Dalam studio galeri yang penuh dengan keajaiban barang antik milik Paman, napasku berdegup cepat. Keheningan tiba-tiba terputus oleh kilatan ingatan yang menderu begitu saja di tengah keindahan seni yang mengelilingi kami. Aku mengutuk sial dalam hati ketika kilasan ingatan menyergapku seperti badai tak terduga. Mataku terpaku pada Paman yang menggenggam erat sebuah keris antik. Ruangan itu seolah-olah menyimpan rahasia besar dan hatiku berdegup semakin cepat saat Paman berjalan perlahan ke arahku, menggenggam kehidupan masa lalu yang kini terungkap.
Dalam kilasan singkat yang mengiris waktu, takdir membuka lembaran hitam masa laluku. Aku terhanyut ke momen kelam di mana Sagara mengambil secara paksa keris sakti dan keputusan tragis mengantarkan Sagara pada pembunuhan Empu Roh. Wajah Empu Roh yang sebelumnya tersembunyi oleh selubung misteri, mendadak mengalami perubahan dramatis, bermetamorfosis menjadi wajah Pak Gani. Namun, seperti glitch dalam dunia maya, wajah itu bergetar dan terdistorsi seolah-olah dipaksa untuk kembali menampilkan identitas aslinya sebagai Paman.
Ketika kesadaran itu menyapu diriku, guci yang kupegang erat sebagai hadiah berharga dari Ibu untuk Paman atas keberhasilannya mengadakan pameran barang antik lepas dari genggaman. Guci jatuh ke lantai dan pecah menjadi berkeping-keping dengan gemuruh yang menggetarkan hatiku, seakan-akan memproyeksikan kekacauan yang mencengkeram jiwaku. Aku pun menatap Paman dengan tatapan tak percaya.
“Kamu baik-baik saja, Ren?” tanya Paman yang mendekat dengan khawatir.
“Diam di situ! Biar Paman yang bersihkan.” Paman pergi mengambil sapu meninggalkanku yang masih terkejut dengan informasi baru yang baru kuterima ini.
Paman figur yang selama ini kuketahui hanya sebagai keluarga, kini memiliki identitas yang jauh lebih dalam. Paman yang aku kira hanya memiliki dua identitas sebagai penyuka barang antik dan seorang penulis, ternyata adalah reinkarnasi dari Empu Roh, orang yang aku kira adalah ayah Elena dan seorang dalang dibalik kejadian ini terjadi. Saat Paman sudah kembali kepadaku dengan memegang sapu, aku menatap Paman dengan tatapan tak percaya. Bibirku gemetar saat kutatap wajahnya yang seolah menyembunyikan rahasia besar.
“Jadi, Empu Roh itu Paman? Bukan ayah Elena?” ucapku dengan suara gemetar. Paman menghentikan kegiatan menyapu pecahan guci itu, lalu menatapku dengan mata terkejut.
“Dari mana kamu ….” ucap Paman yang seketika melihat ke arah keris yang tadi dibawanya yang sudah tersimpan dengan baik di meja.
“Tapi kenapa waktu aku baca kilasan ayah Elena, wajah ayah Elena yang muncul?!” lanjutku masih bertanya-tanya karena jelas aku mengingatnya bahwa Empu Roh yang aku lihat dalam kilasan ayah Elena adalah wajahnya.
Paman menghela napas kasar karena rahasia yang berusaha ia tutupi dariku kini telah terbongkar diluar dari rencananya. Akhirnya, ia bersuara untuk menjelaskannya kepadaku yang mengalami kekecewaan karena merasa telah dibohongi Paman selama hidup di dunia ini.
“Seperti saat kamu sudah bisa melihat wajah Adhira di dalam kilasan ingatanmu adalah Elena, seperti itulah kamu saat mempercayai manipulasi yang Paman buat.” Pernapasanku semakin sesak ketika mendengarnya. Kepalaku juga jadi pening untuk menerima kenyataan yang berbeda secara bertubi-tubi.
“Jadi, semua ini rencana yang Paman buat untuk jauhin aku sama reinkarnasi Adhira? Termasuk insiden kecelakaan? Apa itu ulah Paman?” kataku dengan nada mengandung amarah dan sorot mata yang sudah memerah.
“Insiden kecelakaan bukan Paman yang lakukan. Paman hanya mempertaruhkan semuanya agar reinkarnasi Adhira bisa dikenang lewat anaknya dan agar kamu tidak sedih, Ren.” Paman menjelaskan dengan mata sendu.
“Kenapa? Kenapa Paman melakukan yang tidak seharusnya? Dan kenapa Paman gak bilang aja langsung sama Ren? Kenapa harus bohong?” tanyaku secara bertubi-tubi meminta penjelasan Paman.
