Selama berpacaran dengan Elena, setiap hari dalam hidupku terasa seperti lembaran penuh kebahagiaan. Setiap hari dipenuhi dengan momen-momen indah, mulai dari menjemputnya di kampus untuk mengantarnya pulang, hingga mengajaknya menemani langkahku sebagai asisten. Kampus seni hari ini pun beda daripada biasanya. Di kampus Elena, tepatnya di Gedung Dewi Asih akan menjadi saksi para mahasiswa tingkat akhir menyelenggarakan screening film Tugas Akhir gelombang satu.
Suasana di sekitar Gedung Dewi Asih dipenuhi antusiasme para peserta tugas akhir dan mahasiswa film lainnya. Elena, di tengah keramaian dengan hati penuh tekad, turut serta sebagai peserta. Bagaimana ia merasa paling bahagia di mana tiga tahap ujian proposal dan perjalanan menuju pembuatan film dokumenter berjudul "Dance In The Freedom" dilaluinya dengan lancar.
Kebahagiaan yang memenuhi diriku tidak terbatas saat melihat usaha kerasnya membuahkan hasil. Elena tanpa kenal lelah mencari sponsor demi mewujudkan impian film dokumenternya. Meskipun anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit, tetapi semangatnya tak pernah luntur. Beruntung, kepopuleran Mira sebagai penari membuat perjuangan Elena tidak sia-sia. Mira menjadi magnet bagi para sponsor yang dengan senang hati bersedia membiayai film tersebut, dengan Mira sebagai tokoh utama yang memukau banyak orang.
“Kita panggilkan, Elena Galexia dengan nim 162021, dengan judul film Tugas Akhir, ‘Dance In Freedom’, untuk Elena, silahkan ke depan!” ucap MC wanita dengan kebaya ungu itu yang disambut dengan teriakan dan tepuk tangan para penonton yang telah menyaksikan film dokumenter miliknya.
Aku yang berada di bangku penonton pun ikut bangga dan menyemangatinya ketika Elena yang duduk disebelahku pamit kepada ayahnya dan aku. Senyum bahagia terlampir pada wajahnya itu. Namun, sebenarnya, ada perasaan gelisah karena pesanan yang aku titipkan kepada Tomi belum sampai. Tomi membeli bunga yang sudah aku pesan langsung mewakiliku yang beberapa hari ini sibuk. Toko bunga yang aku pesan kebetulan mendapatkan pesanan membludak dan pesananku diperkirakan akan sampai terlambat jika memakai jasa antarnya. Maka dari itu, aku meminta tolong kepada Tomi untuk mengambilnya. Namun ternyata, rencana itu tidak berjalan mulus karena Tomi terjebak macet dan aku memberi pesan teks kepada Tomi untuk lari saja jika sudah dekat dengan kampus Elena.
“Halo semuanya! Berawal dari ketertarikan saya melihat sebuah video seseorang yang menari dan bisa saya rasakan pesan apa yang ingin beliau sampaikan dalam tariannya, saya mulai mencari dan memperdalam dunia tentangnya. Ternyata, setelah saya perdalam, seni tari itu sangat indah. Bukan hanya meleok-leokan tubuh secara asal, tapi ada cerita dan emosi yang ingin disampaikan. Setelah saya dipertemukan dengan Kak Mira, hai Kak!” panggil Elena yang melihat Mira berada di salah satu tempat duduk paling depan sebagai tamu VIP yang dibalas dengan lambaian tangan sopan dan tepukan meriah mengiringinya saat Mira berdiri sambil membungkukan badan.
BIRENDRA
Tom, di mana gak? Ini Elena udah mulai ngasih kata-kata! Bisa terbang aja gak?
TOMI
Kalau bisa sih mau, Ren! Masalahnya gak bisa. Udah kasihnya nanti aja pas selesai acara.
BIRENDRA
Ah, sial! Jadi gak spesial.
Aku menghentikan jariku untuk mengirim pesan kepada Tomi. Sepertinya memang tidak ada harapan untuk aku memberinya secara langsung saat ia menyebut namaku sebagai tanda terima kasih. Rencananya, aku akan berjalan ke depan sambil memberikan bunga kepada Elena.
“Saya menjadi tahu mengenai perjuangannya dari titik nol hingga menjadi penari terbaik masa kini. Darinya saya belajar bahwa pengorbanan dan tekad besar dibutuhkan dalam meraih mimpinya. Maka dari itu, bagi teman-teman dan bapak atau ibu sekalian yang sedang menggapai mimpi kalian, jangan berputus asa! Ini berlaku untuk saya, selaku pembuat film yang ingin terus melebarkan sayap saya menjadi lebih lebar. Maka dari itu terima kasih saya sampaikan kepada para penguji dan pembimbing, Bu Rara, yang telah ikut serta dalam mewujudkan film dokumenter ‘Dance In The Freedom’ ini selesai. Terima kasih kepada ….”
