Your Stupid Girls

Gracia Wee
Chapter #2

00 : The Start Line, The Weird People

Beberapa bulan sebelumnya, awal terbentuk Brilian.

www.yourstupidgirls.com.

Sudah setahun situs misterius itu dikenal di kalangan para gadis yang mengaku diklaim bodoh oleh para profesional terkenal, Genies. Satu per satu gadis yang masuk ke dalam situs itu mencurahkan berbagai kekesalan mereka. Tak jarang ditemui ada yang bernasib sama dengan Leesha. Mereka ditolak di berbagai sekolah unggulan karena ternyata hanya dapat diterima dengan pernyataan tes intelektual yang diuji langsung oleh Genies. Kalaupun mendapat akses masuk, pasti karena kelas ekonomi mereka yang tinggi. Kebanyakan dari mereka akhirnya berhenti sekolah, depresi, kesal, melukai diri sendiri, dan masih banyak lagi. Lagipula, tidak ada yang benar-benar menjalani kehidupan yang normal ketika masa depan mereka secara tidak langsung diukur dari sebuah kertas dengan berbagai pernyataan atas kondisi otak, bukan?

“Undangan apaan ini?”

Pertanyaan itu dilontarkan oleh semua penghuni situs dari berbagai tempat mereka berada. Ada rasa heran akan undangan  situs itu. Dituliskan bahwa pembalasan mungkin akan segera berlangsung. Dan sepertinya akan membutuhkan bantuan. Tidak begitu banyak yang merespon. Alhasil, hanya tiga orang yang menerima alamat si pemilik situs.

“Lo cewek?” tanya tiga orang itu dengan kompak. Mereka yang dimaksud adalah Brizya, Irene, dan Anna. Tiga gadis itu bahkan jarang merespon curhatan para penghuni situs. Kalau dipikir-pikir, memang tidak pernah juga. Pemilik situs mengakui keberanian mereka.

“Emang fantasi kalian ke gue itu gimana? Jadi Pak tua berkumis, wanita tua pemarah, pria karismatik, cogan? Hmm, what else?” tanya pemilik situs itu, lantas adalah Leesha.

Mereka jadi memutar bola mata. Brizya datang dengan penuh rahasia, tidak ingin pengawal rahasia keluarganya mengetahui hal ini. Irene bahkan membawa seorang laki-laki rupawan dan misterius sebagai pengawal andalannya. Dan ada Anna yang bahkan membawa pistol, mengira mereka akan berperang. Mungkin seperti dugaan Leesha. Mereka pikir ini jebakan. Walaupun memang seperti itu juga.

Keempat gadis itu berkumpul di ruang kerja Leesha yang tersembunyi dengan baik. Dia membeli rumah di salah satu area pinggiran kota. Berhubung dia masih tidak ingin Papanya mengetahui di mana dia berada saat ini, alhasil Leesha bahkan membuat rumahnya tidak bisa dideteksi dengan pelacak apapun. Tentu saja perbuatannya butuh keahlian khusus yang jelas-jelas hanya Leesha yang bisa melakukannya.

 “Gue udah tahu profil kalian bertiga. Kandidat paling kuat,” ucap Leesha dengan senyum cerianya. Mereka yang mendengarkan ucapan Leesha tidak merespon dengan begitu baik. Terlihat dari wajah muram mereka.

“Jadi lo beneran pembuat situs itu?” tanya Anna sepertinya mulai tertarik dengan pertemuan mereka.

“Udah jelas juga kali. Lo gak liat semua barang di sini mengarah sama keahliannya?” tutur Irene dengan sinis. Brizya dan Anna jadi melirik sekali lagi suasana tempat mereka berada. Dipenuhi dengan komputer yang punya beragam fungsi, banyaknya peralatan elektronik dari yang familiar bagi mereka sampai yang terkesan asing dan langkah.

“Woh, kayaknya dari kita berempat, Irene yang paling pintar, yah?” puji Leesha membuat mereka merasa aneh dengan cara berpikir gadis itu. Ini pertemuan mereka namun Leesha bertingkah seperti sudah lama mengenal mereka. Membuat canggung saja.