“Ren, dengar! Waktu kamu cari reinkarnasi Adhira, kamu begitu putus asa dan sedih berlarut-larut kalau gagal menemukan reinkarnasi Adhira pada wanita yang kamu baca kilasan ingatannya. Kamu selalu cerita, kalau kamu sangat ingin ketemu sama dia. Terus, kamu bela-belain cari sampai ke luar negeri dan bakal kembali sedih lagi kalau belum ketemu sama apa yang kamu cari. Jadi, Paman terpaksa melakukan ini semua untuk kamu. Paman gak mau buat kamu sedih!” jelas Paman yang terdengar sangat logis, tetapi sulit diterima baik olehku karena sudah ditutupi rasa takut dibohongi oleh triknya yang mengelabuiku selama ini.
"Tapi, kenapa harus bohong! Kenapa harus pakai cara ini? Apa sebenarnya Paman ini masih dendam sama apa yang dilakukan Sagara dulu? Ren benar-benar minta maaf, Paman! Ren benar-benar menyesal!" kataku dengan menghentakkan tangan yang mengepal.
Paman yang seolah merasakan ledakan perasaanku, menatapku dengan ekspresi campuran antara penyesalan dan tekad. "Karena gak ada cara lain lagi untuk kamu bisa ketemu sama reinkarnasi Adhira! Dia gak akan pernah terlahir kembali dan ini adalah yang terakhir kalinya. Dia berbeda dengan kamu. Reinkarnasi Adhira sudah berkali-kali hidup dan menjadi Ambar adalah terakhir kalinya dia bereinkarnasi—” ucapan Paman terpotong olehku.
“Bagaimana Paman bisa tahu kalau kehidupannya kini adalah reinkarnasi terakhirnya? Apa Paman mencoba membohongiku lagi?”
“Paman mengetahui hal ini karena Paman mampu melihatnya! Kini, kebahagiaan yang diraih Adhira melalui reinkarnasinya terjadi karena ia telah menyelesaikan karma buruk dari kehidupan sebelumnya. Paman tidak bisa hanya diam mengetahui hal ini, dan Paman membuat rencana untuk mengenang ingatan tentang reinkarnasi Adhira pada Elena, yang pada saat itu juga membutuhkan donor untuk penglihatannya," jelas Paman dengan sungguh-sungguh.
“Lalu bagaimana denganku, Paman? Apa karena aku baru bereinkarnasi lantas Paman bisa berbuat seenaknya seperti ini? Membohongiku dengan membuatku percaya bahwa Elena itu Adhira? Apa karena Paman memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga Paman bisa mengatur semuanya dengan seenaknya? Paman mau melampaui Sang Pencipta?” ucapanku kini sepertinya menampar pendirian Paman selama ini karena ia terduduk lemas di kursi yang tidak jauh dari keberadaan kami berdiri.
Ada helaan napas berat lagi yang dikeluarkan Paman. Ia tertawa, lalu melihat ke arahku dengan mata yang berkaca-kaca. Seolah apa yang aku katakan tadi membuka pemikiran yang selama ini tertutup pada logikanya yang merasa serba bisa dan serba mengetahui akan apa yang akan terjadi.
"Pada awalnya, Paman memang berniat balas dendam dan seperti yang kamu tahu tentang misi Paman di dunia ini adalah memisahkan kalian. Akan tetapi, semenjak Paman tahu bahwa kamu adalah reinkarnasi Sagara sekaligus keponakan Paman, Paman perlahan mulai melupakan kebencian itu dan sebaliknya sangat menyayangi juga peduli sama kamu, Ren." Kali ini Paman menjelaskan dengan nada yang bergetar, mencoba menyampaikan rasa penuh penyesalan dan ketulusan.
“Berhenti untuk memberi alasan itu, Paman. Paman hanya merasa bisa melakukan segalanya dan berbuat seenaknya demi kesenangan Paman. Paman terlalu angkuh untuk itu!” ucapku yang seketika membuatku sadar karena apa yang aku lontarkan kepada Paman adalah kata-kata yang sudah terlalu pedas.
Pamanku seketika tertawa, "Kamu benar, Paman memang angkuh. Paman merasa bisa melakukan segalanya dan berujung membohongi kamu, tapi satu hal yang harus kamu ketahui, Ren. Paman melakukan semua ini karena benar-benar ingin kamu melupakan masa lalu dan fokus kepada dunia baru kamu yang sekarang. Paman ingin kamu bahagia, Ren!" lanjut Paman dengan penuh ketulusan, matanya mencoba menembus lapisan hatiku.
Namun, meski Paman berusaha memberikan penjelasan lagi, aku merasa kesulitan untuk mempercayainya. Bayangan kekecewaan dan rasa takut akan dibohongi lagi terus menyelimutiku. Aku takut sejak aku lahir ke dunia, Paman memang tidak pernah menyayangiku dan hanya menganggapku sebagai objek yang harus dia balas dendam atas perbuatanku dulu kepadanya. Kata-kata Paman yang mengatakan bahwa ia melakukan semua ini demi aku sangat sulit aku terima. Kebohongannya telah menutup rasa kepercayaanku kepada Paman selama ini.