Siang ini, Kak Ren tidak memulai percakapan denganku dan hanya berbicara jika membutuhkan sesuatu. Saat pertemuan selanjutnya dengan Kak Irene untuk membahas perekrutannya sebagai pemeran utama dalam film terbaru yang akan diproduksi oleh studio milik Kak Ren, aku duduk diam, mataku melayang antara keduanya. Mereka tertawa dan bercanda, seolah aku tak ada di sana. Rasanya, ada sesuatu yang mencubit di dada, membuatku enggan ikut serta dalam obrolan yang terasa begitu akrab itu.
“Wah, aku nggak nyangka, loh. Ternyata, CEO-nya langsung datang temui aku.” Kak Irene tertawa ringan, dan aku melihat lesung pipinya yang tampak jelas ketika ia tersenyum. Hal itu membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya. Saat itu juga aku sadar, bahwa Kak Irene benar-benar memiliki pesona yang berharga daripada aku. “Jujur, aku nggak bohong waktu bilang jadwalku lagi padat-padatnya waktu kamu nawarin proyek film itu.” Kak Irene menerbitkan senyumannya lagi.
Aku menggerutu dalam hati, ‘kenapa senyumnya harus secerah itu?’ Mataku tak bisa lepas dari mereka. Kak Ren juga terlihat berbeda hari ini. Rambutnya yang biasanya dibiarkan begitu saja, kini tersisir dengan rapi. Kemeja yang sering dipakai menjadi kesehariannya, kini berganti menjadi jas, dan parfum samar yang ia kenakan terasa asing, tetapi cukup mengganggu pikiranku. Apa Kak Irene juga menyukainya?
Aku menggigit ujung sedotan jusku. Mungkin aku hanya lelah. Ya, ini pasti efek kurang istirahat setelah semalaman menjaga Ayah. Namun, kenapa jantungku berdegup setiap kali Kak Ren tertawa kecil menanggapi Kak Irene? Aku jadi ingin bertanya kepadanya, Kak Ren, kenapa kemarin memelukku?
“Itu karena aku butuh kamu, Irene,” jawab Kak Ren.
Kalimat itu menusuk seperti jarum halus. Sejenak, aku pikir Kak Ren benar-benar menjawab pertanyaanku.
Aku menyaksikan tingkahnya lagi ketika Kak Ren bersandar di kursinya, tersenyum tipis ke arah Kak Irene. Meski ada luka di sudut bibirnya, tetapi itu tidak menghilangkan senyum manisnya. “Tapi kalau jadwalmu padat, kok masih sempat-sempatnya ketemu sama aku?”
“Yaudah, aku pergi aja nih?” Kak Irene mengangkat alis sambil terkekeh, nada suaranya menggoda, membuatku sedikit risih.
“Jangan dong!” Kak Ren mencondongkan tubuh, tatapannya serius. “Tolong pertimbangin sekali lagi, ya? Please? Karena menurut aku kamu tuh cocok banget sama karakter utama di film ini.”
“Dari mana kamu tahu aku cocok? Video casting aja nggak pernah aku kirimin.” Kak Irene menyendok cheesecake yang baru tiba, senyumnya masih tersisa di sudut bibir.
“Waktu aku nonton film kamu dan aku nangis waktu kamu meranin adegan di salah satu scene tragis dalam kehidupan tokoh yang kamu mainkan, di situ aku ngerasa yakin kalau kamu memang aktris yang berbakat!” puji Kak Ren, yang entah mengapa membuatku tidak suka mendengarnya. Aku yang ada di antara keduanya seperti nyamuk dan terasa seperti pajangan yang dilihat sekilas karena tidak menarik.
“Wow, nggak nyangka juga kamu bakal nonton filmku hahaha. Kirain bakal ngomong karena followers-ku banyak dan jadi pertimbangan marketing pemasaran. Aku kira akting bukan nomor satu untuk kamu,” jawab Kak Irene dengan santai.
“Enggaklah, akting nomor satu untukku dan followers medsos tuh bisa dibeli. Jadi, nggak menjamin juga. Lagian, kamu kan memang sudah banyak main film dan terbukti dari berbagai macam film yang kamu mainkan itu selalu disukai oleh masyarakat,” ucap Kak Ren sambil menatap Kak Irene dengan sorot mata yang tidak bisa aku artikan.
“Kamu percaya nggak El sama ucapan bosmu ini?” tanya Kak Irene tiba-tiba kepadaku yang akhirnya menyadari keberadaanku.
“Percaya, Kak,” jawabku singkat karena sebenarnya aku belum pernah menonton film yang dimainkan Kak Irene.
“Okey deh karena Elena bilang dia percaya sama omongan kamu, aku bakal lihat naskahnya dulu, tapi sebelum itu ada satu syarat,” kata Kak Irene yang membuatku ikut melirik ke arahnya.
“Apa itu?” tanya Kak Ren.
“Aku minta satu tiket VIP pemutaran film perdana ibumu besok dong! Nggak kebagian. Padahal, aku udah minta ke manajerku untuk cepat dapetin, tapi dia kecolongan dengan alasan mengatur jadwalku,” ucap Kak Irene sedikit memelas kepada Kak Ren.
Aku bisa melihat Kak Ren menghela napas, lalu menatapku. Tatapan itu membuatku langsung berpaling ke segala arah karena aku tidak ingin kehilangan tiket VIP yang telah diberikan Kak Ren sebagai hadiah.
Maafkan aku, Kak Ren. Tadi aku bisa saja membantumu dengan berbohong bahwa kualitas akting Kak Irene keren, padahal aku belum menonton filmnya. Namun, untuk tiket VIP ini, aku tidak rela memberikannya.
“Akan aku usahakan!” ucap Kak Ren dengan tersenyum ke Kak Irene yang membuat perasaanku kembali lega.
Setelah pertemuan itu usai, Kak Ren langsung tenggelam dalam pekerjaannya. Dari meja asisten yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya duduk, aku sesekali mencuri pandang ke arahnya—entah kenapa, mataku selalu tertarik untuk memperhatikannya.
Tanpa sengaja, aku mendengar suaranya berbicara melalui ponsel. Ia sedang menghubungi Bu Rika, menanyakan tentang tiket VIP untuk pemutaran film perdana. Nada suaranya terdengar cemas, lalu berubah menjadi sedikit memohon. Namun sepertinya, harapannya pupus.