YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #14

BIRENDRA: SEBUAH KEJUTAN PART 2

Sesampainya di rumah sakit, aku dan Tomi menunggu dokter memeriksa Pak Gani di luar kamar rawatnya dengan cemas. Aku duduk dengan gelisah menatap ke arah pintu kamar rawat ayah Elena berada. Sepuluh menit kemudian, Elena yang berhasil dihubungi saat diperjalanan menuju rumah sakit, akhirnya sampai dengan sedikit berlari ke arahku diikuti Gio dibelakangnya. Aku mencoba menenangkannya dengan menggenggam tangannya, tidak memperdulikan tatapan dingin Gio yang kini sedang menatap aku dan Elena. Setelah itu, ketika pintu kamar terbuka, kami berempat langsung berdiri melihat ke arah dokter yang langsung tersenyum sopan. 

“Siapa di antara kalian walinya?” tanya Dokter melihat ke arah kami.

“S-saya, Dok. Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Elena dengan khawatir.

“Kondisi yang sedang dialami pasien seringkali disebut sinkop vasovagal, yang bisa dipicu stress dan kecemasan. Saya akan merekomendasikan beberapa tindakan yang bisa membantu. Pertama-tama, pastikan dia cukup banyak minum air untuk menghindari dehidrasi. Selain itu, sangat penting baginya untuk mencari waktu istirahat,” kata dokter menjelaskan kepada Elena yang tentunya terdengar oleh kami.

“Apa beliau perlu minum obat atau melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Dok?” tanya Elena memastikan.

“Saat ini, kita akan fokus pada manajemen stres dan istirahat. Saya akan memberikan saran tentang teknik relaksasi yang bisa membantu, dan jika pingsannya berlanjut, kita mungkin perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sekarang, yang paling penting adalah memastikan beliau mendapatkan waktu istirahat yang cukup dan mengurangi stres.”

“Terima kasih Dok, tolong bantu ayah saya!” Elena membungkukan badannya sedikit sebagai tanda terima kasih. 

"Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Berapapun biayanya jika memerlukan tindakan lanjut, saya akan menanggungnya. Beliau ini orang yang sangat penting juga untuk saya," kataku dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran.

Elena, Tomi, dan Gio menatapku dengan wajah tercengang. Ketiga orang di dekatku tampak terkejut mendengar apa yang baru saja kukatakan, sementara dokter yang mendengarkan permintaanku hanya tersenyum bijaksana dan mengangguk, lalu dengan suara tenang, Dokter memberikan kata-kata penyemangat kepada Elena sebelum berpamitan untuk melanjutkan pemeriksaan pasien lainnya.

Setelah itu, Gio berinisiatif untuk membeli makan malam, menyadari bahwa Elena belum makan lagi sejak seharian bermain dengannya. Melihat itu, Tomi memutuskan untuk ikut membantu dan mengikuti Gio keluar untuk membeli makanan. Ketika hanya tinggal aku dan Elena di kamar rawat inap, keheningan yang tegang segera memenuhi ruangan. Rasanya setiap detik berlalu dengan lambat. Aku yang sedari tadi merasa tak banyak membantu, mendekat ke arah Elena yang sedang melap keringat di dahi ayahnya dengan penuh perhatian. 

Namun tiba-tiba, Pak Gani yang baru saja bangun setengah sadar dari tidurnya, bergerak cepat menarik kerah bajuku. Matanya yang terbuka lebar memancarkan kemarahan yang membara, seperti api yang tak bisa dipadamkan.

"Di mana istri saya?" tanyanya dengan suara serak penuh emosi.

Elena yang terkejut melihat reaksi ayahnya mencoba menenangkan. "Ayah, tolong tenang. Kak Ren bukan orang jahat. Kak Ren itu orang yang menolong Ayah," kata Elena dengan suara lembut, berusaha meredakan kemarahan yang meluap-luap.

Aku tetap diam, membiarkan Elena berbicara. Perlahan, cengkeraman Pak Gani mulai melonggar. Namun, matanya masih memancarkan kecurigaan yang mendalam. Elena terus berbicara dengan lembut, menjelaskan situasi sebenarnya dan memastikan ayahnya bahwa kehadiranku untuk membantu, bukan menyakiti.

Perlahan, kemarahan di mata Pak Gani mulai mereda dan melepaskan kerah bajuku, lalu berbaring kembali di tempat tidurnya dengan tatapan mata yang kosong. Aku melangkah mundur, memberi ruang bagi Elena untuk merawat ayahnya dengan lebih tenang.

Ketika keadaan sudah kembali tenang, aku berjalan keluar menuju koridor rumah sakit, mencoba menenangkan diri. Tak lama kemudian, Elena mendekat ke arahku, matanya penuh rasa bersalah.

“Maafkan sikap Ayah tadi ya, Kak,” kata Elena pelan.

It’s okay, Elena. Gak usah dipikirin. Oh iya, nanti makan yang banyak ya biar energinya keisi lagi dan kuat jalani hari-harinya,” kataku kepada Elena dengan lembut seperti berbicara kepada anak kecil. Saat ini dimataku Elena memang seperti anak kecil yang minta dilindungi dari beban yang seharusnya tidak ia tanggung sebanyak ini pada usianya sekarang. 

“Makasih atas bantuan Kak Ren, aku benar-benar takut dengar Ayah di bawa ke rumah sakit waktu dihubungi, ponselku tadi mode silent dan aku gak bisa gak mikirin, aku gak tahu kenapa tadi Ayah ….” tangis Elena pecah yang membuatku mendekat ke arahnya dan memeluk Elena.

Cahaya redup lampu koridor memancarkan kehangatan dan membuat kecemasan yang sedari tadi kurasakan hilang sudah saat aku memeluk Elena. Pelukan Elena seperti memberikan obat penenang kepadaku.

Lihat selengkapnya