YOUR EYES

Novi Assyadiyah
Chapter #8

BIRENDRA: AMARAH DARI SEBUAH KILASAN

Seperti pengalaman menonton dalam gelap di bioskop, adegan penuh kesakitan itu terpampang jelas di hadapanku. Kesalahan kecil yang tak disengaja telah membentuk kemarahan membara, tetapi aku hanya bisa menjadi penonton pasif dalam drama pahit yang membelit Adhira.

Pria penyiksa itu berdiri di tengah kejadian, tubuhnya samar dalam bayangan. Aku hanya bisa melihat punggungnya, sepotong identitas misterius yang tak kunjung terungkap.

Di bawah cahaya yang redup, Adhira tersungkur, tubuhnya bergetar dalam bayang-bayang siksaan. Tangannya terulur, mencengkeram kaki pria itu—upaya terakhir dalam permohonan maaf yang diabaikan. Suara tangisnya menggema, memenuhi ruang hampa yang membatasi gerakku.

“Ampun! Maafkan aku!” serunya dengan air mata yang berlinang.

Namun, pria itu hanya tertawa, suara dinginnya terdengar seperti menikmati penderitaan Adhira.

“Ini akibatnya karena kamu telah mempermalukanku di depan banyak orang!” bentak pria itu dengan amarah meluap. Tanpa ragu, ia menyiram tubuh Adhira dengan seember air.

Adhira tersentak. “Aku tidak bermaksud begitu, maafkan aku!” suaranya bergetar. Tubuhnya menggigil, air mata mengalir deras di wajahnya.

Aku tidak tahan lagi. Napasku memburu, amarah mendidih di dadaku. Aku melangkah maju, hendak menghentikan tangan pria itu yang terangkat, siap melayangkan tamparan ke pipi Adhira. Namun, sebelum aku sempat menyentuhnya, semuanya mengabur. 

Sekejap kemudian, aku tidak lagi berada di tempat itu. Sekarang, aku berdiri di depan sebuah gubuk. Bau tanah dan kayu memenuhi udara. Beberapa warga desa berkumpul, menatap sosokku—bukan sebagai diriku sendiri, melainkan sebagai Sagara.

Aku—Sagara—tersenyum, lalu mengalihkan pandanganku ke arah Adhira yang berdiri di tengah kerumunan warga desa, tersenyum ramah sambil membagikan nasi dan lauk pauk kepada mereka. Aku melangkah perlahan mendekatinya.

Kenapa kamu repot-repot membagikan makanan kepada kami, rakyat kecil? Bukankah itu tugas Raja? Tapi dia bahkan tak peduli kami kelaparan,” tanyaku dengan nada penuh keheranan.

Adhira menatapku dengan tersenyum. “Seseorang menyarankanku untuk datang ke sini dan membantu sesama agar hatiku tenang. Tapi lebih dari itu, aku memang ingin berbagi. Aku punya lebih dari cukup, jadi tak ada salahnya membantu mereka yang membutuhkan,” katanya.

Senyumnya membuat dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang berdesir dalam ingatanku—perasaan asing, tetapi sekaligus familiar. Jantungku berdebar. Atau…, jantung Sagara? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku merasakan apa yang dulu ia rasakan. Sagara menyukai Adhira. Meskipun ia tak pernah mengakuinya, aku bisa merasakannya sekarang. 

Namun, di balik perasaan itu, ada kehati-hatian. Kecurigaan. Sagara selalu waspada. Aku bisa merasakan kekhawatirannya—ketakutan bahwa Adhira bukan sekadar gadis baik hati, melainkan utusan Raja yang dikirim untuk membantai warga desa—mereka yang dikenal selalu menentang kebijakan Raja yang kejam dan tidak manusiawi.

“Hanya itu?” tanyaku, suaraku nyaris berbisik.

“Iya, hanya itu,” ucap Adhira. Tatapannya menerawang arah sebuah pohon yang berdiri tak jauh darinya.