“Pintar nebak.” Irene merespon Leesha dengan dingin.

“Aura dingin lo emang kayak Elsa,” canda Anna, membuat Irene berpaling ke arahnya.

“Lo tau dari mana julukan gue?” tanya Irene dengan nada yang tidak ada santai-santainya.

“Sebagian besar pebisnis di negara ini udah tau kali gimana brutalnya putri seorang Ahza,” gumam Anna.

Irene jadi tersenyum puas. “Mereka gunain uang kita dengan jumlah besar, jadi wajar mereka ngomong yang bagus tentang kelompok kita.”

“Lo pikir itu julukan yang bagus?” Anna dan Leesha sama-sama heran dengan respon Irene barusan.

It might good on her POV,” ucap Brizya dengan bijak, ikut masuk ke dalam percakapan bersifat acak itu.

Irene tidak menanggapi pembicaraan mereka tentang dirinya. Lagipula, dia tetap ingin mempertahankan julukan yang baginya terkesan keren. Suasana yang mulai akrab itu langsung dimanfaatkan Leesha untuk topik utama di pertemuan pertama mereka ini. Leesha mengambil beberapa lembar kertas dari balik meja kerjanya. Lalu dia memfokuskan perhatian ketiga gadis itu dengan dehaman yang dibuatnya.

“Gue gak tau apa aja yang lo kesalin sama mereka.” Leesha menjadi lebih serius.

“Tapi kita pasti punya visi yang sama,” tukas Leesha, membuat ketiga gadis itu tidak langsung setuju dengan ucapannya.

“Gimana bisa kita percaya sama omongan lo?”

Irene melemparkan pertanyaan paling dasar. Sebuah kerja sama harus didasarkan rasa kepercayaan, bukan?

“Visi kita sama, kan? Hancurin Genies, kelompok profesional yang akhir-akhir ini bertingkah seakan gak akan pernah bisa hancur. Kalian juga tahu kalau hampir seluruh sekolah di negara ini, semua calon pelajar, pada diatur sama pernyataan mereka. Yang jenius diterima di sekolah unggulan, dengan jaminan dapat beasiswa di kampus terkenal, bisa ngelakuin penelitian di sana sini lah,  dan mungkin ada keuntungan lainnya yang ditawarin mereka. Yang hasilnya sama kayak kita, malah ditolak. Pakai uang pun gak bakal menggantikan statement  di mana kita bodoh di mata mereka. Ngerti?” jelas Leesha panjang lebar.

Kali ini ketiga gadis itu tak bisa memungkiri ucapan Leesha dan mengangguk penuh pengertian. Sejenak mereka menjadi diam, memikirkan momen penuh tanya saat dinyatakan bodoh atau tidak mencapai standar kecerdasan pada  umumnya. Mereka mengingat bagaimana menderitanya para penerus bangsa masa kini yang harus menghadapi batasan-batasan aneh seperti itu. Namun sebagian orang tidak mengerti. Pikir mereka situasi saat ini adalah  sebuah perubahan yang normal. Namun beberapa orang malah makin terjerumus dalam kegelapan. Kedatangan mereka bertiga di hadapan Leesha mungkin sudah keputusan yang tepat.

 “The smart is getting smarter, the fool is getting fooler. Tipikal penjajahan modern kali ya,” gumam Brizya.

“Iya. Kayak pepatah klise. Kaya jadi makin kaya. Miskin jadi makin miskin,” imbuh Leesha.

“Gak ada hubungannya,” bantah Anna dan Brizya.

Maklum, mereka terlahir dari keluarga kaya raya. Ucapan Leesha barusan jadi terkesan menyinggung mereka. Lagipula, perangai mereka tidak buruk layaknya tuan putri yang hanya menghabiskan kekayaan keluarga.

Peace sign is here, deh,” seru Leesha dengan menjulurkan dua jari yang membentuk huruf ‘V’.

