Aku merasa beruntung karena jadi membawa Paman. Kehadiran Paman ternyata benar-benar membuat amarah Pak Gani luluh dan menyambutku dengan baik. Paman juga memberikan undangan untuk Elena dan ayahnya datang ke pameran barang antiknya bulan depan. Paman dengan mudahnya berbincang dengan Pak Gani dengan santai dan terlihat asik di halaman rumah saat aku melihatnya dari ruang tamu. Bahkan Paman tak segan memijat pundak dan kepala Pak Gani yang terlihat menikmati pijatan Paman.
“Baru kali ini aku lihat Ayah ngobrol seasik dan sesantai itu setelah sekian lama,” ujar Elena, matanya berkaca-kaca sambil membawa sebuah album foto.
“Aku juga senang. Ternyata bawa Paman ke sini ada manfaatnya. Lihat deh gayanya, mijit Ayah kamu sambil merem segala. Emang aneh banget Paman aku tuh,” kataku sambil terkekeh kecil, menerima album foto dari tangan Elena.
“Mungkin dia lagi menghayati profesi baru sebagai tukang pijat, Kak. Hahaha.”
Kami pun tertawa bersama, tetapi tak lama kemudian fokus kami beralih ke album foto yang dibawa Elena. Saat kubuka, hampir semua fotonya menampilkan Ibu Elena, Bu Ambar. Kata Elena, album ini memang dedikasi Ayah untuk Bu Ambar. Itu bukti bahwa Pak Gani memang mencintai istrinya. Aku pun membuka satu persatu foto-foto itu, lalu mengambil sebuah foto potret Bu Ambar muda yang menggunakan baju berwarna merah dengan bandana berwarna hitam yang diikat di pergelangan tangannya. Potret itu kira-kira diambil dari jauh tanpa sepengetahuan Bu Ambar.
Saat aku menatap mata Bu Ambar pada foto itu, aku melihat kilasan ingatan Bu Ambar yang terlihat begitu gugup dan ketakutan, tatapannya pun penuh dengan kecemasan. Wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah karena kepanikan yang melanda. Jalannya semakin cepat sambil melihat ke segala arah seperti meminta pertolongan. Pak Gani yang menangkap kejadian itu setelah tak sengaja memotret ke arah Bu Ambar dari kejauhan, langsung segera berlari ketika melihat dua pria besar mengikutinya. Pak Gani hadir tepat waktu di sebuah jalan yang buntu saat Bu Ambar terpojok ketika para pria itu tertawa karena mengira sudah berhasil meringkus Bu Ambar. Suasana semakin tegang dengan cahaya jalan yang redup.
“Hei! Jangan ganggu dia! Lawan aku kalau berani!” ucap Pak Gani yang tidak bisa aku dengar dengan jelas, tetapi aku tahu dari membaca gerak bibirnya.
Pertarungan pun tak terhindarkan. Kedua pria itu menyerang Pak Gani bertubi-tubi, membuatnya terhuyung dan hampir tak berdaya. Namun, saat situasi tampak semakin buruk, suara sirene polisi yang nyaring menggema di kejauhan memaksa kedua pria itu melarikan diri. Pak Gani tersungkur ke tanah, wajahnya penuh luka, tetapi ia masih sempat tersenyum kecil ketika Bu Ambar menghampirinya dengan air mata yang mengalir deras.
“Saya bersyukur kamu selamat,” ucap Pak Gani, dengan suara parau menahan sakit, tetapi matanya tetap memancarkan ketenangan.
Keduanya saling bertatapan, dan meskipun baru pertama kali bertemu, ada percikan rasa yang tidak bisa disembunyikan. Aku menduga bahwa inilah awal mula kedua orang tua Elena jatuh cinta pada pandangan pertama. Menyadari itu, aku tersenyum kecil saat menyelesaikan ingatan pada foto itu.
“Kenapa, Kak? Ada yang lucu?” tanya Elena penasaran karena melihat senyumanku.
“Bukan lucu, tapi menarik,” jawabku sambil menunjukkan foto itu. “Aku rasa ini adalah momen pertama kali ayah dan ibumu bertemu. Ayahmu dengan gentle-nya nolong Ibumu di saat bahaya. Dari sini aku paham kenapa mereka bisa saling jatuh cinta.” Elena menatapku dengan tatapan penuh minat, tetapi aku melanjutkan dengan nada lebih serius. “Jujur, aku ingin seperti ayahmu—melindungi orang yang disayanginya. Seperti aku yang ingin melindungi kamu.”
Wajah Elena memerah. Dia terkejut, tetapi berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. “Hahaha, Kakak, apaan sih! Mending kita lanjut lihat foto ibu aja, deh, daripada ngomong kayak gitu!” ujarnya tergagap sambil meraih foto lainnya dan menyerahkannya padaku.
Aku tertawa kecil, sedikit malu hingga mengusap sisi leherku, lalu mengambil foto itu. “Iya, iya, lanjut, deh.”
Foto yang sekarang aku pegang memperlihatkan Bu Ambar berpakaian baju pasien dan sedang menggendong seorang bayi. Bisa kulihat Pak Gani yang mengabadikan momen ini. Keduanya sama-sama mengurai air mata akan kehadiran Elena dan kemudian saling berganti mengecup Elena dengan penuh kasih.
Selanjutnya, potret saat Bu Ambar mengenakan baju berwarna navy dan berpotret di sebuah sekolah. Aku bisa melihat ia sedang menunggu Elena kecil pulang dari sekolahnya dan pada foto berikutnya, aku bisa melihat Bu Ambar tersenyum bahagia menikmati tumbuh kembang Elena. Ada kalanya saat aku menelusuri foto lainnya, Bu Ambar tampak sangat sedih, lalu ketika Elena datang, ia kembali tersenyum. Kala itu, Bu Ambar mengucapkan sesuatu kepada Elena dan membuatku berusaha menebaknya dengan membaca gerak bibirnya.
“Maafin, Ibu. Kali ini Ibu akan benar-benar fokus kepada kalian,” ucap Bu Ambar sambil memeluk erat Elena.
“Kalau Ibu ditangkap Pak Polisi lagi, Elena yang akan melindungi Ibu,” balas Elena kecil polos, memeluk ibunya erat sambil mengemut sebatang permen.