“Selamat atas pernikahannya, putriku!”
Raja Wijaya Dharma melangkah mendekati kamar putrinya. Ia membuka pintu perlahan, lalu memeluk sang putri dengan hangat. Hari itu, ia menyerahkan Adhira kepada seorang pengawal kepercayaannya—seorang prajurit yang telah membawa kemenangan besar dalam perang wilayah melawan musuh. Sorot bahagia terpancar dari wajah sang raja, bangga melihat putrinya memulai babak baru dalam hidupnya.
“Terima kasih, Ayah,” jawab Adhira, membalas pelukannya. Namun, ketika ia melepas pelukan itu, raut wajahnya berubah, seperti menyimpan pertanyaan yang enggan ia ucapkan.
Raja Wijaya menatap putrinya dengan lembut. “Ada yang ingin kau tanyakan, putriku?” tanyanya, membaca gelagat Adhira dengan mudah.
Adhira menghela napas sejenak. “Maaf kalau Adhira lancang, Ayah,” ujarnya ragu. “Tapi, mengapa Ayah tiba-tiba meminta Adhira menikahi orang yang baru masuk ke kerajaan? Mengapa harus dia? Bukankah selama ini Ayah dan Ibu selalu memandang penting latar belakang seseorang? Sedangkan dia…, berasal dari rakyat biasa." Suaranya melemah di akhir kalimat, seolah takut menyinggung sang raja.
Raja Wijaya tersenyum tipis. Ia meletakkan kedua tangannya di pundak Adhira. “Adhira, putriku tersayang. Dia bukan lagi orang biasa. Ayah memilihnya karena keyakinan Ayah bahwa dia bisa melindungimu, di mana pun kau berada. Percayalah, keputusan ini diambil demi kebaikanmu. Ayah dan ibumu telah mempertimbangkannya matang-matang. Ayah hanya berharap kau dapat menerima pilihan ini dengan ikhlas, putriku.”
Adhira terdiam. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan, menekan segala kekhawatirannya dalam hati. Sebagai putri kerajaan, ia tahu, permintaan ayahnya adalah perintah raja yang tak bisa diganggu gugat. Ia memutuskan untuk tunduk pada kehendak ayahnya.
Namun, kebahagiaan yang semula ia harapkan berubah menjadi mimpi buruk. Setelah pernikahan itu berlangsung, tragedi menghantam hidup Adhira. Suaminya, Wira, menusuk Raja Wijaya dengan sebilah keris di depan matanya. Tak seorang pun tahu kejadian itu selain Adhira, dan ia tak berdaya mencegahnya. Ketika Adhira mencoba menyampaikan kebenaran, Wira membungkamnya dengan ancaman mengerikan—nyawa ibunya akan menjadi taruhannya.
Demi melindungi ibunya, Adhira menyerah pada kehendak Wira. Ia menjadi alat bagi suaminya untuk merebut tahta, menjadikan Wira raja baru menggantikan mendiang ayahnya.
Sejak saat itu, hidup Adhira tidak lagi sama. Ketika apa yang diinginkan oleh suaminya tidak tercapai, Adhira menjadi pelampiasan amarahnya. Hari-hari yang dilalui Adhira terasa berat dan hatinya terasa seperti medan perang yang terluka. Puncak penderitaannya terjadi saat ibunya tewas secara tragis—dibunuh oleh tangan Wira sendiri, hanya karena keris kesayangannya diambil oleh orang tak dikenal. Kehilangan itu menghancurkan sisa harapan yang masih tersisa di hati Adhira, menggantinya dengan bara dendam yang membara.
Pada saat itu, Adhira yang sedang bersama ibunya tidak sengaja melihat pertengkaran antara Wira dan seorang laki-laki yang merebut keris tersebut. Adhira dan ibunya terkejut ketika orang yang sebelumnya ditikam oleh Wira berhasil pulih dengan cepat, lalu kabur bersama keris yang menurut Adhira sakti. Hal ini membuat Adhira berpikir bahwa orang itu bisa membantunya membalaskan dendam.
Namun, keinginan balas dendam Adhira perlahan teralihkan dan segalanya berubah ketika ia bertemu Sagara di Desa Bintang. Saat itu, Adhira menuruti saran dari seorang Empu yang tidak ingin memberikan keris sakti miliknya dan memintanya untuk menolong sesama agar hatinya menjadi tenang. Semakin mengenal Sagara, Adhira menemukan kebaikan yang murni di hatinya. Melihat Sagara menolong tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan, Adhira mulai merasakan kedamaian yang sempat hilang.
Perlahan, hari-hari yang dihabiskan Adhira bersama Sagara membuat Adhira menaruh hati kepada Sagara. Adhira pun sering mengunjungi Sagara untuk sekadar mengobrol atau membantu teman-temannya yang sedang kesulitan. Namun, kesenangan Adhira tak berlangsung lama karena Raja mengetahui apa yang dilakukan Adhira di belakangnya. Raja kemudian memerintahkan prajurit khusus untuk membunuh keluarga Sagara, sehingga Sagara kehilangan seluruh keluarganya.
Sagara yang tidak mengetahui bahwa Adhira adalah istri dari Raja sangat sedih dan tak terima atas apa yang terjadi kepadanya. Sagara ingin membalas dendam karena mengira Raja melakukan itu karena aksinya yang selalu menentang kebijakan Raja di depan kerajaan.
