Selama perjalanan menuju rumahnya, Elena terus menangis hingga akhirnya tertidur pulas di dalam mobilku. Wajahnya yang basah oleh air mata menunjukkan betapa terpukulnya ia setelah mendengar kebenaran bahwa Gio adalah pelaku sebenarnya dari kecelakaan mobil dua tahun lalu yang hampir merenggut nyawanya. Kesedihan itu telah menguras tenaganya, membuatku tidak tega untuk membangunkannya saat kami tiba di kediamannya.
Aku memutuskan untuk tetap duduk di kursi pengemudi. Pandanganku beralih padanya yang tertidur di sampingku. Perlahan, aku membalikkan tubuh agar kami saling berhadapan. Dengan hati-hati, kusapu air mata yang masih membasahi pipinya. Meski dalam keadaan seperti ini, keindahan wajahnya tetap tak pudar, memancarkan pesona yang membuatku terdiam. Sebuah senyuman kecil muncul tanpa kusadari.
“Maaf, Elena,” gumamku pelan, hampir seperti bisikan. “Aku nggak pernah bermaksud buat kamu nangis. Padahal, aku udah janji akan selalu bikin kamu bahagia.”
Aku menatap wajahnya yang tenang dalam tidur, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
“Setidaknya, aku lega,” lanjutku, suaraku lirih. “Akhirnya kamu tahu siapa Gio sebenarnya…, dan kenapa aku minta kamu menjauh darinya selama ini.”
Tanganku kembali menyeka pipinya, kali ini dengan gerakan lebih lembut. “Aku janji, Elena. Aku akan menebus semuanya. Termasuk kesalahanku karena nggak bisa nemenin kamu nonton waktu ulang tahunmu hari itu.”
Pikiranku melayang ke hari-hari penuh perjuangan yang kulalui demi mengungkap kebenaran ini. Saat itu, aku harus membuat keputusan sulit dan merelakan tiket VIP-ku untuk Irene agar bisa menemani Elena menonton film ibuku pada hari spesialnya, hanya demi bertemu seorang mantan polisi yang menyimpan kunci rahasia dari kasus kecelakaan itu. Informasi dari detektif swasta yang kusewa memberitahuku bahwa pria itu akan segera pergi berlibur ke luar negeri selama beberapa minggu.
Aku tidak punya pilihan lain. Waktu begitu sempit, dan aku tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan Elena dari Gio—terutama setelah mengetahui siapa Gio sebenarnya. Fakta bahwa Gio adalah reinkarnasi Raja yang telah menghancurkan keluarga Sagara, Sagara, dan Adhira membuatku tidak bisa tinggal diam.
Mantan polisi yang sudah pensiun itu bernama Pak Yoyo. Pak Yoyo kini menghabiskan waktu bersama keluarganya di kediamannya di Kota Bekasi. Ia berhasil bersembunyi dan meminta rekan-rekannya untuk tidak memberikan alamat rumahnya jika ada orang asing atau seseorang yang mengaku mengenalnya, dengan alasan bahwa orang tersebut adalah keluarga dari para pelaku yang berhasil Pak Yoyo tangkap dan ingin membalaskan dendam atas penangkapan yang dilakukan Pak Yoyo sewaktu menjadi polisi. Namun, mau bagaimana pun ia bersembunyi dan meminta rekan-rekannya untuk tidak mengungkapkannya, pasti suatu saat akan terungkap juga. Seperti saat detektif swasta yang aku sewa menyamar menjadi konglomerat dan menyogok salah satu rekannya dengan uang milikku.
“Saya tidak menerima suap seperti apa yang kamu tuduhkan!” ucap Pak Yoyo di kediamannya, yang ternyata tidak jadi ikut pemberangkatan hari ini ke luar negeri dengan keluarganya.
Aku menduga ia membatalkan dan menjadwal ulang penerbangannya setelah dihubungi oleh Gio, yang sebelumnya aku lihat datang ke kediaman Pak Yoyo dan memberinya sejumlah uang. Aku mengetahuinya karena tepat saat aku tiba di rumah Pak Yoyo, Gio sedang berdiri di depan rumah untuk berpamitan sambil memberikan segepok uang tanpa berusaha menyembunyikannya. Suasana saat itu memang sedang sepi. Melihat usahanya itu, sepertinya Gio sudah tahu apa yang aku lakukan dan berusaha menutup kesalahannya sebelum aku menemui orang-orang yang dulu pernah ia suap.
“Kalau Bapak terus-menerus tidak mau mengakuinya, saya akan mengungkap beberapa bukti kasus suap yang pernah Bapak terima. Bapak tahu, kan, seberapa berpengaruhnya keluarga saya dalam menarik perhatian publik?” ucapku sambil menatap layar ponsel, pura-pura menggulirkan jari di atasnya.
Aku melanjutkan dengan nada penuh tekanan, “Bukti transaksi saat Bapak menerima suap dari salah satu bandar narkoba untuk menghentikan razia, bukti transaksi saat Bapak menerima suap dari pelaku pencurian, bukti suap dari politikus yang terjerat kasus narkoba, dan masih banyak lagi. Bapak pikir saya tidak memiliki semuanya?” Aku menatap wajah Pak Yoyo, dan menyunggingkan senyum tipis yang penuh makna.
Pak Yoyo tetap tenang, meski terlihat jelas ia mulai gelisah. Dengan suara yang dibuat seolah tegas, ia menjawab, “Pak Ren sedang menceritakan cerita fiktif, ya? Kalau Pak Ren terus menuduh saya seperti ini, saya tidak segan melaporkan Anda atas tuduhan palsu dan pencemaran nama baik. Silakan saja sebarkan ke publik, saya tidak takut karena saya tidak bersalah.”
Aku mendengus kecil, kemudian berkata dengan nada dingin, “Tentu saja Bapak mengelak. Kalau koruptor mau mengaku begitu saja, penjara kelas satu di negeri ini pasti sudah penuh. Tapi, apa Bapak tidak peduli kalau berita ini tersebar dan keluarga Bapak yang selama ini menghormati Bapak tahu siapa Anda sebenarnya?”
Keyakinan itu datang bukan tanpa alasan. Informasi dari detektif swasta menguatkan dugaanku bahwa Pak Yoyo telah menerima berbagai suap. Meski mereka gagal menemukan bukti konkret karena Pak Yoyo menyembunyikannya dengan sangat rapi, aku punya cara lain. Ketika bertemu Pak Yoyo tadi, aku membaca kilasan ingatannya. Detektif itu benar—semua tuduhan suap itu terbukti melalui ingatan yang kulihat.
“Saya juga memiliki bukti tambahan. Foto seseorang yang baru saja datang ke rumah Bapak untuk memastikan Bapak tetap bungkam,” lanjutku, mempertegas posisiku.
Aku menunjukkan foto di layar ponselku. Terlihat jelas Gio menyerahkan sejumlah uang kepada Pak Yoyo pada layar. Keduanya tertawa bersama, wajah mereka menggambarkan kepuasan. Wajah Pak Yoyo berubah drastis. Ia berusaha merampas ponselku, tetapi aku lebih sigap, menariknya menjauh sebelum tangannya menyentuh layar itu.
“Sampai kapan Bapak mau bertindak seperti ini? Sampai kapan terus berbohong?” seruku dengan nada penuh emosi.
Pak Yoyo menghela napas dan duduk kembali. Ia kemudian termenung beberapa saat, lalu menatap ke arahku.