“Jadi itu kertas apaan?”

Irene seakan menegaskan mereka untuk fokus dengan pokok pembicaraan. Leesha akhirnya membagikan tiga lembar kertas pada masing-masing mereka. Suasana jadi  hening lagi karena mereka sibuk membaca semua hal yang tertuliskan di kertas-kertas itu. Leesha tambah antusias melihat keantusiasan tiga teman barunya.

“Gue masuk ke kelas kecerdasan mereka?” Brizya sepertinya terkejut dengan pernyataan kontrak bahwa dia akan masuk ke kelas kecerdasan, salah satu pembagian kelas yang dominan dipenuhi oleh anak orang kaya yang sayangnya dinyatakan bodoh.

“Gila, lo dapat dari mana jenis kertasnya. Ini mirip banget sama sertifikat dari mereka. Bedanya pernyataan doang.”

Kata-kata yang dikeluarkan dari mulut Irene jadi lebih banyak dari sebelumnya. Begitu pula dengan senyum gembira Irene. Tidak pernah mereka sangka akan melihat itu dari seorang putri es yang brutal. Pemandangan yang langka.

“Gue juga masuk ke kelas kecerdasan dong.” Anna sepertinya antusias dengan hal itu. Dia bahkan tidak mempermasalahkan tentang penempatan kelasnya.

Selain itu mereka juga membaca isi kontrak lainnya. Seperti misi yang akan dijalankan dengan rahasia, tidak melibatkan publik secara langsung, menjalankan misi sampai pada target akhir. Artinya, mereka tidak boleh berbuat apa-apa  yang mengancam keberadaan kelompok sebelum visi mereka tercapai.

“Gue sengaja buat kalian berdua masuk ke kelas kecerdasan aja. Biar mereka gak curiga sama dua anak konglomerat bodoh yang mendadak masuk kelas jenius,” jelas Leesha pada Brizya dan Anna. Meski hasil tes mereka dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, Leesha mengakui bahwa pemeriksaannya masih cukup ketat. Dia tidak mau mengambil resiko berlebihan di awal pembentukan tim mereka. Syukurlah, dua putri konglomerat itu bisa mengerti dengan baik.

How about me?” tanya Irene, menanyakan maksud dan tujuannya bisa dibuatkan sertifikat palsu yang bisa membawanya masuk ke dalam kelas jenius.

“Lo emang terkenal juga, tapi gak sampai semenarik itu di mata tim pemeriksaan Genies. Lagian, lo emang paling pintar di antara kita. IQ lo masih 90, kan?” tanya Leesha, memastikan informasi yang dia dapat.

“Jangan bawa-bawa IQ,” ketus Irene, Anna, dan Brizya dengan kompak.

“Oke, oke. Peace sign is here again,” ampun Leesha dengan dua jari yang membentuk huruf ‘V’ lagi.

“Jadi maksud gue, kalian berdua mantau gimana kelas kecerdasan bekerja dan Irene bakal ngurusin soal kelas jenius. Kita mulai dari dua subjek sederhana ini dulu.”

Leesha masih terus menjelaskan berbagai pertanyaan yang dilontarkan ketiga temannya itu. Pertemuan pertama mereka berlangsung dari malam sampai subuh. Entah karena faktor rumitnya misi mereka yang membutuhkan penjelasan Leesha, atau memang sudah sewajarnya ketika para gadis bertemu, pembicaraan mereka tidak akan sesingkat yang dibayangkan. Pengawal rupawan yang menemani Irene saja sampai suntuk menunggu Irene. Laki-laki itu jadi lebih sibuk dengan ponselnya karena harus menunda rencana Irene di malam itu.

My last question deh. Nama kelompok kita apaan dong?” Anna mendesak untuk bertanya. Padahal pertemuan mereka sudah akan berakhir. Leesha sudah mengantuk, Irene bahkan ketiduran. Brizya jadi geleng kepala melihat semangat Anna.

Lihat selengkapnya