YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #30

BIRENDRA: SIKAP

Dalam studio galeri yang penuh dengan keajaiban barang antik milik Paman, napasku berdegup cepat. Keheningan tiba-tiba terputus oleh kilatan ingatan yang menderu begitu saja di tengah keindahan seni yang mengelilingi kami. Aku mengutuk sial dalam hati ketika kilasan ingatan menyergapku seperti badai tak terduga. Mataku terpaku pada Paman yang menggenggam erat sebuah keris antik. Ruangan itu seolah-olah menyimpan rahasia besar dan hatiku berdegup semakin cepat saat Paman berjalan perlahan ke arahku, menggenggam kehidupan masa lalu yang kini terungkap.

Dalam kilasan singkat yang mengiris waktu, takdir membuka lembaran hitam masa laluku. Aku terhanyut ke momen kelam di mana Sagara mengambil secara paksa keris sakti dan keputusan tragis mengantarkan Sagara pada pembunuhan Empu Roh. Wajah Empu Roh yang sebelumnya tersembunyi oleh selubung misteri, mendadak mengalami perubahan dramatis, bermetamorfosis menjadi wajah Pak Gani. Namun, seperti glitch dalam dunia maya, wajah itu bergetar dan terdistorsi seolah-olah dipaksa untuk kembali menampilkan identitas aslinya sebagai Paman.

Ketika kesadaran itu menyapu diriku, guci yang kupegang erat sebagai hadiah berharga dari Ibu untuk Paman atas keberhasilannya mengadakan pameran barang antik lepas dari genggaman. Guci jatuh ke lantai dan pecah menjadi berkeping-keping dengan gemuruh yang menggetarkan hatiku, seakan-akan memproyeksikan kekacauan yang mencengkeram jiwaku. Aku pun menatap Paman dengan tatapan tak percaya.

“Kamu baik-baik saja, Ren?” tanya Paman yang mendekat dengan khawatir. “Diam di situ! Biar Paman yang bersihkan,” lanjut Paman pergi mengambil sapu, meninggalkanku yang masih terkejut dengan informasi baru yang baru kuterima ini.

Paman figur yang selama ini kuketahui hanya sebagai keluarga, kini memiliki identitas yang jauh lebih dalam. Paman yang aku kira hanya memiliki dua identitas sebagai penyuka barang antik dan seorang penulis, ternyata adalah reinkarnasi dari Empu Roh, orang yang aku kira adalah ayah Elena dan seorang dalang dibalik kejadian ini terjadi. Saat Paman sudah kembali kepadaku dengan memegang sapu, aku menatap Paman dengan tatapan tak percaya. Bibirku gemetar saat kutatap wajahnya yang seolah menyembunyikan rahasia besar.

“Jadi, Empu Roh itu Paman? Bukan ayah Elena?” ucapku dengan suara gemetar. Paman menghentikan kegiatan menyapu pecahan guci itu, lalu menatapku dengan mata terkejut.

“Dari mana kamu ….” ucap Paman yang seketika melihat ke arah keris yang tadi dibawanya yang sudah tersimpan dengan baik di meja.

“Tapi kenapa waktu aku baca kilasan ayah Elena, wajah ayah Elena yang muncul?!” kataku masih bertanya-tanya karena jelas aku mengingatnya bahwa Empu Roh yang aku lihat dalam kilasan ayah Elena adalah wajahnya.

Paman menghela napas kasar karena rahasia yang berusaha ia tutupi dariku kini telah terbongkar diluar dari rencananya. Akhirnya, ia bersuara untuk menjelaskannya kepadaku yang mengalami kekecewaan karena merasa telah dibohongi Paman selama hidup di dunia ini.

“Seperti saat kamu sudah bisa melihat wajah Adhira di dalam kilasan ingatanmu adalah Elena, seperti itulah kamu saat mempercayai manipulasi yang Paman buat.” Pernapasanku semakin sesak ketika mendengarnya. Kepalaku juga jadi pening untuk menerima kenyataan yang berbeda secara bertubi-tubi. 

“Jadi, semua ini rencana yang Paman buat untuk jauhin aku sama reinkarnasi Adhira? Termasuk insiden kecelakaan? Apa itu ulah Paman?” kataku dengan nada mengandung amarah dan sorot mata yang sudah memerah.

“Insiden kecelakaan bukan Paman yang lakukan. Paman hanya mempertaruhkan semuanya agar reinkarnasi Adhira bisa dikenang lewat anaknya dan agar kamu nggak sedih, Ren.” Paman menjelaskan dengan mata sendu. 

“Kenapa? Kenapa Paman melakukan yang nggak seharusnya? Dan kenapa Paman nggak bilang aja langsung sama Ren? Kenapa harus bohong?” tanyaku secara bertubi-tubi meminta penjelasan Paman.