Aku menghela napas. “Baguslah, aku kira kamu…”

“Oh, ada alasan lain.”

Aku menoleh, alisku terangkat. “Alasan lain? Apa itu?”

Adhira tersenyum samar. “Aku merasa hidup, meski kehidupanku menekan diriku sendiri,” katanya pelan.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, mencoba memahami maksud dari perkataannya. Namun, aku mengerti. Kehidupannya memang berat. Andaikan aku bisa membantunya kala itu, aku pasti akan membawanya kabur sejauh mungkin—menjauhkan penderitaan yang terus mengekangnya. 

Sejak percakapan itu, aku dan Adhira semakin dekat. Keraguanku bahwa ia adalah utusan Raja telah sepenuhnya hilang.

Suatu sore, aku mengajaknya berkeliling hutan yang dipenuhi pepohonan menjulang. Saat tiba di tepi danau tersembunyi di tengah hutan, Adhira menghentikan langkahnya. Air danau yang jernih memantulkan sinar matahari sore yang menembus celah dedaunan, sementara air terjun di kejauhan mengalir deras, menciptakan suara gemericik yang menenangkan.

“Indah sekali!” gumamnya dengan mata berbinar dan senyum yang merekah.

Melihatnya seperti ini membuat dadaku terasa hangat. Aku ingin lebih sering melihatnya bahagia.

“Mencari udara segar di sini memang menyenangkan. Tapi kamu harus hati-hati, ada banyak pemburu berkeliaran,” ujarku sambil tersenyum, lalu memetik bunga kecil yang tumbuh di dekat danau. Warnanya cerah, sederhana, tetapi menarik perhatianku. Dengan hati-hati, aku menyelipkan bunga itu di telinganya.

Tatapanku melembut saat menatap Adhira. Perlahan, aku mengusap rambut panjangnya. Ia berusaha menahan senyum, tetapi pipinya yang merona mengkhianati perasaannya.

Tanpa berkata apa-apa, Adhira mengeluarkan sebuah gelang anyaman dari sakunya. Ia meraih tanganku dan menyematkan gelang itu di pergelangan tanganku. Senyumnya merekah saat melihat gelang itu pas melingkar di sana.

“Aku tidak takut dengan para pemburu kalau ada kamu,” katanya pelan. “Jadi, pastikan kamu selalu menemaniku setiap kali aku ingin menghirup udara segar di sini. Saat bersamamu, aku merasa lebih aman.”

Kata-kata Adhira membuat jantungku—jantung Sagara—berdebar. Hangat menjalar di dadaku, dan wajahku ikut memerah. Aku menyadari perasaan yang perlahan tumbuh di antara kami.

Sementara itu, Adhira terus memandangi gelang di pergelangan tanganku dengan senyum mengembang. Tatapan panjang itu membuatku mengambil inisiatif. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Adhira tersentak sedikit, lalu menatap genggaman tangan kami. Namun, ia tidak menrik tangannya.

Malam berikutnya, aku sedang menghabiskan waktu bersama adik dan kedua orang tuaku di gubuk kecil kami, ketika suara aneh dari luar memecah kehangatan. Aku segera bangkit dan membuka pintu.

Adhira tergeletak di depan sana. Tubuhnya penuh luka memar.

“Adhira!” seruku, nadaku campuran antara terkejut dan takut. Aku segera berlutut, memeriksa denyut nadinya yang lemah. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam. Kedua orang tuaku dan adikku buru-buru membersihkan tempat tidur agar aku bisa mengobatinya dengan tenang.

Di bawah cahaya lampu minyak, memar-memar di tubuh Adhira terlihat lebih jelas. Garis-garis merah kebiruan di lengannya tampak seperti bekas cambukan. Rahangku mengeras. Jemariku meremas mangkuk kecil berisi obat herbal yang kutumbuk dari tanaman obat.

“Siapa yang melakukan ini padamu, Adhira?” tanyaku, suaraku lebih dalam daripada yang kuingat.

Lihat selengkapnya