YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #2

BIRENDRA: SEPASANG MATA

Liburan di rumah Paman yang awalnya kuharapkan penuh dengan ketenangan berubah menjadi sesi meditasi yang intens. Setiap sore, Paman mengajariku cara meditasi agar aku bisa lebih tenang dalam menghadapi kemampuanku. Aku duduk bersama Paman, fokus pada napas dan aliran energi yang katanya bisa menenangkan pikiran. 

“Kendalikan dirimu, kendalikan pikiranmu,” kata Paman sambil menatap jauh, seolah memahami lebih dari yang bisa kuungkapkan. “Kalau kamu sudah menguasai meditasi dengan benar, Paman yakin kamu bisa mengendalikannya.” 

Ajarannya mengalir seperti air, tanpa paksaan, dan entah mengapa, segala yang dikatakan Paman selalu terasa benar. Melalui meditasi ini, aku bisa mengendalikan kekuatanku—memilih apakah ingin membaca ingatan masa lalu seseorang atau tidak. Aku mempraktikkannya pada salah satu tetangga Paman yang berumur lima tahun dan membelikan permen sebagai upah karena bersedia menjadi alat test untuk kemampuan baruku.

Aku sebenarnya heran dengan reaksi Paman ketika mendengar bahwa aku bisa melihat masa lalu orang lain setelah menyentuh barang antiknya. Reaksinya sangat berbeda dari yang kuduga. Ia tidak menganggapku aneh, dan ia juga tidak kesal atau marah ketika aku menyentuh barang-barang antiknya tanpa izin. Kali ini, Paman justru menerimanya begitu saja dan mempercayaiku. 

Meskipun aku senang Paman percaya dengan apa yang kualami dan membantuku mengatasinya dengan cepat, aku tetap memintanya untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu mengenai kondisiku. Untungnya, ia bersedia menuruti permintaanku. Ini adalah momen yang langka, mengingat Paman biasanya tidak mudah menuruti keinginanku.

Sejak aku diberi kelebihan baru itu, rasa penasaranku terhadap wanita dalam kilasan ingatanku semakin memuncak. Setiap kali aku mencoba merekam setiap detailnya dalam pikiranku, gelombang getaran misteri memenuhi hatiku, meskipun wajahnya terhenti hanya pada bayangan samar. 

Namun, entah mengapa, meskipun aku berusaha keras menjaga kenangan menyakitkan itu, ada saat-saat langka ketika rasa itu tiba-tiba menghilang  dan meninggalkanku dalam kekacauan pikiran. Pada saat seperti itu, aku merasa seakan telah meninggalkan wanita itu sendirian. Karena itu, aku tidak punya pilihan selain berbalik lagi ke cermin, berharap dapat menangkap sedikit kilatan memori yang tersimpan di dalamnya.

Setelah mengingat serta merasakan kesedihan dan kebahagiaan dari kilasan masa lalu itu, aku selalu mengambil selembar kertas kosong lalu menggambar kembali sepasang mata yang telah merasuki pikiranku begitu dalam. Meskipun kertas-kertas itu tumpah ruah dengan gambar yang sama, aku tidak pernah berhenti. Setiap kali membaca kilasan tentangnya, aku menjalani ritual untuk menghidupkan kembali setiap momen yang terkait dengannya agar tidak melupakan kesalahan yang pernah kulakukan padanya.

Namun, semakin hari, aku tidak hanya berusaha menggali ingatan itu, tetapi juga mulai berani mencari dan bahkan bertekad menemukan wanita yang muncul dalam kilasan ingatanku, di mana pun dia berada. Bagaimanapun, dalam benakku tersembunyi harapan bahwa mungkin ia juga bagian dari reinkarnasi seperti diriku. Ketika saat itu tiba, aku bersumpah akan mencintainya dengan sepenuh hati, mengawasinya, serta melindunginya dari segala rintangan yang mengancam.

***

Good morning, brother!” sapa seorang laki-laki bernama Tomi, yang menyudahi nostalgiaku di ruang kerja yang menyatu dengan kamarku. 

Aku segera menyeka air mata yang membasahi pipiku dan mengalihkan pandangan darinya setelah menyadari kedatangannya agar ia tidak mengejekku.

“Kenapa, bro? Lagi sensitif, ya? Nangis di saat hujan kayak gini? Hmmm, emang mendukung sih cuaca kayak gini buat sobat galau yang satu ini,” lanjutnya, lalu menjentikkan jari, seolah mengetahui alasan aku menangis. “Aku tebak! Pasti nangis karena ritual gambar wanita itu, kan?” ucapnya, yang mengetahui kemampuanku delapan tahun yang lalu.

“Ngapain pagi-pagi ke sini?” ujarku dengan sedikit ketus, tanpa menjawab pertanyaan sebenarnya yang sudah Tomi ketahui jawabannya.

“Aku kabur dari rumah karena malas harus bantu persiapan perayaan pernikahan dua tahun ibuku dan suami keduanya di hotel. Sama sekaligus mau kasih undangan resmi untuk CEO muda sukses. Mama Lita maksa banget, katanya kalau nggak mau bantu, aku harus buat kamu datang.” 

Tomi, sahabat terbaikku, mengatakan hal itu sambil berjalan dengan langkah kaki yang sangat hati-hati saat melewati beberapa kertas gambar sepasang mata yang berserakan di lantai. Secara refleks, aku tersenyum ketika menangkap perbuatannya sekilas. 

Lihat selengkapnya