“Aku pikir, Raja yang selalu membiarkanku lolos karena sering menentang kebijakannya di depan gerbang kerajaan secara langsung, tidak menghukumku karena bentuk kebaikannya. Namun, sebenarnya Raja saat ini benar-benar tidak punya hati nurani! Aku harus balas dendam atas kematian keluargaku yang tidak bersalah dan membuat Raja merasakan apa yang aku rasakan!” ucap Sagara di hadapan Adhira, yang saat itu sedang merasa gelisah sekaligus marah atas apa yang dilakukan Wira kepada orang yang Adhira sayangi.
“Sagara, lebih baik kita pergi ke kota lain. Kita buka lembaran baru bersama-sama. Kamu sudah janji kan akan menemaniku dan akan menyelamatkanku dari suamiku yang kejam itu?” Adhira berusaha membuat Sagara mau menuruti permintaannya karena ia tidak ingin sesuatu terjadi kepada Sagara.
Sagara menghela napas panjang, menatap Adhira dalam-dalam. Tangannya menggenggam tangan Adhira erat. “Tidak perlu khawatir, Adhira! Aku pasti akan bersamamu. Namun, aku ingin membuat Raja menderita agar ia merasakan penderitaan yang aku dan rakyat rasakan dengan membunuh orang yang dicintainya juga. Aku akan membunuh Ratu!”
Mata Adhira membesar, hatinya berdebar kencang. “Kamu gila? Nyawamu akan dalam keadaan bahaya jika melakukan hal seperti itu! Kamu benar-benar lebih memilih Raja yang kejam itu daripada lari bersamaku?”
“Tidak seperti itu, Adhira. Aku mohon, mengertilah!” ucap Sagara setengah memohon kepada Sagara.
Adhira menarik tangannya dari genggaman Sagara, langkahnya mundur perlahan. “Yang ada dipikiran kamu selalu keluarga dan teman-temanmu itu. Apa untungnya jika kamu mewakilkan balas dendam untuk mereka? Ternyata tidak ada satu pun ruang untukku. Kamu dengan kata-katamu yang ingin bersamaku itu hanya kepalsuan!”
“Kamu tahu, keluargaku dibunuh!” suara Sagara meninggi. “Teman-temanku hidup menderita karena Raja yang menelantarkan rakyatnya! Bukan hanya di desaku, Adhira, tetapi juga di desa-desa lain. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu kepadaku?” Sagara menatap Adhira dengan sorot mata penuh kekecewaan karena Adhira tidak mau mendukung apa yang dilakukannya kali ini.
“Tidak, aku sama sekali tidak ingin mengerti masalah ini!” Air mata Adhira turun. Matanya memerah karena marah. Ia tidak bisa menghentikan niat Sagara untuk melawan Raja. Adhira tahu, jika Sagara bertindak tanpa persiapan atau gegabah, ia akan terbunuh dengan cepat. “Sagara! Aku mohon. Aku hanya tidak ingin membuatmu terluka atau sampai kehilanganmu. Sekarang aku ingin kamu memutuskan, aku atau Raja!” lanjut Adhira dengan nada yang begitu tegas. Namun, terselip harapan Sagara akan memilihnya.
“Adhira, maaf ….”
“Baiklah kalau kamu lebih memilih untuk membalas dendam kepada Raja. Maka dari itu, kita tidak bisa bertemu lagi!” Adhira menyeka air matanya. Dadanya serasa sesak atas perdebatannya dengan Sagara kali ini.
“Aku minta maaf ….”
“Aku pergi!” kata Adhira yang akan melangkah menjauh dengan tatapan pasrah.
Adhira menyadari bahwa tidak ada satupun orang yang benar-benar ada di sisinya. Sagara yang ia cintai, mematahkan harapan Adhira yang sempat berharap bahwa ia akan membawanya pergi keluar dari rasa derita yang selama ini ia alami sebagai istri Raja. Berbagai rencana untuk kabur sudah Adhira susun, seperti kematian pura-puranya agar Raja percaya bahwa istrinya telah tiada. Langkah yang belum jauh dari posisi Sagara berdiri terhenti, Adhira berbalik lagi dan menghampiri Sagara dengan niat menyerahkan sebuah peta sebagai satu persen peluang untuk mengakhiri semuanya.
“Aku benar-benar tidak ingin kamu terbunuh. Mungkin orang yang dimaksud Empu adalah kamu. Kalau ingin membunuh orang yang dicintai Raja, aku sarankan kamu pergi ke desa Wiralandang. Ada seorang pembuat keris handal yang akan membantumu di sana. Setidaknya, aku harap keris itu adalah milikmu,” ucap Adhira yang kemudian mengambil sebuah peta di tas selendangnya yang selalu ia bawa dan memberikan kepada Sagara.
“Desa ini jarang dilirik sehingga keberadaannya hampir tidak diketahui. Aku tidak ingin kamu membalas dendam dengan gegabah. Pergi dan mintalah keris kepadanya. Dia tidak akan memberikan keris buatannya dengan mudah, tetapi satu yang pasti, semua benda yang ia buat adalah keajaiban untuk pemiliknya dan setelah kamu berhasil mendapatkan keris itu, pergilah ke sebelah gerbang kerajaan secara diam-diam dan temui pengawal yang aku kenal. Ia akan membantumu menyusup ke kerajaan sebagai pengawal menggantikan dirinya. Pengawal itu adalah teman ayahku dan akan aku beritahu ia untuk menunggumu setiap hari sampai kamu datang pada malam hari setelah semua orang tertidur,” lanjut Adhira yang kemudian melangkah menjauh lagi ke arah Sagara.
“Maafkan aku dan terima kasih, Adhira,” ucap Sagara dengan sedih.