Liburan di rumah Paman yang telah kususun untuk berleha-leha saat itu berganti menjadi acara meditasi antara aku dan Paman. Paman mengajariku cara meditasi agar aku bisa lebih tenang dalam menghadapi kemampuanku. Kata Paman, mungkin ini satu-satunya cara agar aku bisa mengendalikannya dan entah berasal dari mana pamanku ini, apa yang dikatakannya selalu benar. Ajaran meditasi selama liburan di rumahnya membantu diriku. Aku jadi bisa mengendalikan kekuatan sesuai kehendakku ingin membaca ingatan masa lalu orang itu atau tidak. Kupraktekan pada salah satu tetangga Paman yang berumur lima tahun dan membelikan permen sebagai upah karena mau menjadi alat test untuk kemampuan baruku.
Aku sebenarnya heran dengan Paman karena reaksinya saat ia mendengar bahwa aku bisa melihat masa lalu orang lain setelah menyentuh barang antiknya sangatlah berbeda. Ia tidak menganggapku orang aneh dan Paman tidak kesal atau marah ketika barang-barang antiknya disentuh tanpa persetujuannya. Kali ini Paman menerima begitu saja dan mempercayaiku. Walau aku senang Paman percaya dengan apa yang aku alami dan membantuku mengatasinya dengan cepat, aku tetap meminta Paman untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu mengenai kondisiku dan untungnya ia mau menuruti permintaanku itu. Sungguh momen yang langka karena Paman adalah orang yang tidak akan dengan mudah menuruti keinginanku.
Sejak diberi kelebihan baru itu, rasa penasaranku terhadap wanita dalam kilasan ingatanku semakin memuncak. Gelombang getaran misteri memenuhi hatiku setiap kali aku mencoba merekam setiap detailnya dalam pikiranku, walaupun wajahnya terhenti hanya pada bayangan samar.
Namun, entah mengapa, walau usaha kerasku untuk menjaga kenangan menyakitkan itu, ada saat-saat langka di mana rasa itu menguap tiba-tiba, meninggalkanku dalam kekacauan pikiran. Saat itu, aku merasa seakan meninggalkan wanita itu sendirian. Maka tak ada pilihan selain berbalik lagi ke cermin, berharap untuk sekadar menangkap sedikit kilatan memori yang tersemat di dalamnya.
Setelah mengingat, merasakan kesedihan dan kebahagiaan dari kilasan masa lalu itu, aku selalu mengambil selembar kertas kosong dan menggambarkan kembali sepasang mata yang telah merasuki pikiranku begitu dalam. Meskipun kertas-kertas itu tumpah ruah dengan gambar yang sama, aku tak pernah berhenti. Setiap kali, itu adalah ritualku, untuk menghidupkan kembali setiap momen yang terkait dengannya, untuk tidak melupakan kesalahan yang pernah kulakukan padanya.
Namun semakin hari, pemikiranku tak hanya berusaha menggali ingatan itu. Aku juga mulai berani mencari bahkan bertekad menemukan wanita yang muncul dalam kilasan ingatanku, entah di mana pun dia berada. Bagaimana pun, dalam benakku tersembunyi harapan, mungkin ia juga adalah bagian dari reinkarnasi seperti diriku dan ketika saat itu tiba, aku bersumpah untuk mencintainya dengan sepenuh hati dan akan aku awasi serta kulindungi dari segala rintangan yang mengancam.
"Good morning, brother!” sapa seorang laki-laki yang menyudahi nostalgiaku di ruang kerja yang menyatu dengan kamarku.
Menyadari kedatangannya, aku segera menyeka air mata yang membasahi pipiku dan berusaha mengalihkan pandangan darinya agar ia tidak mengejekku.
“Apa-apaan ini? Sensitif betul menangis saat hujan turun. Pasti karena ritual menggambar wanita itu kan?" ucapnya yang mengetahui kemampuan yang kumiliki secara tiba-tiba delapan tahun yang lalu.
“Ngapain pagi-pagi ke sini?” kataku dengan sedikit ketus dan tidak menjawab pertanyaan yang sudah Tomi ketahui jawabannya.
“Aku kabur dari rumah karena malas harus bantu persiapan perayaan pernikahan dua tahun ibuku dan suami keduanya di hotel. Sama sekaligus mau kasih ini sih undangan resmi untuk CEO muda sukses. Mama Lita maksa banget, katanya kalau gak mau bantu, aku harus buat kamu datang.”
Tomi, sahabat terbaikku, mengatakan hal itu sambil berjalan dengan langkah kaki yang sangat hati-hati saat melewati beberapa kertas gambar sepasang mata yang berserakan di lantai. Refleks aku menyunggingkan senyum ketika menangkap perbuatannya sekilas. Walaupun terkadang ucapannya tidak pernah difilter, Tomi berusaha tidak melakukan kesalahan yang sama. Beberapa tahun yang lalu dengan seenaknya Tomi menginjak sepasang mata yang kugambar dengan penuh keseriusan secara berulang-ulang. Kala itu aku memarahi Tomi habis-habisan hingga ia merasa bersalah dan meminta maaf karena tidak pernah melihatku marah.
“Ini!” Tomi memberikan kartu undangan berwarna cream dengan bungkusan yang elegan.
“Pokoknya kamu harus datang, Ren! Kalau nggak, aku sumpahin gak akan pernah ketemu…, tunggu, btw, kamu udah tidur kan?” tanyanya sedikit khawatir.