YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #13

BIRENDRA: BERCERITA DENGAN ELENA

Tujuh hari kemudian, setelah Elena kembali bekerja, aku langsung mengajaknya bertemu dengan Paman. Aku menggunakan dalih bahwa pamanku ingin bertemu dan makan malam bersamanya. Namun, Elena malah menatapku dengan ragu.

“Kenapa Paman Kak Ren tiba-tiba mau ketemu sama aku? Kita kan nggak kenal. Namanya siapa?” tanya Elena bertubi-tubi.

“Namanya Atman.”

“Tuh, aku nggak punya kenalan yang namanya Atman,” jawab Elena, semakin menatapku dengan ragu.

Aku hanya tersenyum kecil, membayangkan betapa seringnya aku telah menceritakan kehidupan pertama Elena sebagai Adhira kepada Paman selama bertahun-tahun. Aku mengetukkan jari ke pahaku, mencoba mencari alasan lain agar Elena tidak menganggapku orang aneh. 

“Ini gara-gara ibuku. Dia cerita tentang kamu yang mau temenan sama aku. Jadinya, Paman penasaran pengen ketemu sama kamu.” 

Mulut Elena membentuk huruf ‘O’, lalu dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Sebegitu hebohnya, ya, Kak. Ketauan banget temennya cuman dikit. Pasti yang dekat cuman Kak Tomi?” Elena memiringkan kepalanya dengan senyum mengembang, membuatku memegang sisi leher karena salah tingkah.

“Bukannya aku nggak punya banyak teman, tapi aku cuman selektif aja. Lagipula, satu juga cukup,” jawabku dengan nada sedikit serius. 

Elena tertawa menatapku. “Aku cuman bercanda, tapi Kak Ren jawabnya serius. Cuman, aku setuju kalau punya teman itu nggak perlu banyak-banyak. Cukup yang bisa menerima kekurangan dan kelebihan kita aja. Tanpa memandang siapa kita ini. Kayak cari jodoh,” jelasnya.

“Berarti kamu jodohku, dong? Menerima kekurangan dan kelebihanku. Tanpa memandang aku ini anak siapa—” 

Seketika, aku terdiam karena sadar telah terlalu percaya diri. Aku melirik Elena sambil tersenyum memamerkan sederet gigiku. Tanganku memegang sisi meja karena keheningan yang merayap di antara kami.

Tiba-tiba, Elena tertawa, tetapi tawanya terasa dipaksakan. “Hahaha. Jodoh pertemanan kayak Kak Tomi?”

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun kalimat yang tidak terdengar memaksa. “Iya, maksudku itu. Jadi, gimana? Kamu setuju nggak sama undangan makan malam Pamanku?” tanyaku, mencoba mengembalikan topik.

Elena terlihat menimang. “Aku bingung nanti harus bicara apa sama paman Kak Ren.”

“Nggak usah bingung. Pamanku orang yang simple. Terus dia itu suka nanya hal-hal kecil, kayak misalnya kenapa warna favorit kamu biru. Dia selalu bikin obrolan jadi ringan,” kataku mencoba menenangkan Elena.

Setelahnya, ketika Elena dan Paman dipertemukan, Elena—yang sebelumnya mengatakan tidak tahu harus membicarakan topik apa dengan Paman—ternyata sangat menikmati obrolan berbagai topik yang dibawakan oleh Paman. Paman bersandar santai di sofa, matanya berbinar saat mendengar Elena berbicara.

“Saya kagum loh sama kamu. Nekat masuk dunia film, yang nggak ada hubungannya sama materi SMA yang kamu pelajari. Kayak semacam lompat jalur? Hahaha,” kata Paman.

“Dulu, waktu masih SMA, Elena pikir yang penting itu belajar terus, harus jadi yang terbaik dan nomor satu. Sampai akhirnya, pas mau pilih jurusan kuliah, Elena sadar kalau nggak ada satupun mata pelajaran IPA yang benar-benar Elena suka. Materinya sering masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, kalau nggak ada hubungannya sama yang Elena minatin. Nah, akhirnya Elena coba cari tahu apa yang bener-bener Elena sukai, dan ternyata Elena tertarik banget sama pembuatan cerita dalam film. Jadi, Elena mulai belajar dan akhirnya nekat daftar jurusan film. Untungnya, diterima, hahaha.” Elena menjelaskan panjang lebar dengan senyum bangga.

“Itu karena kamu ada kemauan dan mengejar dengan serius apa yang kamu mau. Jadinya, kamu berhasil keterima di jurusan film. Oh iya, Paman dengar-dengar, kamu juga kerja part time?” tanyanya sambil memasukan kacang yang ada di toples ke mulutnya.

Elena mengangguk, membuat Paman bertepuk tangan memberi apresiasi. Aku memperhatikan mereka di dekat pintu ruang tamu. Percakapan itu mengalir seperti keduanya sudah saling kenal bertahun-tahun. Gelak tawa Paman menggema di ruangan, sementara senyum Elena membuatku sangat senang sekaligus iri dengan Paman karena bisa begitu mudah membuat Elena tersenyum dan tertawa.

“Gimana? Asik kan ngobrol sama pamanku?” tanyaku, saat Paman sudah melangkah menjauh ke arah dapur membuat sesuatu untuk Elena. 

Elena mengangguk sambil tersenyum senang. Cahaya lampu ruang tamu yang biasanya tak istimewa, kini tampak luar biasa—menyinari tempat ini sambil memperlihatkan kecantikan dan kelucuan Elena yang membuatku tak bisa berhenti merasa gemas.

“Iya! Asik banget! Oh, dan aku nggak nyangka loh, Pak Atman itu penulis Shadow. Selama ini aku penasaran banget sama novelis Shadow yang identitasnya nggak pernah diungkap ke publik. Aku tuh suka banget sama karya ‘Wanita yang Bereinkarnasi.’ Kalau tahu dari awal, aku pasti bawa novel itu buat ditandatangani!”

Lihat? Cara Elena menjelaskan membuat jantungku berdebar lagi. Aku selalu ingin menikmati setiap detik sorot matanya yang penuh keantusiasan itu. Akan tetapi, aku harus bisa mengendalikan diriku di hadapan Elena. Aku tidak mau membuatnya tidak nyaman atas tindakanku yang ingin memilikinya. 

Lihat selengkapnya