Sebentar? Mana ucapan terima kasih untukku? Apa Elena lupa? Memang sih aku tidak mau pamrih atas support dariku yang berupa memberikannya izin untuk tidak masuk kerja dan memberikan food truck saat ia shooting. Aku memang tidak mengharapkannya, tetapi bukannya menyebutku sebagai ‘kekasih yang telah menemaninya’, akan lebih indah didengar dan rasanya aku merasa Elena bersyukur memilikiku. Namun, mari dengar ucapan terima kasihnya siapa tahu, aku yang paling akhir disebut.
“..., kepada Ayah dan mendiang ibuku yang telah membesarkanku dengan baik, terima kasih kepada narasumberku, Kak Mira! Makasih sudah datang. Terima kasih kepada teman-temanku yang selalu support dan kepada para kru beserta adik tingkat yang telah membantu. Tanpa kalian, film dokumenter ini tidak akan pernah terwujud. Sekian dari saya. Selamat malam! Semangat Film! Action!”
Elena kembali ke tempat duduk disebelahku. Ia tersenyum ke arahku dan aku merasa dilupakan. Bagaimana bisa Elena lupa? Atau ia mengira sudah menyebut namaku dan tidak sadar karena gugup? Entahlah. Yasudah, mau bagaimana lagi. Aku hanya tersenyum kepadanya, menonton film peserta lain dan sambutan-sambutan lain sampai selesai dengan mood tak karuan.
“Bro! Bunganya,” sahut Tomi yang tiba tepat acara selesai dan menghampiriku saat aku berada di luar menunggu Elena yang sedang mengambil foto bersama teman-temannya.
Aku melihat ke arah mata Tomi dan aku tahu ia sedang berbohong. Ketelatannya bukan hanya karena macet ternyata, tetapi karena ia bangun kesiangan. Bukan kesiangan lagi, tetapi kesorean. “Hehehe, ketahuan.” Tomi nyengir sambil menggarukan kepalanya yang tidak gatal.
“Bisa-bisanya bohong,” kataku dengan nada sinis.
“Maaf-maaf, tadi malam aku gak berani nolak ajakan Paman kamu. Main game sampai pagi di rumahnya. Semenjak tahu dia Empu Roh, kayak takut kalau nolak semua permintaannya.”
Tomi memang menjadi penurut jika Paman meminta bantuannya. Ia langsung beraksi dan tak pakai alasan lagi setelah mengetahui bahwa pamanku adalah Empu Roh yang pernah aku ceritakan kepadanya. Menarik bukan? Identitas Paman yang terungkap bisa mengubah Tomi menjadi penakut. Paman sih bilang ke Tomi untuk santai saja karena dia juga manusia yang diberi kelebihan dari kekuatan yang tidak hilang dalam dirinya. Namun, Tomi tetap bertingkah seperti itu karena katanya jaga-jaga takut pamanku kesal karenanya dan mengutuknya jadi batu.
“Yasudah, mau gimana lagi.”
Aku enggan memperpanjang perdebatan ini. Tadinya aku ingin marah besar kepada Tomi, tetapi suasana hatiku sedang tidak baik karena dalam kata sambutan yang Elena ucapkan tadi, namaku tidak disebutkan. Selain itu, aku juga harus memaklumi situasi karena aku kira Paman sudah tahu tentang acara Elena. Aku pikir Elena sudah memberitahunya secara langsung, tetapi ternyata tidak. Elena mengatakan bahwa dia sudah memintaku untuk memberitahu Paman, tetapi aku lupa karena kesibukanku membuatku kewalahan. Dari kejauhan, aku melihat Mira memberi salam kepada Pak Gani dan memeluk Elena setelah mereka berfoto bersama.
Mira pun melambaikan tangan tanda untuk pamit pulang yang dibalas lambaian tangan dan senyum hangat dari Elena. Setelah itu, Elena mencari-cari keberadaanku dan saat matanya melihat di mana aku berada, ia memanggilku dan memintaku mendekat untuk foto bersama. Aku yang memaksakan senyum pun mendekat ke arah Elena. Tomi yang ikut tidak lupa salam kepada Pak Gani yang berada disamping Elena saat itu.
“For you!” kataku sambil memberikan bunga.
“Aaaa, makasih banyak, Kak!” ucap Elena dengan senyum mengembang.
“Yuk, kita foto bareng dulu!”