“Ren, dengar! Waktu kamu cari reinkarnasi Adhira, kamu begitu putus asa dan sedih berlarut-larut kalau gagal menemukan reinkarnasi Adhira pada wanita yang kamu baca kilasan ingatannya. Kamu selalu cerita, kalau kamu sangat ingin ketemu sama dia. Terus, kamu bela-belain cari sampai ke luar negeri dan bakal kembali sedih lagi kalau belum ketemu sama apa yang kamu cari. Jadi, Paman terpaksa melakukan ini semua untuk kamu. Paman cuman ingin kamu bahagia.” jelas Paman yang terdengar sangat logis, tetapi sulit diterima baik olehku karena sudah ditutupi rasa takut dibohongi oleh triknya yang mengelabuiku selama ini.

“Bahagia?” Aku mendengus, memandang Paman dengan tatapan tajam. “Kenapa harus dengan cara ini? Kenapa harus ada kebohongan?” Aku menggertakkan gigi, tinjuku mengepal erat. “Apa sebenarnya ini semua masih tentang dendam Paman pada apa yang dilakukan Sagara dulu? Kalau iya, Ren benar-benar minta maaf, Paman! Ren menyesal!”

Paman yang seolah merasakan ledakan perasaanku, menatapku dengan ekspresi penyesalan. “Karena nggak ada cara lain lagi untuk kamu bisa ketemu sama reinkarnasi Adhira!” katanya dengan suara bergetar. “Dia nggak akan pernah terlahir kembali dan ini adalah yang terakhir kalinya. Dia berbeda dengan kamu. Reinkarnasi Adhira sudah berkali-kali hidup dan menjadi Ambar adalah terakhir kalinya dia bereinkarnasi—” 

Aku memotong ucapannya. “Bagaimana Paman bisa yakin kalau kehidupannya sekarang adalah yang terakhir? Apa Paman berusaha membohongi aku lagi?”

“Paman tahu hal ini karena Paman mampu melihatnya! Kini, kebahagiaan yang diraih Adhira melalui reinkarnasinya terjadi karena ia telah menyelesaikan karma buruk dari kehidupan sebelumnya. Paman nggak bisa cuman diam tahu hal ini, dan Paman membuat rencana untuk mengenang ingatan tentang reinkarnasi Adhira pada Elena, yang pada saat itu juga membutuhkan donor untuk penglihatannya,” jelas Paman dengan sungguh-sungguh.

Aku menatapnya tajam dengan penuh amarah. “Lalu bagaimana dengan aku, Paman? Apa karena aku baru bereinkarnasi, Paman merasa bisa berbuat seenaknya? Membohongiku dan membuatku percaya kalau Elena adalah Adhira? Apa karena Paman memiliki kemampuan luar biasa, Paman merasa bisa mengatur segalanya? Apa Paman ingin melampaui Sang Pencipta?” 

Ucapanku kini sepertinya menampar pendirian Paman selama ini. Paman terduduk lemas di kursi yang tidak jauh dari keberadaan kami berdiri. Ada helaan napas berat lagi yang dikeluarkan Paman. Ia tertawa, lalu melihat ke arahku dengan mata yang berkaca-kaca, seolah apa yang aku katakan tadi membuka pemikiran yang selama ini tertutup pada logikanya yang merasa serba bisa dan serba mengetahui akan apa yang akan terjadi.

“Awalnya, Paman memang berniat balas dendam,” katanya dengan suara bergetar. “Seperti yang kamu tahu, misi Paman adalah memisahkan kalian. Tapi, sejak Paman tahu bahwa kamu adalah reinkarnasi Sagara sekaligus keponakan Paman, kebencian itu perlahan memudar. Sebaliknya, Paman mulai menyayangimu, Ren. Paman peduli padamu.”

Aku menggeleng, menahan rasa sesak yang membuncah di dada. “Berhenti untuk memberi alasan itu, Paman. Paman hanya merasa bisa melakukan segalanya dan berbuat seenaknya demi kesenangan Paman. Paman terlalu angkuh untuk itu!” ucapku yang seketika membuatku sadar karena apa yang aku lontarkan kepada Paman adalah kata-kata yang sudah terlalu pedas.

Paman tertawa getir, kali ini lebih lirih. “Kamu benar,” katanya dengan jujur. “Paman memang angkuh. Paman merasa bisa melakukan segalanya, dan akhirnya membohongimu. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Ren. Paman melakukan semua ini karena ingin kamu melupakan masa lalu dan fokus pada kehidupanmu sekarang. Paman hanya ingin kamu bahagia, Ren.”

Nada suaranya penuh ketulusan, matanya menatapku dalam, mencoba menyentuh lapisan hatiku yang masih penuh amarah. Namun, meski Paman berusaha memberikan penjelasan lagi, aku merasa kesulitan untuk mempercayainya. Bayangan kekecewaan dan rasa takut akan dibohongi lagi terus menyelimutiku. Aku takut sejak aku lahir ke dunia, Paman memang tidak pernah menyayangiku dan hanya menganggapku sebagai objek yang harus dia balas dendam atas perbuatanku dulu kepadanya. Kata-kata Paman yang mengatakan bahwa ia melakukan semua ini demi aku sangat sulit aku terima. Kebohongannya telah menutup rasa kepercayaanku kepada Paman selama ini.

Lihat selengkapnya