Malam gelap memeluk hutan dan para pemburu merayap diam-diam di antara pepohonan rimbun. Mereka menghirup udara malam yang terasa tegang, menyusuri setiap detik dengan harapan mendapatkan tangkapan langka untuk memenuhi keluarga mereka. Sekelompok pemburu tersenyum sendiri di bawah sinar rembulan. Mata mereka fokus pada seekor rusa yang tengah menikmati rumput hijau.
Waktu berlalu seperti angan-angan, setengah jam yang terasa berat untuk mereka yang menanti. Tombak-tombak yang tersemat di punggung mereka menunggu dengan sabar untuk menghunuskan diri ke dalam petualangan malam ini. Namun, dalam keheningan yang membelenggu hutan, sebuah kejutan tak terduga muncul.
Sekejap, langit memuntahkan cahaya dalam bentuk bola panas yang membelah kegelapan malam. Cahaya itu jatuh di tanah, menghasilkan dentuman luar biasa yang menggema di antara pepohonan. Para pemburu serta sang rusa yang tak tahu apa yang terjadi, terloncat kaget oleh suara yang menggelegar itu.
Saat cahaya mulai memudar, keheningan kembali merajai malam. Namun, ketegangan terasa semakin intens. Sang rusa hendak melarikan diri, mata pemburu bersinar dalam ketidakpastian. Akan tetapi, satu di antara mereka, seorang pemburu yang bersiap dari tempat persembunyiannya dengan presisi dan keberanian menghunuskan tombaknya.
Tombak itu melintas udara malam dan menancap tepat di tubuh sang rusa. Suara gemuruh hutan kembali terdengar, kali ini dipenuhi oleh keberhasilan dan kejayaan. Sang rusa terkapar di tanah, menjadi puncak dari malam yang penuh kejutan bagi para pemburu yang berhasil mencapai tujuan mereka. Di sisi lain, bola panas itu adalah Dewa yang sedang dihukum dan namanya dihapus dari alam semesta. Wujudnya kini hanya roh dan tiba-tiba memadat, lalu perlahan memiliki tubuh manusia dengan pakaian compang-camping.
Dewa itu tidak ingat siapa namanya, tetapi ia ingat kenapa dirinya di kirim ke Bumi dan kebutuhan pertama kali yang ada di benaknya adalah sebuah nama. Hingga akhirnya tercetus saat dirinya ingat ketika jatuh sebagai “Roh” dengan wujud bola panas, maka ia akan menamai dirinya sendiri dengan Roh. Roh itu merasa sangat lapar dan tatapannya tepat kepada rusa yang sedang tergeletak.
“Kebetulan sekali! Aku akan membuat makanan dari hewan itu menggunakan kekuatanku.” Roh itu pun mendekat, tetapi ia tidak paham situasi dan instingnya belum bekerja. Para pemburu yang mengetahui ada seseorang mendekat kepada buruannya keluar dari persembunyian dan menyergap Roh itu.
“Dasar rakyat jelata yang sukanya mencuri hasil kerja keras orang! Berani-beraninya kamu mendekat ke rusa buruan kami. Mau cari mati?” kata seorang pemburu yang merupakan pemimpinnya.
“Bukannya kalian yang cari mati?” ucap Roh dengan percaya diri dan kemudian merasa jijik dengan manusia pertama yang ia temui.
“Orang yang percaya diri sekali. Kita habiskan saja dia di sini sekarang! Biar jadi bangkai yang di makan hewan buas,” ucap salah satu pemburu yang memakai kalung di lehernya sambil tertawa diikuti anggota lainnya.
“Kalau kalian melakukan itu, kalian yang akan celaka!” ucap Roh dengan menatap tidak suka kepada para pemburu itu.
“Hahahaha, lihat siapa yang berbicara? Manusia lemah seperti kamu tidak mungkin mengalahkan kami semua!” ucap Pemimpin itu sambil menendang tubuh Roh hingga terjatuh ke tanah.
“Kekuatanku—” rintih Roh yang kesakitan.
Para pemburu memandang Roh terkapar di tanah dengan tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Roh merasakan kekesalan melanda karena kekuatannya belum sepenuhnya terkumpul dalam tubuh barunya. Salah satu pemburu yang berusaha menakuti Roh bersiap menancapkan tombak yang digenggamnya ke tubuh Roh.
Namun, dalam secepat kilat, tangan Roh mencengkram kepala tombak itu dengan upaya keras. Darah segera mengalir dari jari-jari Roh yang terhunus oleh ujung tajam tombak. Teriakan kesakitan Roh memecah keheningan, memekikan telinga para pemburu. Serangan tiba-tiba ini membuat pemburu yang menyerang Roh terkejut, terguling ke belakang akibat teriakan yang cukup menyakitkan pendengaran mereka.
“Orang bodoh mana yang berani memegang kepala tombak secara langsung!” ejek salah satu anggota pemburu sambil menutup telinganya karena belum sepenuhnya pulih dari teriakan Roh.
“Seharusnya dia menghindar waktu aku menakutinya!” timpal pemburu yang menikam Roh dengan tombak.
Saat para pemburu sibuk menutup telinganya dari teriakan Roh, seorang pemberontak tak dikenal melemparkan batu kecil, mengenai salah satu pemburu. “Kalau berani, lawan aku!” teriak orang itu dengan penuh semangat, mengacungkan tangan dengan tantangan.
Para pemburu yang tidak melihat pemberontak itu berusaha mencari sumber suara ketika teriakan roh berhenti, tanpa menyadari bahwa kepala tombak yang menusuk tangan Roh telah berubah menjadi sebuah keris. Luka tusukan tombak di tangan Roh pun perlahan pulih. Namun, angka sepuluh ribu berwarna merah darah terukir transparan di pergelangan tangan kiri Roh yang terluka.