Your Stupid Girls

Gracia Wee
Chapter #1

PROLOG : The Girls

Universitas Utama Negara.

Satu hari sebelum misi terakhir Brilian.

 “Tidak ada yang lebih menarik dari manusia, selain akal dan beragam caranya bekerja. Tidak ada yang lebih menarik untuk manusia, selain mendapatkan akal yang layak.”

Seluruh kelas menjadi hening mendengarkan ucapannya itu. Pria itu melihat ke arah banyaknya pasang mata yang antusias dengan pengajarannya kali ini. Sebuah perbedaan yang signifikan antara imaji rekognisi dan kehidupan manusia, perlahan terungkap akibat peristiwa-peristiwa gila yang telah terjadi belakangan ini. Belum lagi, fakta yang mengaitkan bualan perihal keabadian, membuat nasib manusia barangkali sedang dipertaruhkan. Pikiran pria itu seakan menyemak, tidak begitu dapat memastikan apa yang akan menjadi hasil akhir.

“Dan sebuah fenomena yang mengagung-agungkan daya tarik manusia, akan segera berakhir. Hal itu akan melahirkan pemahaman tentang adanya probabilitas perubahan manusia yang selalu terjadi setiap hari. Meski itu hanya soal berpikir,” tambah pria itu, berusaha fokus dengan kelasnya.

Seorang mahasiswa mengangkat tangannya, mengajukan sebuah pertanyaan. “Fenomena apa itu profesor?”

Pria itu tersenyum samar, “Fenomena yang bisa jadi akan melahirkan legenda baru di dunia pendidikan kita.”

***

Brizya Michela Blare.

Semua dimulai sejak dia berusia lima tahun. Gadis kecil dengan rambut panjang berwarna coklat gelap itu, terlihat mengerutkan dahi setelah mendengar berbagai penjelasan dari orang tak dikenal bersama  alat aneh pada matanya. Bagi kedua orang tuanya, orang tak dikenal itu hanya seorang profesional berkaca mata tebal, yang sedang sibuk menjelaskan keadaan otaknya dengan panjang lebar. Sejak dia tahu fungsi sepasang anggota tubuh yang ada di setiap sisi kepalanya, dia selalu mendengar dua jenis pembicaraan yang aneh, membuatnya sering bingung apa yang sebenarnya mereka katakan.

Di usia itu, dia akhirnya tahu bahwa benda aneh di setiap sisi kepalanya adalah telinga. Brizya juga akhirnya tahu bahwa pembicaraan orang tuanya itu biasa disebut bahasa. Dia mendengarkan dua jenis bahasa yang berbeda. Pikiran Brizya selalu tak nyaman dengan apa yang dia pikir aneh. Semakin aneh, semakin kuat inginnya untuk mencari tahu apa yang aneh.

So, what’s the final result, Doctor?” tanya Blare, Ayahnya, terdengar cemas.

Dokter berkacamata tebal itu menarik napas panjang. Sepertinya hasil yang tidak akan begitu memuaskan untuk didengar Blare maupun Rosa, Ibunya.

We are very sorry to say this. As the data showed, your daughter has a very low percentage for her IQ,” ujar si dokter akhirnya. 

Raut wajah kecewa yang dapat dilihat langsung oleh Brizya. Terlahir dari keluarga konglomerat yang berpendidikan membuat Brizya kecil harus mengikuti berbagai tes tentang keadaan otaknya sejak usia lima tahun itu. Wajar saja. Semua akan terasa lebih mudah untuk mengamati tingkat kecerdasan seseorang di usia lima tahun. Mereka bisa dianggap jenius ketika melampaui tingkatan tertentu. Mereka juga bisa dianggap bodoh, idiot, tak berguna, ketika angka aneh yang tertulis di sebuah kertas aneh, menyatakan otak mereka tidak melewati tingkat yang diharapkan.

It’s okay, Darling. You just a little girl. Wait until you can read all the goodest books in the world,” hibur Rosa di hadapan wajah Brizya yang menggemaskan.

And she only be the smartest. Not genius like us. Like her parents, Rosa.”

Keluhan Blare membuat Brizya kecil merasakan hal yang aneh lagi. Tentu Brizya tidak begitu suka hal yang aneh. Dia harus bekerja keras untuk mencari tahu di mana letak keanehan dari keluhan Ayahnya.  Dua belas tahun telah berlalu sejak Brizya mencari tahu letak keanehannya. Dia terus mencari, meski sudah mulai muak.

Namun putus asanya musnah setelah situs itu memberinya harapan. Seakan ada jalan menuju titik aneh incarannya. Setidaknya, di era informasi seperti ini dapat membawa Brizya bertemu orang-orangnya.

“Lo udah baca kutipan akhir di situs?” tanya Brizya, lewat panggilan video.

 “Haish, si bodoh itu nulis apa lagi?” Brizya menertawai respon ‘temannya’ itu.

“Kita juga bodoh, Irene.”

Cuma di atas kertas pernyataan gila mereka, kan?

“Ada benarnya juga sih.”

Lihat selengkapnya