YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #6

ELENA: GALI LUBANG TUTUP LUBANG

“Lukisannya!” Bu Lita merengek saat melihat lukisannya yang tidak sengaja aku kotori dengan cairan jus yang tadi terciprat.

Sepertinya benda yang dibalut kertas berwarna cokelat itu adalah sebuah lukisan, seperti yang dikatakan Bu Lita. Mungkin itu adalah hadiah pernikahan untuk Bu Lita dari orang yang aku tabrak.

“Ma-maaf!” ucapku dengan sedikit ketakutan.

It’s okay!” ujar orang yang aku tabrak dengan suara rendah. Perkataannya membuatku seketika menggerutu dalam hati—justru akulah yang tidak baik-baik saja. 

Kelapangan hatinya pasti tidak sama dengan kemarahan yang Bu Lita perlihatkan dari suaranya yang begitu tidak suka akan kinerjaku sebagai waiter

“Nanti aku buat lukisan baru lagi buat Mama Lita, ya. Lukisan ini aku simpan dulu,” kata orang yang aku tabrak, yang kini suaranya terdengar tidak asing di pendengaranku. 

Hal itu membuatku otomatis mendongakkan kepala yang sedari tadi menunduk dan, aku terkejut sekali lagi saat mengetahui bahwa orang yang aku tabrak adalah Kak Ren. Kak Ren tersenyum kepadaku. Namun, senyumannya itu terlihat seperti senyum evil untukku saat ini. 

“Tapi kamu buat lukisan ini tuh udah capek-capek, Ren!” Bu Lita lalu menoleh ke arahku dengan sorotan mata yang tajam. “Kamu ini, harusnya hati-hati dong kalau jalan! Junet mana Junet! Panggil sini!” Ia berbicara dengan nada meninggi sambil memanggil Pak Junet, yang memberikan pekerjaan kepadaku melalui Kak Gio. 

Tak lama kemudian, Pak Junet datang setelah dipanggil dengan napas yang terengah-engah. Sepertinya, ia langsung berlari setelah salah satu staf memberitahu bahwa Bu Lita memanggil dirinya lewat walkie talkie.

“Kamu ini cari pelayan yang berkualitas dan bener dong!” seru Bu Lita dengan nada tinggi setelah membuka bingkisan lukisan yang dibawa oleh Kak Ren. Jus yang terciprat telah meresap ke dalam kanvas, membuat gambar pada lukisan itu membaur. Lukisan yang kuprediksi sangat indah pun akhirnya rusak dan tak lagi berbentuk jelas.

“Gapapa, Mama. Nanti, Ren buatkan yang baru lagi. Kalau mau request dua juga boleh,” ujar Kak Ren dengan lembut.

“Jeng, sudah tenang aja. Ini nggak sengaja juga, kan? Biar anak saya lukis yang baru aja. Lumayan. jadi dapat dua! Kapan lagi Birendra bilang begini? Biasanya dia selalu sibuk ngurusin yang lain!” ujar Bu Rika sambil tersenyum. Ucapannya mengejutkanku, karena dari situ aku baru bahwa Kak Ren adalah anaknya. 

Aku kembali teringat saat pertama kali Kak Ren  memperkenalkan dirinya dengan nama Birendra. Tidak heran jika nama itu terdengar begitu familiar. Ternyata, nama anak Bu Rika yang sulit kuingat selama ini adalah Birendra. Tanpa berkata apa pun, Bu Rika langsung terlihat terkejut. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu melirik ke sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang mendengar fakta bahwa Kak Ren adalah anaknya.

“Sudah tenang, sayang. Dia sudah minta maaf dan bukan perilaku yang disengaja juga, kan. Lebih baik kita lanjutkan acara, yu? Beberapa tamu belum kita sapa,” kata Pak Wawan mencoba menenangkan dan mengalihkan fokus Bu Lita.

“Okey! Saya maafin kamu ….” ucap Bu Lita, membuat Bu Rika, Kak Ren, Kak Tomi, dan Pak Wawan menghela napas lega. “..., tapi Pak Junet ....” Bu Lita menoleh ke arah Pak Junet, yang membuat Kak Tomi memasang wajah cemas seolah sudah tahu perkataan apa yang akan ibunya lontarkan kepada Pak Junet. “..., potong bayarannya!” 

Aku terdiam sejenak dan mengepalkan tangan erat saat mendengar ucapan itu. Namun, aku buru-buru menarik napas panjang untuk mengendalikan ekspresiku dan memutuskan untuk menerimanya karena tidak bisa berbuat apa pun. Setelah acara selesai, Pak Junet mendekat dengan raut wajah canggung. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memperlihatkan bukti tangkapan layar rekening kepadaku.

“Bayaran untuk pekerjaanmu sudah saya transfer, Elena,” katanya, suaranya hampir seperti berbisik. “Tapi, maaf. Saya harus memangkas setengah bayaran dari yang sudah disepakati sebelumnya. Bu Lita sangat memastikan apa yang dimintanya tercapai, dan saya tidak bisa menolong kamu karena Bu Lita bos kami di event organizer ini.”

Ah, tentu saja. Bagaimana mungkin seorang bawahan melawan atasannya? Aku hanya tersenyum, berusaha mengabaikan kesedihan yang perlahan                 menggerogoti tubuhku. “Nggak perlu minta maaf, Pak. Ini sepenuhnya kesalahan saya,” ucapku dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang kuharapkan.  Sebelum pergi, aku menjabat tangannya erat. “Terima kasih sudah memberi saya kesempatan, Pak,” lanjutku. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung berbalik dan melangkah menjauh.

Langkahku melambat di jalan setapak menuju rumah. Pikiranku dipenuhi oleh berbagai cara untuk menutupi kekurangan uang yang harus kubayar kepada Opung. Bibirku berulang kali menggumamkan rangkaian kalimat yang mungkin bisa meredam amarahnya karena aku hanya bisa mencicil setengah dari jumlah seharusnya. Namun, lamunanku terhenti saat dari kejauhan aku melihat beberapa orang keluar masuk rumahku, melempar barang-barang milikku seperti sampah tak berharga. 

Di depan rumah, Opung berdiri dengan tangan bersedekap di dada, memberikan aba-aba kepada anak buahnya dengan gerakan yang angkuh. Ayah sibuk menyelamatkan barang-barang yang berhubungan dengan milik Ibu, tetapi ia tidak berusaha menghentikan mereka yang terus mengobrak abrik rumah kami. Aku segera berlari mendekat, lalu memohon kepada Opung agar berhenti. Namun, ia sama sekali tidak menggubris permohonanku. Dengan gerakan kasar, ia menyingkirkanku hingga tubuhku terjatuh ke tanah. 

Lihat selengkapnya