YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #15

BIRENDRA: SEBUAH KEJUTAN PART 2

Sesampainya di rumah sakit, aku dan Tomi duduk di bangku panjang lorong. Suara ambulans dan roda brankar sesekali melintas. Aku mengatupkan kedua tangan di pangkuan, menatap cemas pintu kamar rawat yang tertutup rapat. 

Langkah tergesa terdengar dari ujung lorong. Elena muncul dengan wajah pucat. Ia setengah berlari ke arahku, membuatku otomatis berdiri. Di belakangnya, Gio berjalan cepat dengan menatap tajam ke arahku. 

“El ….” ucapku pelan sambil menyambutnya.

Elena menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan dingin dari tangannya yang berkeringat. “Gimana keadaan ayahku, Kak?” tanyanya dengan nada gemetar.

Gio berhenti beberapa langkah dari kami, menyilangkan tangan di dada. Matanya menyipit, mengamati tanpa bicara. Namun, aku tidak mempedulikan kehadirannya. “Pak Gani lagi diperiksa dokter dulu….”

Tepat saat aku selesai menjawab, pintu kamar terbuka. Derit engsel membuat kami semua refleks menoleh ke arah sumber suara. Seorang dokter keluar dengan langkah tenang. Ia menatap kami satu per satu. 

“Siapa di antara kalian walinya?”

“Saya, Dok. Bagaimana kondisi ayah saya?” tanya Elena dengan suara gemetar.

“Kondisi yang sedang dialami pasien seringkali disebut sinkop vasovagal, yang bisa dipicu stres dan kecemasan. Saya akan merekomendasikan beberapa tindakan yang bisa membantu. Pertama-tama, pastikan dia cukup banyak minum air untuk menghindari dehidrasi. Selain itu, sangat penting baginya untuk mencari waktu istirahat,” kata dokter menjelaskan kepada Elena yang tentunya terdengar oleh kami.

“Apa beliau perlu minum obat atau melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Dok?” tanya Elena memastikan.

“Saat ini, kita akan fokus pada manajemen stres dan istirahat. Saya akan memberikan saran tentang teknik relaksasi yang bisa membantu, dan jika pingsannya berlanjut, kita mungkin perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sekarang, yang paling penting adalah memastikan beliau mendapatkan waktu istirahat yang cukup dan mengurangi stres.”


“Terima kasih Dok, tolong bantu ayah saya!” Elena membungkukan badannya sedikit sebagai tanda terima kasih.

“Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Berapapun biayanya jika memerlukan tindakan lanjut, saya akan menanggungnya. Beliau ini orang yang sangat penting juga untuk saya,” kataku dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran.

Elena, Tomi, dan Gio menatapku dengan wajah tercengang. Sementara itu, dokter yang mendengarkan permintaanku hanya tersenyum bijak dan mengangguk. Dengan suara tenang, ia memberikan kata-kata penyemangat kepada Elena sebelum berpamitan untuk melanjutkan pemeriksaan pasien lainnya.

Setelah itu, entah karena merasa tersaingi atau memang ingin membantu—karena sebelumnya aku berinisiatif menanggung semua biaya perawatan Pak Gani—Gio mengatakan akan mencari makan, sambil menatapku sinis. Tomi pun ikut berdiri dan berbisik akan mengikuti Gio karena tidak ingin jadi nyamuk di antara kami berdua dengan menyusul di belakangnya.

Sementara itu, Elena melangkah masuk ke kamar rawat, diikuti olehku beberapa saat kemudian. Di dalam, keheningan menggantung; hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak nyaring. Aku berdiri canggung di sudut ruangan, menatap Elena yang duduk tenang di sisi tempat tidur. Tangan kecilnya mengusap peluh di dahi Pak Gani dengan sapu tangan bersih. Gerakannya pelan dan hati-hati, seolah takut melukai. Aku melangkah mendekat, perlahan-lahan, seperti seseorang yang baru menyadari bahwa dirinya asing di tengah kedukaan orang lain.

Namun, tepat saat aku berada di sisi kanan, berhadapan dengan Elena, tiba-tiba Pak Gani—yang baru saja bangun dalam keadaan setengah sadar—bergerak cepat menarik kerah jaketku. Matanya yang terbuka lebar memancarkan kemarahan membara, seperti api yang tak bisa dipadamkan.

“Di mana istri saya?” tanyanya dengan suara serak penuh emosi.

Elena membelalakan mata melihat reaksi ayahnya dan berusaha menenangkan. “Ayah, tolong tenang. Kak Ren bukan orang jahat. Kak Ren itu orang yang nolongin Ayah,” kata Elena dengan suara lembut.

Aku tetap diam, membiarkan Elena berbicara. Perlahan, cengkeraman Pak Gani mulai melonggar, meski matanya masih memancarkan kecurigaan yang mendalam. Elena terus berbicara dengan lembut. Aku mendengarnya menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada ayahnya, berusaha meyakinkannya bahwa aku di sini untuk membantu, bukan menyakiti.

Perlahan, kemarahan di mata Pak Gani mulai mereda. Ia melepaskan kerah bajuku, lalu berbaring kembali di tempat tidurnya dengan tatapan mata yang kosong. Aku melangkah mundur, memberi ruang bagi Elena untuk merawat ayahnya dengan lebih tenang.

Ketika keadaan kembali tenang, aku berjalan keluar menuju koridor rumah sakit, mencoba menenangkan diri. Tak lama kemudian, Elena mendekat ke arahku, matanya penuh rasa bersalah.

“Maafkan sikap Ayah tadi ya, Kak,” kata Elena pelan.

It’s okay, Elena. Nggak usah dipikirin. Oh iya, nanti makan yang banyak ya biar energinya keisi lagi dan kuat jalani hari-harinya,” kataku kepada Elena dengan lembut seperti berbicara kepada anak kecil. Saat ini dimataku Elena memang seperti anak kecil yang minta dilindungi dari beban yang seharusnya tidak ia tanggung sebanyak ini sendirian. 

Lihat selengkapnya