YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #4

BIRENDRA: KILASAN YANG SELAMA INI DICARI

Elena hampir terlihat seperti seorang dewi yang turun dari surga dan kehadirannya membuat suasana berubah. Sinar matahari menyapu lehernya yang ramping, menyoroti setiap jejak keringat yang mengkilap. Rambutnya yang diikat hanya menambah pesonanya, memperlihatkan leher jenjangnya.

Aku tak bisa mengabaikan pesona yang dipancarkannya. Elena tampaknya membawa kesegaran dan kehidupan dengan sensasi baru ke tempat ini, dan aku seperti terhipnotis oleh aura positif yang mengelilinginya. Seolah-olah waktu melambat, seperti adegan slow motion yang disajikan untuk menampilkan keindahan karakter utama, Elena hadir dengan senyumnya yang indah, dan itu cukup menggugah hatiku.  

“Halo, Birendra aja, tanpa kepanjangan, dan boleh panggil Ren,” ucapku sambil mengulurkan tangan. Aku berusaha tersenyum meski rasa gugup menguasaiku saat pandangan kami bertemu. 

Tiba-tiba, suara dering telepon milik Elena memecah suasana dan membuat percakapan kami tertunda. Raut wajahnya berubah panik. Dengan buru-buru, dia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Aku memperhatikan gerak-geriknya tanpa bisa mengalihkan pandangan dari tingkahnya yang terlihat gelisah.

“Aduh, maaf ya kak. Izin angkat dulu dari teman, takut penting.”  

“Oh iya, no worries! kata Tomi, yang kemudian membuat Elena sedikit tenang dan menjauh dari tempat kami berada.

Entah mengapa, tingkahnya membuatku refleks tersenyum dan menggelengkan kepala. Tomi, yang menyadari ketertarikanku padanya, langsung menyindirku.

“Senyam-senyum kalau nggak dipacarin buat apa, Birendra!” sindir Tomi sambil menyeruput minuman coffee miliknya.

“Etika, Bapak Tomi. Kayak nggak pernah senyum aja,” gumamku dengan santai.

“Senyumnya beda ini, kayak ada something. Akui sajalah kalau dia cantik dan kamu tertarik dengannya, tapi karena wanita idaman kamu yang belum kunjung datang itu, pikiranmu terhambat disitu. Jadi, nggak bebas mencintai wanita manapun.”

“Hmmm,” jawabku seadanya.

“Hmmm, hmmm, hmmm, sekali lagi jawab gitu, aku bilangin juga nih dirimu yang buat temennya gagal nikah,” ancam Tomi.

“Idih, dasar cepu. Kalau gitu, aku bilangin juga ke Mama Lita kenapa dulu pake narkoba,” ancamku balik karena tidak ingin kalah dan sedikit kesal karena Tomi membawa wanita dari kilasan ingatan masa laluku yang kucintai.

“Hehehe, jangan dong! Perang dunia ketiga nanti namanya. Lagian, aku nggak pake ya, cuman baru mau make. Sensitif bener sih, kayak pantat bayi kalau wanita yang dicintainya dibawa-bawa,” gerutu Tomi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja karena khawatir. Aku mengenal reaksi ini—reaksi Tomi saat takut aku membocorkan alasannya menjadi badung saat masih di Sekolah Menengah Atas. 

Sebenarnya, alasan itu tidak memalukan. Tomi hanya kesal karena orang tuanya berpisah. Namun, gengsinya terlalu besar untuk mengakui kepada Mama Lita bahwa perpisahan itu telah melukai hatinya, sehingga ia memilih bergaul dengan anak-anak nakal. 

“Maaf ya Kak, obrolan kita jadi ke tunda. Oh iya, aku nggak bisa lama-lama di sini. Masih ada urusan di kampus. Gapapa, kan?” tanya Elena yang kembali menghampiri tempat di mana kami duduk.

“Iya gapapa, kok. Ini paling sebentar doang,” jawab Tomi, berusaha mengendalikan ekspresinya dengan senyum mengembang setelah sebelumnya aku membuatnya khawatir.

“Jadi, Kak Tomi beneran tahu alasan Kak Gio batal nikah? Soalnya, Kak Gio nggak mau kasih tahu aku. Aku benar-benar sedih waktu dengarnya dan aku kira, maaf, Kak Tomi penyebabnya. Soalnya, Kak Irene kayak baik-baik saja nge-post foto bareng orang lain setelah membatalkan pernikahan,” tanya Elena dengan raut wajah yang penasaran. 

Aku yang sejak tadi diam dan belum memulai penyelidikanku kini berusaha menatap kedua mata Elena—mata sama yang selalu aku gambar dan yang kulihat dalam kilasan ingatanku. Tak butuh waktu lama, aku seolah tersedot ke dalam kehidupannya. Dalam ingatan itu, kehidupannya tampak tidak mudah. Aku melihat sebuah ruang makan yang dipenuhi keheningan. Di sana, Elena sedang menyuapi ayahnya yang menatap kosong tanpa ekspresi. Saat Elena melangkah ke dapur, melewatiku untuk mencuci piring, adegan tiba-tiba berubah. Kini, aku melihatnya menggulung lengan seragam kafenya. Napasnya terengah setelah melewati hari panjang di kampus

Elena duduk sebentar, membuka catatan di ponselnya, lalu jarinya mencetang daftar anak-anak tetangga yang telah membayarnya Rp. 50.000,- untuk setiap sesi mengajar. Setelah itu, ia mengambil dompetnya dan mulai menghitung uang di dalamnya. Namun, suasana kafe yang semula cerah tiba-tiba berubah suram. Lokasi pun terasa berbeda ketika sebuah tangan berotot kekar merampas uang dari genggaman Elena secara paksa. Pemilik tangan itu adalah Opung, seorang penagih utang yang dikenal kejam. Elena terjebak dalam jeratan utang akibat perbuatan ayahnya. Sang ayah, yang tampak depresi, memilih melarikan diri dari kenyataan dengan menghibur diri melalui perjudian—membuat Elena untuk menanggung akibatnya. 

Lihat selengkapnya