang laki-laki dengan luka batin yang bisa dirasakannya, meminta Empu Roh untuk menjual senjata kerisnya yang paling hebat untuk ia pakai membalas dendam atas kematian keluarganya. Laki-laki itu berkata bahwa ia mengetahui tempat Empu Roh tinggal dari seorang wanita yang katanya kenal dengannya. Mendengar itu, tentunya Empu Roh tidak mau memberikan. Empu Roh mengatakan jika laki-laki itu mengambil keris biasa yang dibuatnya pun tidak akan bisa terpakai karena Empu Roh sudah memberi mantra kepada keris itu, bahwa senjatanya akan tumpul jika dipakai balas dendam atau hal negatif lainnya selain membela diri.
Laki-laki itu marah besar hingga mengobrak-abrik tempat Empu Roh. Namun, setelah mengobrak-abrik, laki-laki itu bisa melihat keris sakti yang sengaja disembunyikan dengan membuatnya tidak terlihat. Laki-laki itu pun mengambilnya karena dirinya merasa terpanggil oleh keris sakti itu. Sontak, Empu Roh kaget karena ternyata laki-laki itu adalah pemilik asli yang secara tidak langsung telah dipilih oleh keris sakti buatannya. Empu Roh berusaha menghalangi dan memperingati bahwa balas dendam bukanlah sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah.
“Melihat reaksimu yang kaget seperti ini, sepertinya keris ini berbeda dari yang lain. Sepertinya ia tidak akan tumpul jika aku pakai untuk membalas dendam,” katanya sambil menyeringai.
Empu Roh berusaha memperingati lagi, tetapi laki-laki itu tidak mendengarkan dan menusuk Empu Roh hingga kehilangan nyawanya. Kesempatan Empu Roh untuk pergi ke langit pun gagal dan sebagai hukumannya karena telah gagal, Empu Roh akan dimusnahkan karena tidak bermanfaat di langit maupun di muka bumi.
Empu Roh pun memohon berulang kali kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesempatan memperbaiki semuanya. Sang Pencipta yang baik hati melihat kesungguhan Empu Roh memberikan kesempatan sekali lagi dan Empu Roh pun dilibatkan dalam berbagai kehidupan orang-orang yang membuat keris sakti disalahgunakan hingga harus membuat reinkarnasi dari orang-orang tersebut tidak bersama kembali sebagai karma buruk atas apa yang mereka lakukan.
Bersambung…
Paman menutup laptopnya, lalu segera bangkit dari duduknya untuk membantu para karyawan galeri menata barang-barang antik yang akan segera dipamerkan. Keramik, mata uang kuno, perabotan antik, barang-barang retro, dan artefak budaya seperti ukiran kayu, patung, dan khususnya keris mulai ditata sebaik mungkin. Pada saat keris yang menurutku sakti karena memberikanku kemampuan tidak ditutupi etalase dengan catatan ‘Jangan disentuh! Nikmati saja keindahannya.’ disorot oleh cahaya yang telah dipasang, aku terpukau karena visualnya yang masih terlihat elegan.
“Wah Paman kamu kayaknya sudah gila kerja, Ren!” ucap Tomi yang kagum karena melihat pamanku yang baru selesai menulis, lalu dengan cepat membantu para pekerja.
“Selagi gila kerja, dia itu perfeksionis banget! Tuh, lihat!” kataku saat melihat Paman yang dengan cermat meletakan ukiran kayu dan patung dengan presisi yang menurutnya bagus untuk ditampilkan. Tomi mengangguk setuju, lalu Paman yang nampak puas berjalan mendekat ke arah kami.
“Eh, Ren! Nanti teman Paman yang jual studio ini pas pameran mau datang. Temenin dia ya! Seumuran kok sama kamu,” ucap Paman yang terdengar seperti perintah dan harus diikuti.
“Kenal dari mana Paman bisa dapat teman yang jual studio ini?” tanya Tomi yang ngemil kacang setengah penasaran.
“Waktu Paman ngadain pameran di kota sebelumnya, dia datang dan suka banget sama barang antik. Udah pertemuan itu saling sharing aja terus jadi teman,” jelas Paman sambil tersenyum mengingat pertemuan awal dengan temannya itu.